Beritaneka.com—Indonesia memiliki potensi dalam mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah, didukung dari keberadaan 31.385 pondok pesantren yang berdasarkan data Kementerian Agama RI terdapat sebanyak 12.469 atau 39,7% diantaranya memiliki potensi pada berbagai sektor ekonomi.
Berdasarkan data survei dari OJK pada tahun 2019, tingkat inklusi keuangan Syariah di Indonesia mencapai 9% dan tingkat literasi keuangan Syariah mencapai 8,93%.
Hal tersebut dirasakan belum optimal, mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia dengan 87,18% dari total penduduk yaitu 232,5 juta jiwa merupakan muslim. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam meningkatkan inklusi dan literasi keuangan syariah.
Baca juga: Pasar Ekonomi Syariah masih Kecil, WI-ITB: Wakaf dan Infak Jadi Solusi
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melalui Deputi Bidang Koordinasi Makro dan Keuangan selaku Sekretariat Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) bekerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengadakan kegiatan Training of Trainers (ToT) edukasi dan literasi keuangan syariah secara daring kepada 400 guru dan pengurus pondok pesantren di wilayah Jawa Barat, Rabu (8/12).
Materi ToT edukasi dan literasi keuangan syariah bagi pengurus dan guru pondok pesantren di wilayah Jawa Barat tersebut meliputi pengenalan industri dan jasa keuangan syariah, perencanaan keuangan syariah, waspada investasi, dan pinjaman online ilegal.
Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan ketiga setelah kegiatan serupa di Provinsi Aceh dan Provinsi Gorontalo yang sukses terselenggara pada tahun 2020. Peserta ToT ditargetkan untuk dapat menyampaikan kembali materi yang telah diterima selama proses edukasi dan literasi keuangan syariah, mendiseminasikan kembali baik kepada pengurus lainnya di internal pondok pesantren, serta masyarakat sekitar pondok pesantren.
“Pondok Pesantren memiliki fungsi yang strategis untuk memberdayakan ekonomi masyarakat sebagaimana diamanatkan melalui Undang-Undang No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren,” ujar Asisten Deputi Keuangan Inklusif dan Keuangan Syariah Erdiriyo yang mewakili Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Iskandar Simorangkir dalam kesempatan tersebut.
Baca juga: Indonesia Berpotensi Besarkan Ekonomi Syariah
Berbagai program dan kegiatan di lingkungan pondok pesantren yang dikoordinasikan oleh Sekretariat DNKI telah berjalan secara intensif bekerjasama dengan berbagai Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, hingga korporasi. Sinergi tersebut diharapkan dapat mendukung peningkatan inklusi dan literasi keuangan syariah di Indonesia.
Selain itu, edukasi dan literasi keuangan syariah bagi civitas pondok pesantren, masyarakat serta UMKM sekitar pondok pesantren merupakan fondasi dalam mengimplementasikan berbagai kegiatan yang mendukung peningkatan inklusi keuangan syariah di Indonesia.
“Indeks keuangan inklusif baik dari sisi penggunaan akun/rekening meningkat dari 76,19% pada tahun 2019 menjadi 81,4% pada tahun 2020. Hal tersebut didukung melalui implementasi berbagai kebijakan dan program dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah berbasiskan pondok pesantren,” ungkap Asistem Deputi Erdiriyo.
Baca juga: MES dan Tantangan Rendahnya Literasi Ekonomi Syariah
Turut hadir pada kegiatan ToT, Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan OJK Horas Tarihoran, Kepala Kantor OJK Regional II Jawa Barat Indarto Budiwitono, expert industri jasa keuangan syariah dengan Hermansyah, Certified Financial Planner Mohamad Bagus Teguh, serta dihadiri oleh peserta ToT meliputi 400 pimpinan, guru, dan pengurus pondok pesantren se-Jawa Barat.
Beritaneka.com—Kalangan DPR menyayangkan pemerintah belum mengabulkan kebutuhan riil terkait dana abadi pesantren dan penambahan dana desa. Alasan pemerintah, anggaran sudah defisit.
Dalam laporan APBN tahun 2022 diperkirakan mencapai defisit Rp868 triliun (4,85 persen) dan pembiayaan utang sebesar Rp973,6 triliun. Padahal kedu bidang itu sudah dijamin oleh UU Nomor 18/2019 Pasal 45 dan UU Nomor 6/2014.
“Akibatnya kita belum melihat bagaimana desentralisasi, semangat APBN yang berkeadilan dan berkelanjutan bisa dirasakan seluruh masyarakat Indonesia,” ujar anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Ratna Juwita Sari, dalam keterangan tertulis kepada media, Senin (13/9/2021).
Baca juga: Selisih Anggaran PEN Sangat Besar, Anggota DPR PAN: Memprihatinkan
Ratna meminta agar pemerintah bersama DPR harus melihat beban fiskal berupa defisit anggaran tersebut, dalam perspektif generasi mendatang. Bahwa, menurutnya, anak-anak muda Indonesia ke depan akan semakin sempit menikmati ruang fiskal, yang disebabkan dari kebijakan yang diambil oleh generasi saat ini.
“Karena itu, saya ingin pertegas dalam hal ini, bahwa bagaimana sebenarnya perencanaan pemerintah dalam pembayaran utang yang akan kita ambil pada tahun 2022 nanti yang rasio utang terhadap PDB menjadi 43 persen,” ujar Politisi Fraksi PKB ini.
Baca juga: BSNP Dibubarkan, Anggota Komisi X DPR: Melabrak UU
Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah menyebutkan terdapat selisih antara defisit sebesar Rp868 triliun dengan pembiayaan utang Rp973,6 triliun, yaitu sebesar Rp 105,6 triliun. Namun, besaran Rp 105,6 triliun tersebut sangat tergantung pada tingkat besaran PDB pada 2022.
Dengan komposisi ini, menempatkan rasio utang terhadap PDB menjadi 43 persen dan rasio utang terhadap pendapatan menjadi sekitar 51,93 persen. Yang terdiri dari bunga utang Rp405,8 triliun dan pokok utang kisarannya Rp550 triliun. “Sehingga, beban utang yang harus ditanggung pada 2022 sebesar Rp955,87 triliun,” jelas Said