Beritaneka.com, Jakarta — Simulasi pemilihan presiden (pilpres) ini dilakukan Lembaga Survei Indonesia Polling Stations (IPS) dengan menampilkan dua nama calon presiden (capres), yakni Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo atau Anies Baswedan.
Dalam hasil survei tersebut, ketika Prabowo Subianto head-to-head dengan Ganjar Pranowo, tanpa ada nama calon wakil presiden (Cawapres), menunjukkan Prabowo mendapatkan suara 62,1 persen
“Mayoritas publik (62,1persen) akan memilih Prabowo Subianto, sedangkan Ganjar Pranowo hanya sebesar 34,4persen, sisanya sekitar 3,5 persen menjawab tidak tahu,” kata Peneliti IPS, Alfin Sugianto saat memaparkan hasil survei, Senin (27/8/2022). Alfin melanjutkan, jika Prabowo Subianto berhadapan dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, tetap dengan tanpa nama Cawapres, Prabowo juga unggul jauh dari Anies.
Baca Juga:
- Anak SD Pamer Nilai Rapor ke Mamanya yang Sudah Meninggal via WA, Isinya Bikin Nangis
- MUI: Promosi Minuman Keras Holywings Sebut Muhammad dan Maria Pancing Kemarahan Umat
- PeduliLindungi Dipakai Beli Minyak Goreng, 1 KTP Maksimal 10 Liter
Sebanyak 61,5 persen akan memilih Prabowo Subianto, sedangkan Anies Baswedan hanya dipilih 35,8 persen suara. “Sisanya sekitar 2,7 persen menjawab tidak tahu,” kata Alfin. Kemudian dalam simulasi lain, jika pilpres dilaksanakan hanya dua calon saja, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, maka 44 persen akan memilih Ganjar Pranowo, sedangkan Anies Baswedan sebesar 42 persen, sisanya sekitar 14 persen menjawab tidak tahu.
Namun, jika Pilpres dilaksanakan tiga calon presiden, maka bagian terbesar sekitar 46,6 persen memilih Prabowo Subianto, diikuti Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, Ganjar 28,2 persen, dan Anies 25,2 persen.
Jajak pendapat IPS dilakukan pada 13 hingga 23 Juni 2022 di 34 provinsi yang ada di seluruh Indonesia. Populasinya seluruh warga negara Indonesia yang minimal telah berusia 17 tahun atau telah memiliki KTP.
Jumlah sampel dalam survei tersebut sebanyak 1.220 responden, dengan margin of error +/- 2,8 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara probability dengan teknik acak bertingkat (multistage random sampling). Lantas, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara tatap muka oleh tenaga terlatih dengan bantuan/pedoman kuesioner.
Beritaneka.com — Keputusan Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto bergabung dengan koalisi Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin membuat para pendukungnya kecewa. Sampai hari ini, keputusan itu terus menuai caci maki.
Hal tersebut disampaikan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani saat bertemu ulama, pemimpin ormas, akademisi, dan masyarakat Jawa Barat di Gedung Yayasan Darul Hikam, Kota Bandung, akhir pekan lalu.
Dalam pertemuan itu, Ahmad Muzani menegaskan bahwa Ketum Partai Gerindra, Prabowo Subianto tidak menghendaki perpecahan pada bangsa Indonesia. Berdasarkan keinginan besar itulah, kata dia, Prabowo memilih bergabung dan membantu pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Diakui Muzani, keputusan Prabowo saat itu tidak populer. Bahkan, hingga kini, keputusan tersebut sering disalahpahami, sehingga tak jarang Prabowo sering dicaci maki.
Baca Juga:
- Srimulat ‘Hil yang Mustahal’, Mendekati Generasi Milenial lewat Layar Lebar
- Pengumuman! Pemudik Istirahat di Rest Area Dibatasi 30 Menit
- Korupsi Ekspor CPO dan Minyak Goreng Tidak Manusiawi, Kejaksaan Agung Wajib Usut Tuntas
- Atasi Macet Mudik Lebaran, Transaksi di Gerbang Tol Palimanan Dialihkan
- PPKM Level 1 Boleh Gelar Halalbihalal dengan Tamu 100%
- Bukber Ramadhan Media8 Group-IFS, Kuatkan Silaturahmi Terus Berbagi Kebaikan
“Tapi itu adalah harga sebuah persatuan dan akhirnya seuasana kondusif terjadi sampai sekarang. Apalagi ketika kita menghadapi pandemi Covid-19, kerukunan dan kebersamaan sangat kita rasakan,” ungkap Muzani dalam siaran pers, Senin (25/4/2022).
Muzani menyatakan, sebagai negara besar, Indonesia harus memiliki pemimpin yang menjunjung tinggi persatuan karena dengan persatuan negara akan menjadi kuat. “Untuk menjaga persatuan kita tidak boleh cepat tersinggung, apalagi dengan mementingkan harga diri dan kepentingan pribadi,” tegasnya.
Muzani juga mengatakan, persatuan sebuah bangsa tidak mungkin terpelihara jika para pemimpinnya orang-orang yang cepat tersinggung dan harga dirinya lebih tinggi di atas rata-rata. “Itulah mengapa Pak Prabowo lebih memilih untuk menjaga persatuan bangsa seusai Pilpres 2019. Pembelahan yang mengancam persatuan bangsa amatlah nyata dan Pak Prabowo tidak mau bangsa ini terbelah, apalagi sampai terjadi pertumpahan darah,” tegas Muzani lagi.
Usai silaturahmi tersebut, Muzani mengunjungi Ketua MUI Kota Bandung, KH Miftah Farid. Menurutnya, penting bagi Partai Gerindra untuk terus menjaga komunikasi dengan para ulama dan tokoh masyarakat dalam berjuang membela rakyat. Tak lupa Sekjen Partai Gerindra ini menyampaikan salam hormat dari Prabowo Subianto kepada KH Miftah Farid.
Beritaneka.com—Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani menyatakan pada tahun 2024 mendatang adalah waktunya Prabowo jadi presiden. Oleh karena itu, Muzani meminta kepada seluruh pengurus PAC dan ranting-ranting Partai Gerindra untuk segera mempersiapkan diri dengan terus melakukan konsolidasi di akar rumput. Termasuk, kata dia, untuk segera menyiapkan saksi-saksi di setiap TPS mulai dari sekarang.
“Kita harus berlajar dari proses pemilu-pemilu sebelumnya. Kita harus totalitas. Jaga suara kita, saksi-saksi harus dipersiapkan mulai dari sekarang. Sebab, 2024 adalah waktunya Prabowo presiden,” kata Muzani dalam keterangan tertulis yang kami kutip hari ini, Senin (28/2/2022).
Baca Juga:
- Pemilu 2024 Sebaiknya Dimajukan ke 2022, Ini Alasannya
- Penundaan Pemilu 2024 Bisa Chaos dan Munculkan Diktaktor
- Muhammadiyah Tolak Wacana Tunda Pemilu 2024
Ahmad Muzani menyampaikan pernyataan politik tersebut saat memberikan bekal kepada seluruh pengurus PAC dan ranting-ranting Partai Gerindra se Kota Surabaya-Kabupaten Sidoardjo di Hotel Empire, Surabaya, pada Sabtu (26/2/2022).
Muzani berpesan, bahwa soliditas dan konsolidasi harus terus dilakukan, diperkuat. Dirinya mengigatkan untuk terus menjaga suara rakyat. Sebab menurutnya suara rakyat adalah amanat, dan suara rakyat adalah suara tuhan.
“Itu sebanya kita mendirikan ranting-ranting, PAC, dan DPC di seluruh Indonesia. Kenapa? Karena dari situlah partai bergerak. Partai Gerindra ini dibangun dari bawah, partai ini dibangun dari rakyat, partai ini milik wong cilik,” kata Muzani yang juga Wakil Ketua MPR.
Segala bentuk keputusan politik akan berimplikasi langsung terhadap rakyat. Karena itu sosok pemimpin harus memiliki kempuan leadership yang baik.
Selain itu seorang pemimpin harus bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia. Muzani menilai, sosok pemimpin seperti itu ada pada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
“Keputusan politik adalah penentu. Kenapa minyak goreng berlaut larut? itu karena keputusan politik. Vaksin gratis atau bayar itu karena keputusan politik, isoman dari luar negeri itu politik. Apa artinya, kebijakan-kebijakan negara ini diputuskan dengan keputusan politik. Kita harus mencari pemimpin yang mengerti dan memiliki kemampuan baik dalam pengambilan keputusan, mengurus negara, serta berani mengambil keputusan dalam situasi tersulit,” katanya.
Semua komponen dan kader Partai Gerindra harus mulai melakukan penjajakan politik. Kader juga diminta yakinkan masyarakat bahwa Prabowo adalah sosok yang tepat menyelesaikan persoalan bangsa ke depan.
Beritaneka.com—Komunitas relawan bernama Jokowi – Prabowo (Jok – Pro) 2024 menginginkan Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto berpasangan pada Pilpres 2024. Tujuannya untuk mencegah polarìsasi ekstrem di Indonesia Pasca Pilpres sebelumnya.
Aalasan mengusulkan pasangan Jok-Pro dinilai berlebihan. Kehawatiran Jok – Pro 2024 itu tampaknya sangat spekulatif. Sebab, polarisasi ekstrem pendukung Jokowi dan Prabowo yang dikenal dengan cebong dan kampret itu harusnya sudah teratasi dengan bergabungnya Prabowo ke Pemerintahan Jokowi.
“Bergabungnya Sandiaga Uno ke Pemerintahan Jokowi juga seharusnya semakin melenyapkan polarisasi tersebut,” ujar pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Biarkan RRI Jadi Media Publik Sesungguhnya
Jamiluddin menegaskan, dalam praktinya walaupun Prabowo dan Sandiaga Uno satu barisan dengan Jokowi di pemerintahan, cebong dan kampret tetap saja “bertarung” di media sosial. Cebong dan kampret terus berhadap-hadapan dalam “konfrontasi” yang terkesan tidak berujung.
Jadi, jelas pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini, masalah polarisasi anak bangsa tidak akan selesai hanya karena menyatukan Jokowi dan Prabowo sebagai pemimpin Indonesia. Sebab, mereka saat itu memilih Jokowi bisa saja karena tidak menyukai Prabowo. Mereka memilih Jokowi semata karena tidak ada pilihan lain.
Sebaliknya, yang memilih Prabowo juga kemungkinannya sama. Mereka memilih Prabowo bisa saja karena memang tidak menyukai Jokowi.
“Karena itu, meskipun Prabowo sudah masuk kabinet Jokowi, mereka yang kerap disebut kampret tetap saja mengeritik Jokowi. Mereka tetap saja menunjukan ketidaksukaannya kepada Jokowi,” tegasnya.
Para pendukung Jokowi yang kerap disebut cebong juga sama. Mereka tetap saja mengeritik Prabowo meskipun sudah bergabung dengan Jokowi.
Jadi, kehadiran Jok – Pro 2024 tampaknya bukan dimaksudkan untuk menetralisir polarisasi ekstrim di Indonesia pasca Pilpres 2024. Hal itu hanya tameng untuk menggolkan presiden tiga periode.
Baca juga: Reformasi Dipersimpangan Jalan
Kelompok-kelompok tertentu berupaya presiden tiga periode terwujud, karena mereka belum dapat capres yang bisa memberikan kenikmatan politik seperti sekarang ini. Mereka ini bermental saudagar yang selalu mengedepankan transaksi.
Para opportunis ini dengan segala cara akan terus berupaya menggolkan presiden tiga periode. Mereka ini sudah nyaman menikmati konpensasi berupa kenyamanan ekonomi atas dukungannya selama ini terhadap rezim yang berkuasa.
Karena itu, para reformis harus berhati-hati atas semua sikap dan tindakan para oportunis. Jika para reformis lengah, presiden tiga periode akan jadi kenyataan.
“Hak itu akan menjadi petaka bagi demokrasi di Indonsia. Masa kegelapan akan kembali menyelimuti negeri tercinta,” ungkap Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999 ini.