Beritaneka.com—Pengamat politik Ray Rangkuti menyatakan penolakan terhadap politik dinasti di tengah masyarakat Indonesia saat ini semakin besar. Direktur Eksekutif Lingkar Madani ini mengatakan, tanda-tanda tersebut mulai terlihat sejak putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di hari kedua dirinya menjadi anggota partai. Kemudian, soal gugatan batas usia ataupun persyaratan menjadi Capres-Cawapres di Mahkamah Konstitusi yang dinilai publik sebagai upaya untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres salah satu capres.
“Karena ini sudah ada di tingkat nasional. Kalau di tingkat kota atau provinsi mungkin orang oke saja, tapi kalau sudah menjabat dalam tingkat presiden atau cawapres, sekali ini lolos praktik seperti ini dan terjadi, itu artinya kita cabut deh kata dinasti politik di Indonesia,” kata Ray Rangkuti saat Diskusi publik bertema “MK: Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Kekuasaan?” di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (15/10/2023) kemarin seperti dilansir Republika.
Ray mengingatkan tentang sensitivitas masyarakat Indonesia terkait nepotisme, seperti yang terjadi pada masa Presiden Soeharto. Presiden kedua RI itu bahkan dilengserkan karena dipicu oleh peristiwa pengangkatan anaknya sendiri sebagai Menteri Sosial pada saat itu.
Karena kontroversi tersebut, hanya beberapa bulan setelah mengangkat anaknya sebagai menteri, aksi besar terjadi dan Soeharto turun dari kekuasaan.
Dia menyayangkan beberapa pihak yang masih menampik adanya politik dinasti saat ini. Sesuatu yang sebenarnya menjadi salah satu tuntutan utama masyarakat pada 1998.
“Yang memaklumkan situasi ini juga ada kawan-kawan dari aktivitas 98 yang menganggap bahwa pola-pola seperti ini bukan bagian dari politik dinasti. Kalau seperti ini bukan politik dinasti, seperti apa yang Anda bayangkan politik dinasti pada tahun 98? Padahal Soeharto hanya mengangkat anaknya sebagai Menteri Sosial bukan calon wakil presiden,” katanya.
“Menteri Sosial, Menko juga nggak. Apalagi kalau wakil presiden? Jadi kalau pada 1998 membuat kita jengkel, gundah, marah pada Soeharto, maka pertanyaannya, definisi dinasti politik itu di kepala kita seperti apa pada 1998?” tambah Ray.
Dia bahkan menduga meningkatnya penolakan terhadap politik dinasti telah diperhitungkan Istana. Saat ini, Jokowi seakan menahan diri terhadap isu-isu yang mempunyai kaitan dengan Gibran, seperti keberpihakan Projo kepada Prabowo yang diisukan akan bersanding dengan Gibran.
“Bacaan saya respons negatif ini akan meningkat dalam saat yang bersamaan PDIP akan membuat perhitungan. Tentu saja kepada Gibran dan tidak menutup kemungkinan juga sampai kepada Pak Jokowi,” katanya.
Beritaneka.com—Lama ditunggu, akhirnya Presiden Jokowi buka suara tentang uji wawasan kebangsaan ASN KPK. Presiden Jokowi menegaskan, uji wawasan kebangsaan tidak bisa dijadikan dasar pengangkatan pegawai KPK menjadi ASN. Sekalipun terasa terlambat, karena KPK sudah mengeluarkan SK non aktif 75 staf yang dinyatakan tidak lolos, tapi pernyataan tersebut bisa menjadi dasar penyelesaian nasib Novel Baswedan dan kawan-kawan.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, Ray Rangkuti. Namun demikian, LIMA menyampaikan beberapa catatan penting untuk diperhatikan berbagai pihak pemerintah yang terkait.
“Bahwa 75 staf KPK yang dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan tidak diberhentikan, tetapi hanya dinonaktifkan. Oleh karena itu, pernyataan presiden soal pemberhentian memang tidak ada. Yang ada adalah penonaktifan,” ujar Ray Rangkuti.
Baca juga: TWK KPK Memiliki Dasar Hukum Lemah, Ray Rangkuti Nilai Seluruh Pegawai Otomatis ASN
Sekalipun ada ketidakakuratan, jelas Ray, tapi pernyataan Presiden Jokowi adalah rem bagi pimpinan KPK untuk tidak melakukan pemberhentian terhadap 75 staf dimaksud. Sebab, secara logika, kelanjutan penonaktifan itu adalah pemberhentian. Jadi pernyataan Presiden Jokowi merupakan rem atas kemungkinan lanjutan kehendak pimpinan KPK untuk memberhentikan mereka.
Sejak awal, tegas aktivis 98 itu, penonaktifan yang dilakukan oleh pimpinan KPK terhadap 75 staf memang ganjil. Selain sejak awal, dasar dari tes yang merupakan dasar penonaktifan mereka tidak jelas, penonaktifan ini sendiri tidak memiliki dasar aturan. Lazimnya penonatifkan staf dapat dilakukan karena tidak dapat melaksanakan tugas, melakukan kesalahan etik atau kekeliruan professional, atau melakukan pembangkangan.
“Satupun dari tiga faktor di atas tidak ditemukan dalam kasus penonaktifan 75 staf dimaksud. Jika karena alasan mereka tidak lolos dalam uji wawasan kebangsaan, maka keputusannya hanya dua: memberhentikan atau membina mereka. Maka pilihan penonaktifan itu merupakan kekeliruan lanjutan atas kekeliruan sebelumnya,” ungkapnya.
Lebih jauh Ray mengatakan, semestinya, uji wawasan kebangsaan dalam rangka memenuhi persyaratan ASN, dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Kemen PAN RB. Institusi inilah yang semestinya pemegang hak untuk menguji apakah seseorang lolos jadi ASN atau tidak. Tes di KPK tidak didasarkan oleh aturan Kemen PAN RB tapi hanya didasarkan oleh SK KPK. Sesuai dengan UU, staf KPK itu berada di bawah pemerintah, dan KPK sendiri adalah lembaga eksekutif yang berada di bawah presiden, maka aneh status ASN-nya ditentukan sendiri oleh KPK, bukan Men PAN RB.
Dalam hal ini, jelas pria yang mengggunakan kopiah hitan ini, pernyataan presiden agar Men PAN RB, tentu bersama KPK, segera mengambilalih status 75 pegawai KPK sudah tepat. Men PAN RB -lah yang paling tepat memastikan peralihan status staf KPK jadi ASN.
Baca juga: Abdul Fickar Hadjar : Penonaktifan 75 Pegawai KPK Tindakan Sewenang-wenang
Atas dasar pemikiran itu, LIMA mendesak, pimpinan KPK agar segera mencabut SK penonaktifan 75 staf KPK yang sebelumnya dan menyatakan bahwa hasil uji wawasan kebangsaan dinyatakan tidak dapat jadi sandaran menetapkan status staf KPK ingin jadi ASN atau tidak.
Seluruh kasus yang mereka tangani sebelum dinonaktifkan, lalu diambilalih oleh pimpinan KPK, sudah seharusnya diserahkan kembali kepada mereka agar seluruh kasus itu dapat dilanjutkan sampai ada keputusan pemerintah atas status ASN mereka.
Lima juga mendesak, seluruh pimpinan KPK bersama satu anggota Dewan Pengawas agar meminta maaf atas kekeliruan yang terjadi. Tindakan mereka telah membuat keributan yang tidak perlu di tengah bangsa ini menghadapi persoalan serius berupa virus corona dan korupsi yang merajalela. Keriuhan ini juga berpotensi memperlambat penyelesaian kasus-kasus yang ditangani KPK, khususnya yang mendapat perhatian luas masyarakat seperti kasus Bansos, kasus benur lobster, dan suap penyidik KPK.
Presiden Jokowi, tegas pria asal Mandailing itu, benar-benar memastikan bahwa proses peralihan status ASN staf KPK tidak berlarut-larut. Sesuai arahan presiden yang didasarkan pada putusan MK bahwa peralihan status staf KPK tidak boleh merugikan staf KPK. Karena peralihan itu bukan kehendak mereka, tapi kehendak pembuat UU. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi disuguhkan dengan peristiwa seperti keinginan presiden untuk melakukan revisi UU ITE yang kenyataannya sampai sekarang kembali senyap.
“Mudah-mudahan pernyataan presiden ini tidak mengulang kasus revisi UU ITE,” tegasnya. (ZS)
Beritaneka.com—Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagian dari seleksi ujian Aparatur Sipil Negara (ASN) di lembaga anti rasuah tersebut. Hasilnya, 75 pegawai KPK tidak lolos, pegawai yang memenuhi syarat sebanyak 1.274 orang, sementara dua pegawai tidak mengikuti tes wawasan kebangsaan. Sejumlah aspek yang diukur dalam tes tersebut diantaranya integritas, netralitas, dan antiradikalisme.
Namun, kebijakan KPK melakukan perubahan status pegawai KPK lewat TWK dinilai tidak berdasar. Menurut Ray Rangkuti, Aktivis Nurani ’98 ada tiga alasan hasil tes wawasan kebangsaan ASN KPK harus ditolak.
Baca juga: KPK Sita Dokumen dari Kantor dan Rumah Dinas Azis Syamsuddin
“Pertama, status ASN adalah status peralihan akibat adanya revisi UU KPK yang menetapkan bahwa seluruh pegawai KPK bersifat ASN. Karena dasarnya adalah peralihan, maka semestinya seluruh pegawai KPK secara otomatis jadi ASN tanpa proses pengujian layaknya menjadi calon ASN baru,” ujar Ray Rangkuti.
Pegawai KPK, tegas Ray, bukanlah pegawai baru. Mereka adalah pegawai lama yang karena UU mengubah status kepegawaian mereka jadi ASN. Artinya itu pengubahan otomatis. Pandangan Ray itu sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa peralihan status pegawai KPK tidak boleh merugikan pegawainya.
Sebab, perubahan status itu terjadi di tengah jalan, bukan di awal, maka ketentuan tes hanya dapat berlaku bagi calon ASN baru di KPK. Pegawai KPK tidak boleh jadi korban akibat UU yang diubah di tengah jalan.
Baca juga: Mahfud MD Datangi KPK Minta Berkas BLBI
Merujuk pada alasan pertama, Ray mengatakan dasar hukum TWK yang dilakukan KPK adalah lemah. UU KPK tidak mensyaratkan test itu dilakukan. UU KPK menyebut istilah peralihan status kepegawaian, bukan pemilihan status KPK menjadi ASN.
“Oleh karena itu, UU lain yang mengikat status ASN bagi pegawai KPK tidak dapat diberlakukan. Karena proses dan dasar hukumnya yang berbeda,” ungkap Direktur LIMA Indonesia itu.
Lebih ganjil lagi, lanjut Ray, adalah pertanyaan-pertanyaan dalam test TWK sangat jauh berbeda dengan umumnya materi test wawasan kebangsaan bagi calon ASN lainnya. Ray menilai perbedaan tersebut tidak adil. Sekaligus menimbulkan stigma awal bahwa di dalam tubuh pegawai KPK ada anasir-anasir yang tidak sejalan dengan NKRI. Tuduhan yang dahulu pernah diungkapkan untuk memuluskan revisi UU KPK.
“Pertanyaan-pertanyaan dimaksud menyasar pada pandangan dan sikap anti radikalisme. Padahal, sejatinya, wawasan kebangsaan tidak melulu soal ini. Tapi juga soal nepotisme dan oligarki elit partai, kriminalisasi atas perbedaan pandangan dan sikap, mengundang investasi yang ugal-ugalan, import yang tanpa batas (kemandirian pangan bangsa), hutang negara yang menumpuk, perlindungan HAM yang makin memburuk,” tuturnya
Kebijakan diatas adalah persoalan kebangsaan yang nyata di depan mata. Seharusnya, materi pertanyaan lebih mengarah kesana, bukan melokalisir pertanyaan pada hal yang mengarah pada soal sikap dan pandangan anti radikalisme. Pertanyaan itu wujud pendangkalan dan penyempitan makna wawasan kebangsaan. Sekaligus mengalihkan wawasan kebangsaan kritis menjadi wawasan kebangsaan manut saja.
“Maka dengan tiga pertimbangan di atas, saya menolak hasil test wawasan kebangsaan dimaksud. Dan meminta agar pimpinan KPK dan pemerintah secara otomatis menetapkan status seluruh pegawai KPK sebagai ASN,” pungkasnya. (ZS)