Beritaneka.com—Pemerintah terus berupaya melakukan stabilisasi harga sembako yang mengalami kenaikan menjelang akhir tahun ini. Dalam pantauan kami di sejumlah pasar harga sembako mengalami kenaikan signifikan, tercatat harga telur mencapai Rp32.000,- per kg, harga minyak goreng Rp22.000 per kg, dan cabai rawit merah Rp110.000,- per kg.
Sebagai langkah nyata dalam meringankan beban masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan sembako, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah melakukan beberapa langkah yang komprehensif dan holistik guna mengurai dan menyelesaikan berbagai persoalan di kenaikan harga tersebut, baik melalui kebijakan maupun langkah taktis di lapangan dalam bentuk operasi pasar .
Baca Juga: Tahun 2022 Adalah Tahun Pemulihan Ekonomi
“Pemerintah terus berupaya menstabilkan harga dan membantu masyarakat memenuhi kebutuhan sembako melalui operasi pasar terutama menjelang Tahun Baru 2022. Harapan kami, operasi pasar ini dapat membantu masyarakat untuk membeli sembako dengan harga khusus yang lebih murah,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat meninjau secara langsung operasi pasar di Pasar Cileungsi, Kabupaten Bogor, Rabu (29/12/2021).
Menko Airlangga mendengarkan secara langsung bagaimana sesungguhnya kendala, tantangan, dan juga kondisi yang dihadapi para pedagang di masa pandemi ini.
Momentum operasi pasar sembako ini juga dimanfaatkan masyarakat di sekitar Pasar Cileungsi untuk mendapatkan minyak goreng, telur ayam ras, cabai, bawang merah, bawang putih dengan harga yang terjangkau, terutama sebagai persiapan menjelang Tahun Baru 2022. Dalam pelaksanaan operasi pasar tersebut, tetap diselenggarakan dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan menghindari kerumunan warga.
Beritaneka.com—Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan memungut pajak pertambahan nilai (PPN) bagi sebagian bahan kebutuhan pokok atau sembako. Hal itu dirumuskan di Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Wacana PPN sembako masih digodok pemerintah bersama DPR RI.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan, kebijakan pajak sembako hanya akan menyasar komoditas tertentu yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi. Agar jelas, pemerintah akan membuat sejumlah kriterianya dan tarifnya bisa lebih rendah dari PPN pada umumnya.
Namun, kebijakan itu dinilai Peneliti Indef, Bhima Yudistira tidak tepat. Bhima malah berpikiran, kebijakan PPN sembako dicabut dari revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan. Momentum pengenaan PPN ke bahan makanan yang dibutuhkan masyarakat sangat tidak tepat.
Alasannya, sampai 2022 pendapatan kelompok kelas menengah masih belum pulih seperti pra pandemi, ditambah beban PPN ke bahan makanan akan menurunkan daya beli.
“Argumentasi bahwa pemerintah akan mengenakan PPN sembako ke barang premium juga sangat lemah,” tegas Bhima kepada Beritaneka.
Baca juga: Pasar Ekonomi Syariah masih Kecil, WI-ITB: Wakaf dan Infak Jadi Solusi
Ada beberapa alasan. Pertama, data pangan masih bermasalah sehingga dikhawatirkan PPN justru dibebankan ke kelompok masyarakat menengah bawah. Setiap mau impor beras saja masih ribut karena perbedaan data antar kementerian lembaga soal beras. Itu baru satu komoditas, belum jagung, daging dan lainnya.
Kedua, perbedaan antara beras premium dan medium misalnya tidak mudah dilapangan. Apakah beras yang dikonsumsi kelas menengah dengan harga Rp12.000 per kg misalnya masuk kategori beras medium? Ujungnya masyarakat umum yang kena PPN lebih tinggi.
Baca juga: Pemerintah Klaim Ekonomi Nasional Pulih, Legislator PKS: Oversimplikasi
Ketiga, semakin kaya pendapatan orang di Indonesia, maka konsumsi makanannya semakin sedikit. Lihat saja orang kaya itu makannya sangat hat-hati, makan salad, sayur atau vegetarian. Kalau mau memajaki orang kaya ya jangan lewat PPN sembako, salah total logika nya.
“Dampak paling nyata dari penerapan PPN sembako, masyarakat akan mengurangi belanja barang lainnya. Yang jualan baju di pasar dan mal akan mengeluh, kenapa penjualan sepi, karena uangnya tersedot pemerintah lewat PPN sembako. Akhirnya masyarakat berhemat,” ungkapnya.
Mneurut Bhima, masiah banyak cara untuk mendorong kenaikan penerimaan pajak diluar cara PPN sembako. Misalnya pemerintah bisa naikkan bracket dan tambah tarif pajak penghasilan orang kaya, pajak warisan yang tinggi, sampai penerapan pajak karbon untuk sektor ekstraktif.
“Kalau PPN sembako dipaksakan, risikonya bisa kontraproduktif terhadap pemulihan ekonomi,” tegasnya.