Beritaneka.com—Pemerintah bakal mewajibkan lampiran kartu peserta BPJS Kesehatan untuk syarat sejumlah layanan publik. Mulai dari membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), mengurus Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), jual beli tanah, umrah dan naik Haji.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Inpres itu juga sudah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 Januari 2022.
Kalangan ekonom menilai kebijakan pemerintah tersebut cacat hukum, melanggar hak rakyat, dan memaksa dalam momentum yang tidak tepat di tengah tekanan pandemi yang semakin membebani warga masyarakat, membuat rakyat semakin susah.
Menurut Anthony Budiawan, Ekonom senior dari Political Economy and Policy Studies (PEPS), persyaratan tersebut bisa cacat hukum. “Kewajiban negara mengembangkan jaminan sosial.. memberdayakan rakyat tidak mampu. Setiap kebijakan tidak boleh melanggar hak rakyat lainnya. Buat SIM adalah hak dengan persyaratan tertentu seperti batas umur dan sebagainya, karena itu tidak boleh diamputasi oleh kebijakan ini,” kata Anthony kami kutip dari cuitannya di media sosial twitter.
Anthony mempertanyakan kepada kalangan DPR, apakah Instruksi Presiden di atas undang-undang? Menurut Pasal 81 (3) UU Nomor 22 Tahun 2009, syarat administratif bikin SIM adalah a. KTP, b. isi formulir permohonan, c. rumusan sidik jari. Apakah syarat BPJS Kesehatan untuk bikin SIM tidak melanggar undang-undang tersebut?
Baca Juga:
- Pemerintah Siapkan Himbara Jadi Motor Penggerak Utama Ekonomi Nasional
- Event Internasional Ini Bakal Digelar di Indonesia, Cek Daftarnya!
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Law and Economic Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, kebijakan tersebut ada unsur paksaan yang tentu akan memberatkan masyarakat.
“Ini kebijakan yang memaksa, agar masyarakat yang belum punya BPJS Kesehatan segera mendaftar dan membayarkan preminya,” kata Bhima kepada wartawan.
Menurut Bhima, cara pemerintah dengan menekan masyarakat agar mendaftarkan BPJS Kesehatan di tengah situasi ekonomi tidak stabil bagi sebagian orang, bukan jalan yang tepat.
Karena, kata dia, alokasi untuk iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) itu terbatas. Sementara banyak yang tidak memiliki akun BPJS masuk dalam kategori rentan miskin atau kelas menengah yang sebenarnya berada di garis kemiskinan meskipun bukan orang miskin.
“Artinya kalau disuruh membayar BPJS dan itu dibayarnya dalam satu kartu keluarga, itu kan cukup memberatkan juga,” tegas Bhima. “Ini mungkin harus ada pertimbangan soal momentum juga. Kalau hanya sekadar ingin menyelamatkan agar bisa membayarkan klaim BPJS kesehatan yang mungkin akan meningkat selama masa pandemi dan setelahnya yang jelas cara pemaksaan ini momentum nya kurang pas,” tambahnya.
Lanjut diutarakan Bhima, dalam kondisi masyarakat yang sedang dalam tekanan ekonomi, kebijakan ini bisa memengaruhi daya beli masyarakat. Pasalnya, jika dalam satu keluarga ada lima anggota keluarga, maka kepala keluarga tersebut harus membayar premi kelima anggotanya, dan itu jumlahnya besar.
“Sudah barang-barang naik harga minyak goreng naik, harga tempe juga naik ini kan artinya makin menambah beban jadi pemaksaan seperti ini tentunya menambah beban ke masyarakat,” kata Bhima.
Beritaneka.com—Sesuai dengan amanat PP 71 tahun 2019, Kominfo telah melakukan pemanggilan terhadap Direksi BPJS Kesehatan pada hari Jumat, 21 Mei 2021 sebagai pengelola data pribadi yang diduga bocor untuk proses investigasi secara lebih mendalam. Ada tiga poin hasil pemeriksaan tersebut.
“Pertama, BPJS segera akan memastikan dan menguji ulang data pribadi yang diduga bocor. Investigasi yang dilakukan oleh tim internal BPJS akan selalu dikoordinasikan dengan Kementerian Kominfo dan BSSN,” ujar Juru Bicara Kementerian Kominfo, Dedy Permadi.
Baca juga: Investigasi Data Pribadi yang Bocor, Kemkominfo Panggil Direksi BPJS Kesehatan
Sedangkan, poin ketiga hasil pemeriksaan itu, langkah-langkah pengamanan data akan dilakukan oleh BPJS untuk memitigasi risiko kebocoran data pribadi yang lebih luas.
Lebih lanjut Dedi menegaskan, sebagai langkah antisipasi persebaran data pribadi yang lebih luas, Kominfo telah melakukan beberapa upaya. Raid Forums teridentifikasi sebagai forum yang banyak menyebarkan konten yang melanggar perundang-undangan di Indonesia, sehingga website tersebut, termasuk akun bernama Kotz sedang dilakukan proses pemblokiran.
Tautan untuk mengunduh data pribadi, yakni tautan data di bayfiles.com, mega.nz, dan anonfiles.com kesemuanya telah dilakukan pemblokiran.
Baca juga: 279 Juta Data Penduduk Bocor, Ini Penjelasan BPJS Kesehatan, Kominfo, dan Kemendagri
Hingga hari ini, jelas Dedy, Kominfo telah mengidentifikasi jumlah data yang lebih besar dan memperluas investigasi terhadap sekitar 1 juta data yang diklaim sebagai data sampel oleh penjual.
“Dari hasil investigasi secara acak terhadap sekitar 1 juta data tersebut, dapat disimpulkan bahwa Kominfo dan BSSN perlu melakukan investigasi lebih mendalam bersama dengan BPJS Kesehatan,” ungkapnya. (ZS)
Beritaneka.com—Hari ini, Jumat (21/05/2021), Kementerian Kominfo melakukan pemanggilan terhadap Direksi BPJS Kesehatan sebagai pengelola data pribadi yang diduga bocor untuk proses investigasi secara lebih mendalam sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019.
“Sampel data pribadi yang beredar telah diinvestigasi sejak 20 Mei 2021. Investigasi menemukan bahwa akun bernama Kotz menjual data pribadi di Raid Forums. Akun Kotz sendiri merupakan pembeli dan penjual data pribadi (reseller),” ujar Juru Bicara Kementerian Kominfo, Dedy Permadi.
Baca juga: LDN di Harkitnas, Menkominfo: Momentum Kebangkitan Nasional di Ruang Digital
Dedy menegaskan, data sampel yang ditemukan tidak berjumlah 1 juta seperti klaim penjual, namun berjumlah 100.002 data. Kementerian Komunikasi dan Informatika menemukan bahwa sampel data diduga kuat identik dengan data BPJS Kesehatan. Hal tersebut didasarkan pada struktur data yang terdiri dari Noka (Nomor Kartu), Kode Kantor, Data Keluarga/Data Tanggungan, dan status Pembayaran yang identik dengan data BPJS Kesehatan.
Kementerian Kominfo telah melakukan berbagai langkah antisipatif untuk mencegah penyebaran data lebih luas dengan mengajukan pemutusan akses terhadap tautan untuk mengunduh data pribadi tersebut.
“Terdapat 3 tautan yang terindetifikasi yakni bayfiles.com, mega.nz, dan anonfiles.com. Sampai saat ini tautan di bayfiles.com dan mega.nz telah dilakukan takedown, sedangkan anonfiles.com masih terus diupayakan untuk pemutusan akses seger,” tegas Dedy.
Baca juga: Pemerintah Pertimbangkan Aspek Geostrategis Lokasi Pusat Data Nasional
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) dan Peraturan Menkominfo No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) yang sistem elektroniknya mengalami gangguan serius akibat kegagalan perlindungan data pribadi wajib untuk melaporkan dalam kesempatan pertama kepada Kementerian Kominfo dan pihak berwenang lain.
Selain itu, PSE juga wajib untuk menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada pemilik data pribadi, dalam hal diketahui bahwa terjadi kegagalan perlindungan data pribadi. (ZS)
Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch
Beritaneka.com—Adanya rencana Pemerintah menerapkan kelas standar di ruang perawatan Rumah Sakit (RS), sesuai pasal 54A Perpres Nomor 64 Tahun 2020, tentunya akan berdampak pada dua hal yaitu mengkaji ulang iuran peserta dan nilai INA CBGS.
DJSN yang diberi tugas untuk mengkaji penerapan klas standard ini sudah menginformasikan bahwa akan ada dua kelas standar yaitu kelas PBI dan Kelas Non PBI.
Dengan adanya dua kelas standard ini maka akan ada dua jenis iuran dan dua jenis INA CBGS di satu RS, yang tergantung tipe RS nya.
Terkait iuran, tentunya sebagai konsekuensi adanya kelas standar maka akan ada iuran baru.
DJSN akan menghitung ulang iuran JKN untuk kedua kelas tersebut, khususnya kelas non PBI yaitu dari iuran PPU (pekerja penerima upah) yang iurannya berdasarkan persentase tertentu dari upah dan iuran dari PBPU dan BP yang iurannya sebesar nominal tertentu.
Kalau iuran untuk PBI tentunya akan relatif lebih mudah karena hanya satu kelompok saja yang iurannya dibayar full pemerintah. Kemungkinan Pemerintah tetap memberlakukan iuran sebesar Rp42.000 per orang per bulan.
Sementara kelas non PBI harus dihitung lebih cermat karena melingkupi PPU dan PBPU dan BP. Harus dihitung berapa persen dari upah untuk PPU dan berapa nilai nominalnya untuk PBPU dan BP.
Untuk PPU Pemerintah dan Badan Usaha/BUMN, iurannya nanti hanya satu. Tidak ada lagi pembagian kelas 2 dan kelas 1, yaitu berdasarkan upah yang diterima. Untuk PPU Badan Usaha/BUMN, ketentuan upah Rp4 juta dan di bawah Rp4 juta akan mendapat kelas 2, sementara di atas Rp4 juta dapat kelas 1, tidak akan berlaku lagi karena semua PPU Badan Usaha/BUMN akan dapat klas non PBI. Demikian juga PPU Pemerintah, tidak akan ada lagi pembagian kelas perawatan berdasarkan golongannya, semuanya akan dapat kelas non PBI.
Demikian juga dengan PBPU dan BP (keduanya biasa disebut peserta mandiri), tentunya tidak ada lagi iuran kelas 1 (Rp150 ribu), kelas 2 (Rp100 ribu) dan kelas 3 (Rp42.000 dengan subsidi).
Semuanya akan satu nilai iuran.
DJSN akan menghitung ulang iuran berdasarkan hitungan aktuaria sehingga iuran nantinya akan bisa memastikan keberlangsungan program, yaitu tidak lagi menyebabkan defisit.
Untuk PPU (Pemerintah dan Badan Usaha/BUMN) yang iurannya secara persentase, relatif lebih mudah, dan bisa saja tetap diberlakukan 5 persen dari upah. Saya berharap iuran 5 persen tetap diberlakukan, jadi tidak ada perubahan persentasenya lagi, yang dihitung berdasarkan besaran upah (gaji pokok tambah tunjangan tetap), dengan batas maksimal upah Rp12 juta.
Untuk PBPU dan BP relatif sulit karena iuran kelas 3, 2 dan 1 akan dicampur dan dihitung ulang sehingga nilai iurannya akan lebih rendah dari kelas 1 dan 2, tetapi akan lebih tinggi dari kelas 3. Ini artinya iuran kelas 3 peserta mandiri akan naik lagi, walaupun kelas 1 dan 2 akan turun.
Menurut saya, dalam proses penghitungan iuran, khususnya untuk peserta mandiri harus bisa melihat kondisi daya beli peserta kelas 3 mandiri yang kemungkinan iurannya akan naik. Saya berharap Pemerintah menerapkan iuran Rp42.000 untuk seluruh peserta mandiri dengan adanya kelas standar ini.
Bila harus ada kenaikan iuran untuk peserta mandiri kelas 3 akibat adanya kelas standar ini maka paling tidak ada dua mitigasi yang bisa dilakukan oleh pemerintah yaitu :
a.Peserta klas 3 mandiri saat ini yang memang tidak mampu dimasukkan ke PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang iurannya dibayar pemerintah, dan nanti masuk kelas standar PBI.
b.Pemerintah tetap memberikan subsidi iuran kepada peserta kelas 3 yang ada saat ini sehingga mereka tetap bisa menjadi peserta aktif, walaupun ada kenaikan iuran lagi sebagai konsekuensi penerapan kelas standar.