Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Jumlah kasus baru harian covid-19 mengalami penurunan terus dalam beberapa hari belakangan ini. Kasus baru harian per 26 Juli 2021 anjlok menjadi 28.228 orang. Dalam dua hari ini saja, kasus baru harian turun hampir 40 persen. Tentu saja data tersebut, penurunan kasus baru harian akhir-akhir ini, terlihat agak ganjil. Karena hampir sulit dipercaya kasus baru harian bisa turun secara drastis.
Jumlah kasus baru harian covid-19 sangat mudah “dipengaruhi” (atau direkayasa). Oleh karena itu, metode perhitungan harus konsisten. Agar bisa diperoleh informasi dan data yang berguna: data yang obyektif dan bertanggung jawab. Agar pandemi covid-19 bisa dikendalikan sebaik-baiknya.
Karena kasus baru terinfeksi harian dipengaruhi oleh 1) jumlah test dan 2) komposisi test: PCR versus Antigen. Komposisi test yang tidak konsisten akan menghasilkan informasi atau data yang tidak bermakna. Artinya, tidak bisa dijadikan rujukan untuk pengendalian pandemi. Tidak bisa dijadikan dasar untuk mengetahui apakah kasus pandemi sudah membaik atau malah memburuk.
Pertama, jumlah absolut orang terinfeksi harian tidak mempunyai arti sama sekali kalau tidak didampingi data lainnya. Data pada Tabel 1A tidak mempunyai arti apa-apa kecuali hanya sebagai angka belaka. Penurunan kasus baru terinfeksi harian dari rekor 56.757 orang pada 15 Juli 2021 menjadi 38.325 orang pada 20 Juli 2021 tidak mempunyai makna.
Baca juga: Kasus Covid-19 Meledak, Farouk Abdullah: Refleksi Kesalahan Paradigma Pembangunan Negara
Oleh karena itu, agar informasi dan data kasus baru terinfeksi harian ini bermakna, maka perlu data jumlah test untuk mengetahui positivity rate. Yaitu, berapa besar tingkat penularan covid-19 yang sedang terjadi di masyarakat. Semakin besar tingkat penularan maka semakin buruk pandemi ini.
Dapat dilihat bahwa jumlah test pada 20 Juli 2021 hanya 114.674 orang. Jauh lebih rendah dari jumlah test 15 Juli 2021 sebanyak 185.321 orang. Sehingga menghasilkan jumlah orang terinfeksi pada 20 Juli 2021 jauh lebih rendah dari 15 Juli 2021.
Tetapi, kalau dilihat dari tingkat penularan, yaitu positivity rate, kasus terinfeksi 20 Juli 2021 jauh lebih tinggi (33,4 persen) dibandingkan 15 Juli 2021 (30,6 persen). Artinya, tingkat penularan covid-19 masih sangat tinggi. Masyarakat rentan tertular. Karena itu, tidak boleh ada kerumunan.
Artinya, PPKM Darurat yang berakhir pada 20 Juli seharusnya diperketat. Begitu juga menjelang akhir PPKM pada 25 Juli 2021, positivity rate masih sangat tinggi: 31,2 persen. Dengan demikian, PPKM seharusnya diperketat untuk menurunkan kasus terinfeksi secepatnya. Lockdown. Bukan dengan level-level-an.
Kedua, kasus positivity rate juga dipengaruhi komposisi test: PCR atau antigen. Karena kedua test ini mempunyai positivity rate yang jauh berbeda. Sehingga perubahan komposisi test akan berdampak pada angka positivity rate total.
Asumsikan, tingkat positivity rate test PCR 50 persen, artinya ada 1 orang terinfeksi covid-19 dari setiap 2 orang yang di test PCR. Dan test antigen 10 persen, artinya ada 1 orang terinfeksi covid-19 dari setiap 10 orang yang di test antigen.
Kalau jumlah test ditentukan sebanyak 200.000 orang, terdiri dari test PCR 120.000 orang (60 persen) dan test antigen 80.000 orang (40 persen), maka jumlah orang terinfeksi menjadi 68.000 orang, Yaitu, 60.000 orang dari test PCR (120.000 x 50 persen) dan 8.000 orang dari test antigen (80.000 orang x 10 persen). Artinya, positivity rate secara total menjadi 34 persen (68.000 orang dari 200.000 orang).
Tetapi, kalau komposisi jumlah test PCR dan jumlah test antigen dibalik masing-masing menjadi 40 persen untuk PCR dan dan 60 persen untuk antigen, maka jumlah orang terinfeksi dari test PCR menjadi 40.000 (= 40 persen jumlah test x 200.000 orang x 50 persen positivity rate). Sedangkan jumlah orang terinfeksi dari test antigen menjadi 12.000. Sehingga total terinfeksi menjadi 52.000, atau hanya 26 persen. Lihat Tabel 2.
Kalau jumlah test dikurangi menjadi 100.000 orang, maka jumlah orang terinfeksi akan berkurang menjadi setengahnya juga. Yaitu, kalau komposisi PCR dan antigen 60 persen vs 40 persen maka jumlah orang terinfeksi menjadi 34.000. Turun drastis dari 68.000. Sedangkan kalau komposisi test PCR versus antigen menjadi 40 persen vs 60 persen, maka jumlah orang terinfeksi menjadi 26.000.
Baca juga: Penanganan Covid-19 Prioritas Utama, Fathan: Hentikan Proyek Infrastruktur
Dari contoh di atas dapat dilihat betapa mudahnya “memengaruhi” jumlah orang terinfeksi harian. Melalui 1) jumlah test dan 2) komposisi test (PCR vs antigen).
Komposisi test pada bulan Juli 2021 dapat dilihat di Tabel 4. Test PCR semakin berkurang dalam seminggu terakhir. Membuat kasus positivity rate secara total seolah-olah turun. Informasi ini bisa menyesatkan. Karena komposisi test antara PCR dan antigen tidak konsisten.
Dalam hal ini, positivity rate dari test PCR harus menjadi pegangan utama dalam menentukan apakah kondisi pandemi membaik atau memburuk: bukan dari jumlah orang terinfeksi, dan bukan dari total positivity rate.
Ternyata kasus pandemi berdasarkan test PCR sejauh ini belum membaik. Positivity rate masih sangat tinggi. Seperti dapat dilihat dari Tabel 4. Artinya, pengendalian pandemi covid-19 sejauh ini belum berhasil menurunkan jumlah orang terinfeksi.
Dalam hal ini, positivity rate dari test PCR harus menjadi pegangan utama dalam menentukan apakah kondisi pandemi membaik atau memburuk: bukan dari jumlah orang terinfeksi, dan bukan dari total positivity rate.
Ternyata kasus pandemi berdasarkan test PCR sejauh ini belum membaik. Positivity rate masih sangat tinggi. Seperti dapat dilihat dari Tabel 4. Artinya, pengendalian pandemi covid-19 sejauh ini belum berhasil menurunkan jumlah orang terinfeksi.
Mari kita imajinasi. Kalau jumlah test pada 26 Juli kemarin diambil dari 250.000 orang, dan komposisi test terdiri dari 60 persen PCR dan 40 persen antigen, maka pada hari itu akan ada 67.000 jumlah orang terinfeksi.
Maka, sangat berbahaya kalau penurunan kasus terinfeksi harian diperoleh melalui perubahan test: perubahan jumlah test dan perubahan komposisi test. Karena perubahan ini dapat menyembunyikan bahaya sesungguhnya.
Yaitu, bermain dengan data pandemi, berarti bermain dengan nyawa manusia. Karena kesalahan informasi bisa berakibat fatal. Kebijakan yang diambil bisa salah fatal. Yaitu relaksasi “lockdown” sebelum waktunya. Yang akhirnya bisa membuat kasus terinfeksi melonjak dan tidak terkendali.
Beritaneka.com—Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia membawa kesulitan dan keprihatinan bagi masyarakat terdampak, sehingga proses distribusi bantuan sosial di berbagai daerah harus lebih dioptimalkan.
Untuk itu, Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin mendorong agar proses perbaikan data masyarakat penerima bantuan sosial dapat dipercepat sehingga proses distribusi dapat berjalan lancar.
“Masih rendahnya penyaluran bantuan sosial, memerlukan dukungan pemerintah Jawa Timur untuk melakukan percepatan melalui perbaikan data para penerima manfaat,” ujar Wapres seperti dilansir dari laman www.wapresri.go.id.
Baca juga: Wapres Ma’ruf Amin: Potensi Radikalisme Menurun di Indonesia
Wapres menyadari diperlukan tenaga yang lebih banyak dan kerja sama yang kuat antara pemerintah daerah dan pusat dalam menanggulangi pandemi Covid-19.
“Saya sangat mengetahui bahwa semua pihak telah bekerja keras dan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Tapi pandemi Covid-19 ini memang membutuhkan ekstra kerja keras dan kerja sama, bahu membahu antara pusat dan daerah,” tuturnya.
Lebih jauh, langkah ini dilakukan Wapres sebagai upaya untuk mewujudkan sinergi yang lebih ideal antara pemerintah pusat dan daerah.
“Saya ingin mendorong dan memfasilitasi agar koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah dapat terlaksana lebih baik lagi,” ungkap Wapres.
Menutup arahannya, Wapres berharap agar koordinasi yang terus diupayakan pemerintah pusat dan daerah dapat menghasilkan solusi dan dapat dilaksanakan dengan baik oleh pihak-pihak yang terkait.
“Kita ingin hal-hal yang menjadi hambatan, kita coba cari (solusinya) supaya semuanya bisa berjalan dengan baik,” harap Wapres.
Baca juga: Wapres Dorong Inovasi dan Digitalisasi Zakat
Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memaparkan perkembangan bantuan sosial kepada masyarakat, yaitu penyaluran dana desa yang sudah tersalurkan lebih dari 50% dan akan terus ditingkatkan lagi penyerapannya
“Dihitung dari 30 kabupaten/kota, maka total penyaluran 50,46%. Jadi, kondisinya sudah lebih dari 50% untuk penyaluran dana desa,” papar Khofifah.
“Pencairan BLT dana desa yang sudah ke rekening kas dana desa total bulan Januari hingga Juli sudah tersalurkan Rp 14,630 miliar, dan akan ditingkatkan lagi penyerapannya,” imbuh Khofifah.
Turut hadir secara virtual Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Teten Masduki, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Ganip Warsito, serta para anggota Satgas Penanganan Covid-19 Jawa Timur.
Sementara itu, Wapres didampingi oleh Kepala Sekretariat Wapres Mohamad Oemar dan Staf Khusus Wapres Masduki Baidlowi.
Beritaneka.com—Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diminta menindak lanjuti temuan permasalahan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang digunakan untuk penyaluran bansos. Berdasarkan hasil pemeriksaan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) 2020, BPK menemukan tidak validnya DTKS penetapan Januari 2020 pada Kemensos. Sebanyak 47 kabupaten/kota belum melakukan finalisasi data untuk penetapan DTKS.
Berdasarkan temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Sosial untuk meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan pemda dalam proses pendataan, verifikasi, dan validasi DTKS. Rekomendasi lainnya, Menteri Keuangan juga perlu mengkoordinasikan pemenuhan data sebagai dasar perencanaan, pelaporan, serta evaluasi atas efektivitas Program PC-PEN.
“Saya ingat, BPK sempat berkonsultasi ke DPR tentang bagaimana penanganan terhadap alokasi dana Covid-19. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan, BPK memberi rekomendasi kepada Menkeu dan Mensos ya, dari sisi database dan sisi anggaran. Tetapi dari sisi temuan, apakah dari kementerian dan lembaga atau Pemda, atau desa, lebih banyak temuan di sisi Covid atau sisi program lainnya,” ujar Anggota Komisi XI DPR RI Ela Siti Nuryamah.
Baca juga: BI Mau Terapkan Mata Uang Digital, DPR Minta Dikaji Lebih Dalam
Tidak hanya temuan terkait data bansos, BPK juga mengungkap adanya permasalahan regulasi dan kebijakan terkait refocusing dan realokasi APBD pada Kemendagri. BPK menilai beberapa regulasi/kebijakan belum sepenuhnya selaras, dan pedoman/petunjuk dalam penyusunan laporan penyesuaian APBD belum ditetapkan. Sehingga BPK merekomendasikan Mendagri untuk meningkatkan koordinasi dengan Menkeu sehingga kebijakan yang diterbitkan tidak multitafsir.
“Terkait rekomendasi ini saya sepakat, terus terang banyak pemda yang kebingungan dalam sisi payung hukum regulasi refocusing yang akhirnya kadang ada yang dipercepat, atau malah main pangkas tanpa ada analisa lebih tajam. Pemerintah berdalih dananya dialihkan ke Covid, padahal waktunya sangat mepet. Dampaknya jadi tidak terarah pada target pembangunan. Saya rasa rekomendasi ini cukup bagus,” ungkapnya.
Baca juga: DPR Pertahankan RUU Kontroversial, Formappi: Perburuk Kinerja Bidang Legislasi
Pada paparan yang disampaikan, Sekretaris Jenderal BPK Bahtiar Arif juga melaporkan sejumlah temuan permasalahan lain, seperti belum dilakukannya identifikasi dan kodifikasi secara menyeluruh atas program serta alokasi pagu PC-PEN dalam APBN 2020. Selain itu, menurutnya penyusunan program dan perubahan program PC-PEN pada Kementerian Keuangan juga belum sepenuhnya didukung dengan data atau perhitungan yang andal.
Pada Kementerian Kesehatan, BPK menyampaikan adanya permasalahan permasalahan pada kegiatan testing, tracing, treatment, dan edukasi serta sosialisasi Covid-19. “Rekomendasinya, Menkes agar melaksanakan pelatihan, menetapkan standar prosedur pengelolaan alat kesehatan untuk penanganan Covid-19 dan meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah,” pungkasnya.
Oleh: Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch
Beritaneka.com—Kebocoran data penduduk Indonesia menjadi berita hangat saat ini. Ada pihak luar yang mengkaim memiliki 279 juta penduduk Indonesia. Atas klaim tersebut Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan investigasi sumber kebocoran data tersebut. Berdasarkan hasil investigasi terbaru yang dilakukan terhadap dugaan kebocoran data penduduk, diduga kuat identik dengan data BPJS Kesehatan.
Hal tersebut didasarkan pada data Noka (Nomor Kartu), Kode Kantor, Data Keluarga/Data Tanggungan, dan status pembayaran yang identik dengan data BPJS Kesehatan. Data sampel yang ditemukan tidak berjumlah 1 juta seperti klaim penjual, tetapi sebanyak 100.002 data.
Tentunya kebocoran data ini menjadi hal yang sangat serius karena akan memiliki dampak bagi banyak hal. Keseriusan masalah ini segera ditindaklanjuti oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan memanggil Direksi BPJS Kesehatan.
Baca juga: 279 Juta Data Penduduk Bocor, Ini Penjelasan BPJS Kesehatan, Kominfo, dan Kemendagri
Sebagai institusi public BPJS Kesehatan memang mengelola data yang sangat besar dan relatif rinci. Hal ini tentunya terkait dengan tugas pelayanan BPJS Kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia. Menurut Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018, seluruh rakyat Indonesia diwajibkan ikut program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Jumlah peserta JKN terkini sekitar 222,4 juta orang atau sekitar 82,37 persen dari total rakyat Indonesia.
Data-data yang dikelola oleh BPJS Kesehatan sangat beragam dan rinci. Terkait dengan data pribadi, data tersebut antara lain nama, alamat, tempat tanggal lahir, NIK, nama keluarga dalam satu KK, upah bagi peserta Penerima Upah, nomor rekening bagi peserta Bukan Penerima Upah, hingga sidik jari.
Tidak hanya itu, BPJS Kesehatan pun mengelola data kesehatan peserta JKN maupun fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, dari masyarakat sipil maupun militer. Data-data tersebut tentunya sangat confidential, yang harus dijaga agar tidak berpindah ke pihak lain.
Untuk mendukung pengelolaan seluruh hal di atas, kerja-kerja BPJS Kesehatan didukung teknologi infomasi, untuk lebih efisien dan efektif. BPJS Kesehatan memiliki banyak aplikasi seperti Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Kepesertaan, Aplikasi Sistem Informasi Layanan Publik, Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Penjaminan Pelayanan Kesehatan.
Untuk mendukung Sistem Informasi Manajemen Kepesertaan, BPJS Kesehatan memiliki 6 Aplikasi yaitu :
1. Mobile JKN, dengan jenis aplikasi Mobile Android dan IOS. Fitur dan manfaat aplikasi ini dipergunakan untuk pendaftaran peserta baru PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah), pindaf Fasilitas Kesehatan, Cek Tagihan, Riwayat pembayaran, Pencaian Fasilitas Kesehatan, Skrining Riwayat Kesehatan, Pendaftaran Antrian Faskes, Ketersediaan Tempat Tidur dan Jadwal Operasi, dan informasi lainnya. Pengguna aplikasi ini adalah public dan internal BPJS Kesehatan.
2. Aplikasi BPJS Checking, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini digunakan untuk cek tagihan iuran peserta via website BPJS Kesehatan. Pengguna aplikasi ini adalah peserta BPJS Kesehatan.
3. Aplikasi e-Dabu, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini dipergunakan untuk peserta segmen Badan Usaha untuk dapat melakukan pendaftaran karyawan, mutasi karyawan,informasi tagihan, dsb. Pengguna aplikasi ini adalah Badan Usaha.
4. Aplikasi BPJS Admin, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini untuk mencetak e-ID peserta pekerja penerima upah Badan Usaha. Pengguna aplikasi ini adalah Badan Usaha.
5. Aplikasi Registrasi Badan Usaha, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini untuk pendaftaran Badan Usaha menjadi peserta BPJS Kesehatan via website BPJS Kesehatan. Pengguna aplikasi ini adalah Badan Usaha.
6. Portal Bersama, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini adalah portal pendaftaran Badan Usaha untuk mendaftar peserta BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Pengguna aplikasi ini adalah Badan Usaha.
Untuk mendukung Sistem Informasi Layanan Publik, BPJS Kesehatan memiliki 6 Aplikasi yaitu Website BPJS Kesehatan, Aplikasi Mudik BPJS Kesehatan, Portal Jamkesnews, Aplikasi Aplicares, dan Web Skrining (skrining Kesehatan peserta).
BPJS Kesehatan pun memiliki Sistem Informasi Manajemen Penjaminan Pelayanan Kesehatan yang terdiri dari 8 Aplikasi yaitu Aplikasi Health Facilities Information System (HFIS), Aplikasi Pcare-Eclaim, Aplikasi vClaim, Aplikasi Sidik Jari BPJS Kesehatan, Aplikasi Antrean Faskes, Aplikasi Luar paket INACBGs (LUPIS), Aplikasi Apotek Online, dan Aplikasi Klaim Covid-19.
Ketentuan tentang tata Kelola Teknologi Informasi (TI) ini diatur dalam Peraturan Direksi BPJS Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Panduan Umum Pengelolaan Teknologi Informasi BPJS Kesehatan.
Baca juga: Investigasi Data Pribadi yang Bocor, Kemkominfo Panggil Direksi BPJS Kesehatan
Beberapa framework dan standar tata Kelola TI yang diimplementasikan BPJS Kesehatan antara lain:
1. Control Objectives for Information and Related Technology (COBIT) yang dikembangkan oleh IT Governance Institute untuk membantu BPJS Kesehatan dalam melakukan penilaian tata Kelola atas proses TI yang dimiliki. Tahun 2020 telah dilakukan assessment tingkat kapabilitas tata Kelola TI BPJS Kesehatan menggunakan standar COBIT 5.
2. The IT Infrastucture Library (ITIL) yang dikembangkan oleh office of government Commerce untuk membantu suatu organisasi dalam menyediakan tata Kelola atas layanan operasional TI yang baik dan memenuhi harapan pengguna.
3. The ISO/IEC 27001:2013 (ISO 27001) yang merupakan standarisasi penerapan Sistem Manajemen Keamanan Informasi (SMKI) atau Information Security Management System (ISMS) yang memenuhi standar internasioal.
4. The ISO/IEC 20000:2011 (ISO 20000) yang merupakan standarisasi yang dikembangkan oleh ISO untuk membantu suatu organisasi daam hal penerapan Sistem Manajemen Layanan TI (SMLTI) atau Information Technology Service Management (ITSM) yang memenuhi standar internasioal.
Saat ini BPJS Kesehatan telah berhasil memperoleh sertifikasi untuk The ISO/IEC 27001:2013 (ISO 27001) dan The ISO/IEC 20000:2011 (ISO 20000) dari Lembaga Sertifikasi International British Standars Intitution (BSI).
Tentunya dugaan kebocoran data yang diduga dari BPJS Kesehatan tersebut, bila dikaitkan dengan banyaknya aplikasi di BPJS Kesehatan, maka kebocoran data tersebut kemungkinan bisa disebabkan diretasnya aplikasi-aplikasi tersebut khususnya Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Kepesertaan dan Aplikasi pelayanan Kesehatan, dan kemungkinan kedua adalah adanya orang dalam yang membocorkan data-data tersebut. Namun saya cenderung menilai kemungkinan pertama yang terjadi, walaupun tentunya penyelidikan atas kemungkinan kedua pun harus dilakukan.
Bila memang karena diretas maka pengamanan aplikasi TI yang dimiliki BPJS Kesehatan relatif rendah. BPJS Kesehatan tidak bisa memastikan beberapa framework dan standar tata Kelola TI yang diimplementasikan BPJS Kesehatan untuk menjamin keamanan aplikasi-aplikasi di BPJS Kesehatan. Sebaiknya memang aplikasi yang ada di BPJS Kesehatan juga bisa disederhanakan jumlahnya sehingga bisa lebih efektif dan efisien dalam mengalola program JKN.
Kebocoran data ini harus dituntaskan oleh Pemerintah. Kebocoran data kepesertaan ini juga akan berdampak pada kebocoran data medis rakyat Indonesia yang dikelola BPJS Kesehatan. Ini sangat berbahaya bagi Indonesia bila data rakyat Indonesia dan data medis bisa dimiliki pihak lain.
Beritaneka.com—Hari ini, Jumat (21/05/2021), Kementerian Kominfo melakukan pemanggilan terhadap Direksi BPJS Kesehatan sebagai pengelola data pribadi yang diduga bocor untuk proses investigasi secara lebih mendalam sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019.
“Sampel data pribadi yang beredar telah diinvestigasi sejak 20 Mei 2021. Investigasi menemukan bahwa akun bernama Kotz menjual data pribadi di Raid Forums. Akun Kotz sendiri merupakan pembeli dan penjual data pribadi (reseller),” ujar Juru Bicara Kementerian Kominfo, Dedy Permadi.
Baca juga: LDN di Harkitnas, Menkominfo: Momentum Kebangkitan Nasional di Ruang Digital
Dedy menegaskan, data sampel yang ditemukan tidak berjumlah 1 juta seperti klaim penjual, namun berjumlah 100.002 data. Kementerian Komunikasi dan Informatika menemukan bahwa sampel data diduga kuat identik dengan data BPJS Kesehatan. Hal tersebut didasarkan pada struktur data yang terdiri dari Noka (Nomor Kartu), Kode Kantor, Data Keluarga/Data Tanggungan, dan status Pembayaran yang identik dengan data BPJS Kesehatan.
Kementerian Kominfo telah melakukan berbagai langkah antisipatif untuk mencegah penyebaran data lebih luas dengan mengajukan pemutusan akses terhadap tautan untuk mengunduh data pribadi tersebut.
“Terdapat 3 tautan yang terindetifikasi yakni bayfiles.com, mega.nz, dan anonfiles.com. Sampai saat ini tautan di bayfiles.com dan mega.nz telah dilakukan takedown, sedangkan anonfiles.com masih terus diupayakan untuk pemutusan akses seger,” tegas Dedy.
Baca juga: Pemerintah Pertimbangkan Aspek Geostrategis Lokasi Pusat Data Nasional
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) dan Peraturan Menkominfo No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) yang sistem elektroniknya mengalami gangguan serius akibat kegagalan perlindungan data pribadi wajib untuk melaporkan dalam kesempatan pertama kepada Kementerian Kominfo dan pihak berwenang lain.
Selain itu, PSE juga wajib untuk menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada pemilik data pribadi, dalam hal diketahui bahwa terjadi kegagalan perlindungan data pribadi. (ZS)