Beritaneka.com, Solo —Haedar Nashir kembali terpilih menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2022-2027 dalam Sidang Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo, Jawa Tengah. “Diserahkan kepada pimpinan baru yang kami sebutkan tadi Prof Haedar dan Prof Abdul Mu’ti,” kata panitia Muktamar PP Muhammadiyah A Dahlan Rais dalam siaran YouTube tvMU Channel, Minggu (20/11/2022). Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dijabat Abdul Mu’ti.
Acara kemudian dilanjutkan serah terima jabatan dari pengurus PP Muhammadiyah periode 2017-2022 ke pimpinan periode 2022-2027.
Sebelumnya, Sidang Muktamar Muhammadiyah Ke-48 sudah memilih 13 formatur PP Muhammadiyah. Posisi pertama ditempati Haedar Nashir dengan 2.203 suara, sedangkan posisi kedua adalah Abdul Mu’ti 2.159 suara.
Baca Juga:
- Pemerintah Optimistis Kereta Cepat Jakarta-Bandung Beroperasi Tahun Depan
- Sebanyak 25.700 Karyawan Pabrik Sepatu Kena PHK
- KTT G20, Presiden Jokowi Serukan Penghentian Perang
- Pemilik Kendaraan Bisa Manfaatkan Pemutihan Pajak Kendaraan hingga Akhir Tahun Ini
Berikut daftar 13 formatur PP Muhammadiyah:
- Haedar Nashir 2.203
- Abdul Mu’ti 2.159
- Anwar Abbas 1.820
- M Busyro Muqoddas 1.778
- Hilman Latif 1.675
- Muhadjir Effendy 1.598
- Syamsul Anwar 1.494
- Agung Danarto 1.489
- M Saad Ibrahim 1.333
- Syafiq A Mughni 1.152
- Dadang Kahmad 1.119
- Ahmad Dahlan Rais 1.080
- Irwan Akib 1.001
Haedar Nashir telah menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2015-2022 dan terpilih kembali untuk periode selanjutnya 2022-2027.
Kami kutip dari situs resmi UMY, Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si. adalah Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Haedar Nashir mengajar sebagai dosen program studi Ilmu Pemerintahan UMY.
Riwayat pendidikan Haedar Nashir dimulai di SD/MI Ciparay Bandung, kemudian Pondok Pesantren Cintawana, Tasikmalaya dan SMA Negeri X Bandung. Haedar kemudian berkuliah di STPMD Yogyakarta.
Setelah menamatkan gelar S1 Ilmu Sosiatri STPMD Yogyakarta, Haedar kembali mengambil kuliah untuk gelar S2 dan S3 yang diraihnya dari Fakultas Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (UGM) program studi Sosiologi.
Haedar menjadi anggota Muhammadiyah Cabang Ngampilan, Yogyakarta sejak tahun 1983. Kiprah keorganisasian Haedar Nashir di Muhammadiyah yakni sebagai ketua I PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) periode 1983-1986 dan Departemen Kader PP Pemuda Muhammadiyah periode 1985-1990.
Setelah itu, Haedar masuk di Pimpinan Pusat Muhammadiyah mula-mula sebagai Ketua Badan Pendidikan Kader (BPK) dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah (BPK-PAMM) periode 1985-1995 dan 1995-2000.
Haedar lalu duduk sebagai salah seorang ketua PP Muhammadiyah di bawah ketua umum Din Syamsuddin untuk dua periode tahun 2005-2015. Kemudian, berdasarkan hasil rapat 13 anggota tetap PP Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015, Haedar Nashir terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2015-2020.
Haedar Nashir diketahui tidak pernah duduk di partai politik manapun. Suami dari ketua organisasi perempuan Muhammadiyah Aisyiyah, Dra Siti Noodjannah M.Si, M.M, ini juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Sejumlah buku telah ditulis Haedar Nashir, di antaranya; Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Memahami Ideologi Muhammadiyah, Islam Syariat, Muhammadiyah Abad Kedua, Pendidikan Kewarganegaraan, Proses Integrasi dan Konflik dalam Hubungan Antar Pemeluk Agama.
Beritaneka.com, Jakarta —Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mengajak kaum muslimin menghidupkan kembali jiwa dan semangat berbagi. Inti dari ibadah kurban menurut Haedar adalah ruh untuk rendah hati mendermakan sebagian nikmat yang dimiliki baik berupa ilmu, tenaga, akal pikiran, hingga harta yang semua itu diberikan dengan semangat pencerahan.
“Mereka yang punya ilmu tidak arogan dengan keilmuannya dan mau berbagi ilmu dalam usaha mencerdasaan dan mencerahkan akal budi umat dan bangsa sehingga ilmu itu menyinari jiwa, akal budi, alam pikiran dan menyinari tindakan,” pesan Haedar Nashir sebagaimana dilansir laman resmi PP Muhammadiyah.
Berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul hilal, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan 10 Dzulhijjah 1443 Hijriah atau Hari Idul Adha jatuh pada hari Sabtu, 9 Juli 2022 ini.
Dalam amanat yang Haedar sampaikan pada malam takbiran Idul Adha, Jumat (8/7/2022), Haedar juga berpesan agar siapapun yang memiliki akses dalam kekayaan, kekuasaan dan jabatan publik menggunakan kelebihan yang dimilikinya itu untuk semaksimal mungkin menebar kemaslahatan pada orang banyak.
“Kekuasaan bukan untuk kekuasaan, kekuasaan bukan untuk memupuk oligarki, kekuasaan apalagi jangan sampai disalahgunakan untuk korupsi dan segala bentuk penyimpangan kekuasaan,” kata Haedar.
Kekuasaan itu amanah, untuk berkhidmat baik dalam konteks kita ingin membangun umat terbaik maupun bangsa yang unggul, maka kekuasaan yang mau berkurban adalah kekuasaan yang mampu mensejahterakan, mendamaikan, mempersatukan, memajukan sekaligus menghindari segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
“Bagi mereka yang sedang dilanda masalah, musibah dan memerlukan pembelaan, negara harus hadir,” tegasnya. Bagi mereka yang memiliki kelebihan harta baik secara individu, korporasi, ataupun perusahaan, Haedar mengingatkan agar mereka tetap berbagi kepada mereka yang kekurangan.
“Jangan sampai kekayaan itu kemudian membuat kita senjang dengan sesama rakyat dan anak bangsa. Mereka yang memiliki akses dan kekuatan ekonomi kita harapkan semangat berbaginya untuk membagi kue yang dimilikinya untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” pesan Haedar.
Beritaneka.com—Jakarta, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah akan bekerja sama menolak dan mencegah penyebaran paham radikal terorisme di Indonesia.
“Kerja sama yang baik dengan PP Muhammadiyah sangat penting dalam rangka penguatan moderasi beragama,” kata Kepala BNPT Komjen Pol. Boy Rafli Amar saat bertemu dengan Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir, di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta pada Jumat (1/4/2022).
Dalam rangka mencegah paham radikal terorisme, BNPT sangat terbuka dan menerima masukan dari berbagai pihak terutama dari Muhammadiyah. “Tokoh-tokoh agama Muhammadiyah bisa memberikan masukan kepada kami,” katanya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, moderasi beragama adalah model yang sangat cocok dalam menangkal narasi radikal terorisme.
“Dari iklim saja Indonesia sudah moderat. Dari segi sejarah di mana agama-agama masuk ke Indonesia juga ada bermacam-macam agama dan tidak ada perang. Pendidikan moderasi itu hasilnya long-term. BNPT tidak berjalan sendirian dalam menguatkan moderasi beragama,” katanya.
Haedar mengatakan anak muda yang menjadi target propaganda radikal terorisme harus dilindungi. Pemikiran radikal yang ingin mengganti haluan negera dengan sistem agama adalah kekeliruan yang fatal. Konsep NKRI dengan Pancasila-nya adalah Darul Ahdi Wa Syahadaah, berarti negara kesepakatan dan persaksian.
“Indonesia negara Pancasila itu sejalan dengan Islam. Hasil Ijtihad dari pemuka agama dan para ulama. Maka tidak perlu lagi mencari bentuk negara lain,” katanya. Melanjutkan silaturahmi ini BNPT dan Muhammadiyah akan melakukan perjanjian kerja sama dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme.
Beritaneka.com—Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir berpidato dalam Resepsi Milad Ke-109 Muhammadiyah. Muhammadiyah optimistis pandemi Covid-19 bisa diselesaikan jika semua pihak bersatu dan tidak bercerai-berai.
“Pandemi dan masalah negeri dapat diselesaikan secara simultan jika semua pihak bersatu dalam bingkai Indonesia milik bersama. Syaratnya tumbuhkan sikap mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kehendak diri, kroni, golongan, dan kepentingan sendiri-sendiri,” kata Haedar Nashir kami kutip hari ini Kamis (18/11/2021).
Haedar mengatakan Indonesia akan gagal bangkit dan maju manakala para pihak bercerai-berai dan silang-sengketa dalam keangkuhan ananiyah-hizbiyah atau egoisme kelompok. Indonesia, harus dibawa maju bersama dalam semangat persatuan Indonesia dan kepribadian bangsa.
Baca Juga: Hari Ini Milad Ke-109 Muhammadiyah: Optimis Hadapi Pandemi Covid-19: Menebar Nilai Utama
“Kemajuan dan keunggulan Indonesia haruslah memiliki fondasi yang kokoh berlandaskan konstitusi, dasar negara Pancasila, serta nilai-nilai luhur agama dan kebudayaan yang hidup dan mendarah-daging dalam jati diri bangsa. Modal ruhaniahnya ialah kesungguhan dan benih kebaikan,” katanya.
Haedar menyebutkan, kunci menghadapi pandemi dan menyelesaikan masalah negeri ialah tekad dan kesungguhan yang kuat disertai ketulusan, kejujuran, keterpercayaan, kecerdasan, keseksamaan, serta langkah-langkah tersistem yang terfokus pada mencari solusi, seraya menghindari sikap dan langkah yang serampangan, tidak prioritas, kontraproduksi, dan kegaduhan.
“Sungguh tidak ada kekuatan yang akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa yang berat secara sendirian. Semua pihak berkiprah proaktif dalam kebersamaan, termasuk peran TNI dan Polri sebagai pilar penting negara,” katanya.
Haedar berujar bagi kaum muslimin Indonesia sebagai mayoritas di negeri ini terdapat tuntutan dan tantangan untuk menjadi kekuatan pencerdas, pencerah, pendamai, dan pembawa kemajuan yang bersendikan ajaran Islam yang rahmatan lil-‘alamin. Umat Islam Indonesia harus tampil sebagai uswah hasanah (teladan terbaik) dan khaira ummah (umat terbaik) yang unggul berkemajuan.
Haedar mengatakan, pandemi ini masalah bersama yang niscaya menjadi ibrah dan hikmah yang menumbuhkan pandangan dan sikap luhur berbasis nilai-nilai utama (al-qiyam al-fadlilah). Di antara nilai-nilai utama yang niscaya dikembangkan ialah nilai tauhid prokemanusiaan, nilai pemuliaan manusia, nilai persaudaraan dan kebersamaan, nilai kasih sayang, nilai tengahan, nilai kesungguhan berikhtiar, nilai keilmuan, serta nilai kemajuan.
“Dari musibah Covid-19 dapat dipetik hikmah untuk menguatkan keyakinan tauhid kaum beriman bahwa segala sesuatu di alam semesta ini absolut dalam kekuasan Allah. Hidup dan mati dengan segala siklusnya berada dalam genggaman-Nya. Manusia sungguh kecil dan tak berdaya. Maka tegak luruskan pengabdian kepada Allah seraya cerahkan akal budi untuk mencerahkan kehidupan,” katanya.
Bertauhid meniscayakan kepedulian pada persoalan kemanusiaan, termasuk menyelamatkan jiwa manusia. Tauhid ajaran multidimensi, baik vertikal dalam hubungan dengan Allah maupun horizontal dalam relasi kemanusiaan dan alam semesta. Itulah, kata Haedar, kredo tauhid yang melahirkan ihsan kepada kemanusiaan dan rahmat bagi semesta alam.
Haedar melanjutkan, pandemi Covid-19 memberikan arti pentingnya memuliakan manusia. Jiwa manusia agar dihargai dan diselamatkan, sebaliknya jangan disia-siakan dan direndahkan. Manusia dengan seluruh dimensinya mesti diletakkan dalam ruang metafisika dan kosmologi kehidupan yang utuh, bermakna, dan multidimensi. Manusia jangan dianggap raga indrawi semata.
“Islam menempatkan manusia fi ahsan at-taqwim, makhluk sebaik-baik ciptaan Tuhan. Karenanya manusia sendiri haruslah bermartabat, serta jangan saling menghinakan dan menganut paham yang merendahkan,” katanya.
Haedar menyebut pandemi sebagai masalah bersama. Setiap orang tidak bisa egois dan merasa bebas dari wabah. Diperlukan jiwa bersaudara dan kebersamaan dalam menghadapinya. Pandemi juga mengajarkan untuk memiliki sikap welas asih atau kasih sayang dengan sesama.
“Islam mengajarkan tarahum atau cinta kasih yang lahir dari nilai ihsan, ukhuwah, silaturahmi, dan ta’awun dalam wujud kepeduliaan, empati, simpati, kerjasama, dan kebersamaan. Jika tidak mau membantu sesama jangan bertindak semaunya. Jika tidak dapat memberi solusi atas masalah yang dihadapi, jangan menjadi bagian dari masalah dan menambah masalah,” katanya.
Muhammadiyah, lanjut Haedar, dalam menghadapi pandemi Covid-19 maupun berbangsa-bernegara mengembangkan wasathiyah atau sikap tengahan, yakni pandangan yang adil dan tidak radikal-ekstrem. Muhammadiyah berusaha mengembangkan nilai wasathiyah yang memiliki prinsip dan autentik, tanpa merasa paling moderat.
Moderasi dan usaha melawan radikal-esktrem dalam pandangan Muhammadiyah haruslah ditegakkan secara moderat untuk semua aspek, jangan sampai atas nama moderat dan moderasi membenarkan “apa saja” dan menjurus pada hal-hal yang ekstrem (ghuluw atau tatarruf).
Usaha mengatasi pandemi merupakan komitmen dan tanggung-jawab bersama. Konsistensi melaksanakan kebijakan oleh pemerintah, disiplin menjalankan protokol kesehatan oleh seluruh warga, melakukan vaksinasi, dan berbagai langkah lainnya merupakan keniscayaan dalam mengatasi pandemi ini.
Baca Juga: Didukung DPR, Kejagung Segera Lelang Aset Koruptor Jiwasraya
Haedar menuturkan, pandemi meniscayakan pentingnya manusia bersandar pada ilmu. Para ahli epidemiologi, ahli virus, kedokteran, ahli vaksin, dan para ilmuwan lainnya telah memberi sumbangan berharga dalam memahami dan menghadapi virus Corona yang mengguncang dunia ini. “Ilmu pemgetahuan dan teknologi penting disertai hikmah agar tidak mengarah pada keangkuhan ilmuwan dan absolutisme kebenaran,” katanya.
Haedar mengatakan, pandemi ini meniscayakan manusia untuk belajar memahami masalah secara mendalam dan luas serta membangkitkan diri untuk maju pascamusibah. Musibah boleh jadi merupakan cara Tuhan agar manusia terus mengungkap rahasia ciptaan-Nya yang sangat luas dan tak terbatas, bersyukur atas segala nikmat-Nya, serta mengakui Kemahakuasaan-Nya.
Beritaneka.com—Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan ucapan selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-93. Sumpah Pemuda bermakna janji yang menjadi tonggak awal kesadaran nasional dan memperkokoh persatuan Indonesia.
“Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan selamat Sumpah Pemuda ke-93 dengan tema Bersatu, Bangkit, dan Tumbuh,” kata Haedar kami kutip dari keterangan tertulisnya, hari ini Kamis (28/10/2021).
“Sumpah Pemuda merupakan tonggak sejarah dalam perjuangan bangsa Indonesia ketika kaum muda Indonesia, dengan semangat progesif dan integritas keIndonesiaan yang luar biasa, menjadi kekuatan perekat yang mendeklarasikan satu Indonesia,” kata Haedar.
Baca Juga: Harga Tes PCR Rp300 Ribu, Legislator: Perlu Dikaji Ulang
Kata Haedar, dengan semangat untuk satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air, Sumpah Pemuda memiliki dampak yang luar biasa besar sehingga mampu merekatkan persatuan nasional.
Rasa kesatuan rakyat Indonesia ini, berpengaruh terhadap perebutan Kemerdekaan Republik Indonesia dari tangan penjajah. Haedar berharap, Sumpah Pemuda yang merupakan bagian dari sejarah harus tetap dijaga, terutama bagi generasi milenial.
“Sesungguhnya sumpah pemuda merupakan tonggak untuk persatuan Indonesia bangkit melawan penjajah menuju kemerdekaan. Setelah 97 tahun, tentu kaum muda Indonesia perlu melakukan refleksi diri agar tetap menjadi kekuatan yang mampu memaksimalkan potensi bangsa, agar kita mampu mengejar ketertinggalan dari bangsa yang sudah maju,” kata Haedar.
Dengan semangat bersatu dan persatuan, Haedar yakin pemuda Indonesia akan menjadi pelopor yang merekatkan persatuan nasional di tengah keberagaman.
Baca Juga: JASMERAH: Daerah Yang Membangun Indonesia Merdeka
Sebab, ongkos mempersatukan bangsa Indonesia tidaklah murah, melainkan harus dibayar dengan darah dan nyawa para pejuang kemerdekaan. Karenanya, Haedar tidak ingin para pemuda menyia-nyiakan perjuangan para pahlawan.
“Saat ini kita menghadapi benih-benih perpecahan yang niscaya harus kita hadapi bersama. Persatuan adalah harga termahal dari sebuah masa depan dan eksistensi bangsa. Bangsa-bangsa besar akan hancur ketika pecah, sebaliknya bangsa akan menjadi maju karena bersatu,” kata Haedar, kelahiran Bandung, Jawa Barat, 25 Februari 1958 ini.
Beritaneka.com—Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan bahwa, secara substantif kepemimpinan Islam memiliki 5 ciri. Hal itu disampaikan Haedar di hadapan mahasiswa baru Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tahun 2021.
Pertama, kepemimpinan Islam itu secara agama dan dunia. Menurutnya, pemimpin dalam Islam tidak hanya mengurusi persoalan agama saja, sebab akan menjadi kepemimpinan yang bersifat teosentris/ketuhanan.
Mengutip Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Haedar Nashir menyebut bahwa, kepemimpinan dalam Islam itu merupakan proyeksi dari kerisalahan nabi untuk mengurus dua hal, yakni tegaknya nilai-nilai agama dan mengurus urusan dunia.
“Kalau ngurus dunia saja itu sekuler, tetapi kalau ngurus agama saja dalam makna yang sempit tadi itu kepemimpinan yang rabbaniyah. Maka kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang prophetic,” ungkapnya, seperti dikutif dari laman resmi Muhammadiyah, Kamis (23/9).
Baca juga: Amalkan Pancasila, Muhammadiyah Minta Rezim dan Oposisi Berada di Posisi Moderat
Kedua, pemimpin yang uswah hasanah. Merujuk kepada sifat nabi sidiq, tabligh, fathonah, dan amanah, maka pemimpin Islam tidak cukup hanya baik, tapi juga harus cerdas, berilmu, memiliki kemampuan menyelesaikan masalah, dan membawa arah perjalanan yang dipimpin.
“Maka pemimpin tidak bisa begitu saja menyerahkan urusan kepada orang banyak, kadang dia harus mengambil keputusan-keputusan yang ia yakini benar, dan membawa kemaslahatan,” ungkapnya.
Ketiga, kepemimpinan yang memiliki sifat rahmat. Menurutnya, meski berdasar atas nilai-nilai Islam namun kepemimpinan Islam itu untuk semua. Termasuk bagi mereka yang berbeda. Hal ini merujuk sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 107.
Keempat, ciri kepemimpinan Islam harus bersifat transformatif-berkemajuan. Berkaca dari keberhasilan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang berhasil membangun Madinah al Munawarah, dari yang sebelumnya peradaban Arab yang jahiliyah adalah bentuk nyata transformasi yang dilakukan oleh pemimpin Islam.
Baca juga: Pendirian UMAM, Upaya Muhammadiyah Menghidupkan Peradaban Islam
Kelima, kepemimpinan Islam dalam konteks sistem memiliki sifat ijtihadi. Struktur, model, dan praktik diserahkan pada konsensus elite dan ummat di mana pun berada. Sehingga tidak ada pola tunggal dalam kepemimpinan Islam, bahkan konsep khilafah menurut Haedar bukan merupakan konsep kepemimpinan tunggal.
“Jadi konsep kekhalifahan itu jangan sempit. Kekhalifahan menjadi konsep dasar keagamaan dan politik itu wujudnya bisa ada mungkin kerajaan tapi modern seperti Emirate dan Arab Saudi, bisa republik seperti Mesir, bisa seperti Indonesia juga, Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah itu juga bentuk kekhalifahan muslim,” ucapnya.
Haedar menegaskan bahwa, model kepemimpinan itu ijtihadi dan setiap ijtihad membuka setiap peluang pada banyak model. Maka, jika ada pihak yang mengatakan satu model itu absolute, sama saja dia mereduksi nilai dan orientasi ijtihad menjadi kebenaran absolute atas nama dirinya atau kelompoknya.
Beritaneka.com—Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan pidato kebangsaan bertajuk ‘Indonesia Jalan Tengah, Indonesia Milik Semua’. Dalam pidatonya, Haedar menyinggung korupsi dan menguatnya oligarki .
Haedar berharap para elite dan warga bangsa dapat menjadikan kedua isu ini sebagai rujukan bersama. Menurut Haedar, ketika Indonesia memperingati usianya yang ke-76 tahun, di tubuh negeri ini masih terdapat sejumlah masalah kebangsaan, seperti suasana keterbelahan sesama anak bangsa, dan masalah radikalisme-ekstremisme yang pro kontra dalam pandangan dan penyikapan,
Masalah bangsa lainnya yakni korupsi dan perlakuan terhadap koruptor yang dianggap memanjakan, praktik demokrasi transaksional, kesenjangan sosial, menguatnya oligarki politik dan ekonomi, serta kehadiran media sosial yang justru memproduksi persoalan baru.
Baca Juga: KPK Operasi Tangkap Tangan Bupati Probolinggo
Tidak hanya itu, masalah yang dihadapi Indonesia saat ini yakni utang luar negeri dan investasi asing, kehidupan kebangsaan yang semakin bebas atau liberal setelah dua dasawarsa reformasi.
“Secara khusus tentu masalah pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya yang menambah masalah kebangsaan semakin berat,” kata Haedar kami kutip dari naskah pidatonya, hari ini Senin (30/8/2021).
Narasi atas masalah-masalah bangsa tersebut tidak mengurangi apresiasi atas kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam kehidupan kebangsaan dari periode ke periode.
Ketika menghadapi masalah-masalah besar tersebut maupun dalam menilai capaian kemajuan, berkembang keragaman pandangan dan orientasi sikap sesuai sudut pandang dan posisi setiap pihak di negeri ini.
Baca Juga: Angka Kemiskinan Ekstrim Masih Besar, Wapres: Perlu Sinergi Semua Pihak
“Pada situasi yang krusial inilah maka diperlukan refleksi semua pihak bagaimana mengelola perbedaan-perbedaan itu untuk ditemukan titik temu dalam spirit Persatuan Indonesia demi keutuhan dan kelangsungan hidup Indonesia,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir.
Beritaneka.com—Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, peringatan hari kebangkitan nasional adalah momentum penting menuju Indonesia Merdeka. Pada momentum ini, rakyat Indonesia disadarkan akan hak-hak dasarnya untuk bebas dari segala bentuk penindasan, eksploitasi, kekerasan, dan kezaliman yang dilakukan penjajah.
Karena itu, Indonesia memang selayaknya tidak diam ketika ada suatu negara menjajah negara lain. Menurut Haedar itu adalah urusan Indonesia.
”Ketika ada negara yang sewenang-sewenang mengagresi bangsa lain maka Indonesia layak konsisten menentangnya sebagai bagian dari urusan kita. Seraya membela bangsa yang dizalimi karena di dunia saat ini tidak boleh lagi ada praktik kolonialisme,” tulis Haedar Nashir melalui media sosial twitter akun @HaedarNs hari ini, Kamis (20/5/2021).
Baca Juga: 75 Pegawai KPK Laporkan Dugaan Maladministrasi TWK ke Ombudsman
Haedar mempertanyakan moral sebuah negara yang menginvasi negara serta masyarakat bangsa lain padahal mengetahui setiap manusia diciptakan sebagai individu merdeka.
”Apa haknya suatu negara mengekspansi bangsa lain padahal Tuhan menciptakan semua umat manusia sama untuk hidup merdeka di seluruh muka bumi,” kata Haedar.
Menurut Haedar, sangat penting bagi seluruh elite dan masyarakat untuk menyadari arti kemerdekaan. Yaitu membawa Indonesia menjadi bangsa dan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, maju, adil, dan makmur.
Baca Juga: LIMA Indonesia Desak Pimpinan dan Dewas KPK Minta Maaf Pada Rakyat Indonesia
”Jangan biarkan ada pihak yang membelokkan jalan dari cita-cita kebangsaan yang diletakkan para pendiri negara Republik Indonesia tahun 1945. Peringatan Kebangkitan Nasional adalah momentum meneguhkan komitmen Indonesia atas nilai dan hakikat kemerdekaan, sekaligus meluruskan kiblat keindonesiaan agar tidak salah jalan dalam mencapai tujuan,” kata Haedar.
Oleh: Prof. Dr. K.H. Haedar Nashir, M.Si
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Beritaneka.com—Hari Pendidikan 2 Mei 2021 layak untuk menjadikan refleksi. Pendidikan Indonesia saat ini hendak dibawa ke mana? Tiga trend aktual yang terjadi akhir-akhir ini penting untuk menjadi perenungan sekaligus menjadi pertanyaan jujur, karena bukan sesuatu yang tampak kebetulan.
Kenapa selalu terdapat hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai dasar konstitusi serta Agama, Pancasila, dan Kebudayaan luhur bangsa Indonesia.
Pertama, pada awal proses tidak tercantumkannya frasa “Nilai Agama” dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035, padahal sangat fundamental sebagaimana termaktub dalam pasal 31 UUD 1945. Alhamdulillah kini sudah terakomodasi, tetapi apakah ke depan hal seperti ini tidak akan terjadi lagi.
Semoga tidak, karena agama sangatlah penting dan mendasar dalam kehidupan bangsa Indonesia dan dijamin keberadaannya oleh konstitusi Indonesia.
Kedua, hilangnya atau tidak tercantumnya Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama yang juga Pahlawan Nasional serta Prof Kahar Muzakkir tokoh Muhammadiyah yang juga Pahlawan Nasional dalam buku resmi Kamus Sejarah Indonesia terbitan Kemendikbud R.I. dua jilid.
Padahal tokoh-tokoh Komunis Indonesia semuanya tercantum seperti Sneevliet, DN Aidit, dan lain-lain. Bahkan dalam jilid 2 halaman 179 ditulis, “Pada 30 September 1965 PKI diduga terlibat dalam gerakan kudeta.”.
Jadi PKI hanya diduga terlibat, bukan terbukti terlibat kudeta 1965. Buku tersebut sampai akhir April 2021 masih beredar utuh Jilid 1 dan Jilid 2 yang dapat dibeli di toko Online. Tetapi sudah resmi terpublikasi dan memperoleh pengantar dari Dirjen Kebudayaan Kemdikbud R.I. Mungkin buku yang beredar itu ilegal dan boleh jadi masih draf seperti rilis Kemendikbud, serta saat ini mudah-mudahan benar-benar ditarik dan dinyatakan salah atau keliru.
Ketiga, kecenderungan pendidikan yang liberal dengan konsep Merdeka Belajar dengan segala plus minusnya. Indonesia pasca reformasi memang cenderung liberal dalam politik, ekonomi, dan budaya.
Padahal pendidikan bukanlah hanya menanamkan nilai instrumental, karena manusia bukanlah robot yang dapat dicetak di pabrik. Manusia adalah insan yang utuh, yang menurut Ki Hajar Dewantara yang kelahirannya diperingati hari ini, sebagai pendidikan akal-budi.
Apalagi manusia Indonesia yang memiliki tiga dasar nilai hidup di negeri ini yaitu Agama, Pancasila, dan Kebudayaan Indonesia. Bukan insan maju ala Barat yang sekuler dan liberal. Bukan pula manusia sosialis ala Marxisme-Komunisme yang hidupnya untuk perjuangan kelas.
Kebijakan pendidikan Indonesia sebagai usaha mencerdaskan kehidupan bangsa harus memiliki fondasi pada konstitusi UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003, termasuk di dalamnya Peta Jalan. Visi pendidikan Indonesia tidak cukup hanya bersifat pragmatis untuk mendidik generasi bangsa yang berkeahlian tinggi dan mampu beradaptasi dengan dunia kerja (link and match) semata seperti robot buatan pabrik.
Pendidikan Indonesia harus merupakan usaha menyeluruh dan terpadu antara aspek kognitif dan psikomotorik dengan afeksi dan akal budi secara keseluruhan. Intinya manusia yang utuh lahir dan batin dalam seluruh dimensinya. Bukan manusia Indonesia satu dimensi.
Usaha mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi tujuan umum pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaaan UUD 1945 menurut Prof Taufik Abdullah bukanlah semata cerdas kognisinya tetapi kehidupan manusia Indonesia secara keseluruhan.
Dalam pandangan Kyai Ahmad Dahlan terkait dengan pendidikan iman dan amal, akal suci, dan kemajuan. Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara menyangkut pendidikan akal budi manusia. Pendidikan Indonesia harus pendidikan konstitusional, artinya berdasarkan pada pasal 31 UUD 1945 yang menjadi pangkal utamanya.
Karenanya memasukkan aspek keimanan dan ketaqwaan, nilai agama, dan akhlak mulia dalam Peta Jalan Pendidikan maupun pemikiran dan kebijakan pendidikan nasional kapanpun dan di era pemerintahan manapun bukanlah aspirasi umat beragama, tetapi melekat dengan konstitusi dan perundang-undangan, yang bersifat fundamental dan imperatif.
Pemerintah, DPR, dan Kemendikbud atau institusi negara apapun akan salah jika menjauhkan nilai-nilai Ketuhanan dan keagamaan sebagaimana menjadi perintah konstitusi tersebut. Pemikiran pragmatis dan sekuler yang alergi dan menolak memasukkan kata iman dan taqwa serta nilai agama dalam dunia dan sistem kebijakan pendidikan nasional justru bertentangan dan melawan konstitusi UUD 1945 dan Pancasila.
Pendidikan Indonesia semestinya bervisi “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, unggul, terus berkembang, dan sejahtera, dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, Pancasila, dan budaya Indonesia”.
Karenanya semua pihak dan orang yang mengurus pendidikan Indonesia harus benar-benar seratus persen paham, menghayati, berkeilmuan luas, berkeahlian, berintegritas moral tinggi, dan berjiwa keindonesiaan sejati yang menguasai sepenuhnya hakikat pendidikan nasional Indonesia berbasis konstitusi UUD 1945, Pancasila, Agama, dan Kebudayaan Indonesia agar tidak tercerabut, tidak salah misi, dan tidak salah tujuan.
Pertaruhannya sangat besar bagi masa depan generasi bangsa dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dengan susah payah diperjuangkan oleh para mujahid dan pendiri negeri tercinta ini.
Sumber Media Sosial: Akun Facebook Haedar Nashir