Beritaneka.com—Ibu adalah sosok wanita yang berperan sebagai pelengkap dalam kehidupan rumah tangga antara suami istri, ibu dengan anak, juga antara keluarga dan saudara serta masyarakat. Ibu menjadi cermin baik dan tidaknya sebuah keluarga.
Seorang ibu yang baik dan salehah tentu akan mengajarkan hal yang sama kepada anak-anaknya serta mampu menjadi seorang yang menyenangkan dan berbakti kepada suaminya. Seorang ibu selalu dibutuhkan, selalu dirasa sebagai sesuatu yang kurang jika tak terdapat sosoknya.
Dalam keseharian selalu kita dengar mengenai surga berada di bawah telapak kaki ibu. Apakah maksud dari kalimat tersebut? Tentu maksudnya ialah seorang ibu merupakan sosok wanita mulia yang di dalam ridhanya ada surga bagi anak-anaknya.
Baca juga: Hari Ini Milad Ke-109 Muhammadiyah: Optimis Hadapi Pandemi Covid-19: Menebar Nilai Utama
Dalam kesempatan kali ini, bertepatan dengan perayaan Hari Ibu di Indonesia, akan diuraikan mengenai 17 keutamaan menjadi ibu dalam Islam, tentunya hal ini wajib dipahami oleh semua umat Muslim baik laki-laki maupun perempuan agar dalam kesehariannya mampu menjadi ibu yang terbaik atau memperlakukan ibunya dengan cara yang terbaik.
Mulia di Mata Allah
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa.” (QS. Al-Ahqaaf: 15)
Keutamaan menjadi ibu dalam Islam yang pertama ialah sebagai sosok yang mulia dii mata Allah yang telah diberi anugrah untuk mampu meneruskan keturunan dan mampu mengandung bayi hingga melahirkan, itupun masih dipilih oleh Allah yakni tidak semua wanita bisa mendapat keistimewaan tersebut. sebab itu menjadi seorang ibu wajib bersyukur dan berbahagia apalagi juga terdapat keutamaan doa seorang ibu yang mustajab.
Sosok yang Kuat
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14)
Ibu juga diberi kekuatan Allah untuk mampu tetap kuat dalam keadaan apapun ketka menganduung seorang bayi, tentu bukanlah hal yang mudah sebab harus membawa seorang atau bahkan kadang lebih dari satu berada dalam tubuhnya dan dibawa dalam berbagai aktifitas. Tanpa kekuatan dari Allah hal itu tidak akan terjadi seperti keutamaan Maryam sebagai ibu yang mulia.
Wajib Dihormati
“Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ ‘Ibumu!’ ‘Ibumu!, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari: 5971)
Jelas dari hadis Rasulullah tersebut bermakna bahwa ibu adalah seorang yang wajib dihormati bahka disebut hingga 3 kali baru menyebut ayah. Hal ini bukan dimaksud untuk membedakan kasih sayang kepada ibu dan ayah namun lebih kepada keutamaan menjadi ibu dalam Islam yaitu seorang yang paling berjasa karena telah melahirkan ke dunia ini dan telah melakukan amalan ibu hamil menurut Islam agar anaknya lahir dengan selamat.
Haram untuk Disakiti
“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada ibu-ibu kalian.” (Hadits shahih, riwayat Bukhari, no. 1407). Tidak diprkenankan berbuat durhaka kepada ibu sebab ibu adalah seseorang yang telah banyak berkorban mulai dari mengandung, melahirkan, hingga senantiasa mencurahkan kasih sayangnya semasa mendidik dan mengurus sampai anak tersebut menjadi dewasa serta melakukan tugas ibu rumah tangga dalam Islam dengan penuh keikhlasan.
Wajib untuk Dibahagiakan
“Seseorang datang kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Aku akan berbai’at kepadamu untuk berhijrah, dan aku tinggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis.” Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis.” (Shahih: HR. Abu Dawud (no. 2528).
Baca juga: Hari Ini Tes SKB CPNS 2021 Dimulai
Jelas dari hadis tersebut bahwa membuat ibu bahagia lebih baik dari hal apapun, dalam melakukan urusan apapun wajib meminta restu terhadap ibu terlebih dahulu atau setidaknya memohon doa kebaikan darinya agar urusan tersebut berjalan dengan penuh berkah serta terhindar dari azab anak durhaka kepada ibunya.
Ridhanya adalah Ridha Allah
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata, “Ridha Allah tergantung ridha orang tua dan murka Allah tergantung murka orang tua.“ (Adabul Mufrod no. 2). Allah memberi ridha terhadap suatu urusan jika ibunya memberi ridha pula akan hal tersebut, sebab itu restu dari seorang ibu tak boleh diremehkan sebab menjadi sesuatu yang penting.
Doanya Mustajab
Ada tiga do’a yang dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak diragukan tentang do’a ini: (1) do’a kedua orang tua terhadap anaknya, …” (Hasan: HR. Al-Bukhari). Mohonlah doa kepada ibu di setiap urusan sebab doa ibu adaah doa yang mustajab, dalam urusan apapun sebaiknya selalu mengungkapkan pada beliau agar beliau turut mendoakan.
Banyak Jalan Pahala
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS. Al Baqarah: 233)
Keutamaan menjadi ibu dalam Islam akan mendapat pahala bahkan ketika menyusui dan mengurus anaknya.
Tak boleh Mendapat Perlakuan Kasar
“Hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al Isra: 23)
Jelas dari hadis tersebut tak boleh berbuat kasar pada ibu baik perkataan maupun tindakan.
Teladan yang Mulia
“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32).
Ibu adalah sosok yang teladan, ibu yang salehah tentu tidak akan mengajarkan keburukan pada anaknya dan selalu mengajarkan nilai nilai kebaikan seperti menjauhi sifat sombong seperti Maryam kepada anaknya Nabi Isa.
Pembentuk Generasi Cemerlang
Dengan adanya ibu yang sholehah dan cerdas akan terbentuk generasi yang cerdas pula dimana memang dalam keseharian sejak kecil anak selalu bersama ibu, apa yang diajarkan ibu sejak kecil dan kebiasaan apa saja yang ditanamkan, hal itulah yang akan menjadi ingatannya hingga ia dewasa. Sehingga harus mengajarkan kebaikan pada anak.
Sosok Penuh Kasih Sayang
Keutamaan menjadi ibu dalam Islam ialah diberi keistimewaan oleh Allah untuk memiliki rasa kasih sayang yang lebih, ibu tentu selalu mau berkorban untuk anak yang disayanginya hingga mengorbankan dirinya sendiri, seperti ibu rela lelah agar anaknya bisa digendong dan tidak kelelahan, terkadang ibu pun rela tidak makan asal anaknya mendapat makanan.
Terdekat dengan Buah Hati
Karena berada bersama sejak masa kecil, umumnya ibu menjadi sosok yang paling dekat dengan anaknya. Hal tersebut kadang menjadikan sebuah ikatan batin atau firasat yang tepat satu sama lain, ketika terjadi sesuatu dengan, ibu umumnya akan memilikii firasat dalam hatinya, begitu juga sebaliknya ketika terjadi sesuatu dengan ibunya sang anak pun merasa ada yang mengganjal.
Penerus Keturunan
Jelas bahwa seorang wanitalah yang mengandung dan melanjutkan keturunan, memang baik laki laki ataupun wanita berperan dalam hal ini karena manusia tidak mungkin bisa berkembang biak sendiri, tetapi sebagian besar yang memelihara dan merawat hingga dewasa adalah seorang ibu yang selalu berada di sisi anaknya dan mendampingi anaknya dalam keadaan apapun.
Baca juga: Hari Ini BEM SI Demo di KPK, Ratusan Personel Polisi Siap Siaga
Memiliki Segala Jenis Ilmu
Ibu tentu memiliki ilmu segalanya, ilmu memasak, ilmu pelajaran, ilmu tentang rumah, ilmu tentang psikologi anak, hingga ilmu tentang keuangan, keutamaan menjadi ibu dalam Islam akan mengajarkan banyak hal dan menjadi jalan untuk seorang wanita mampu menuntut ilmu sebanyak dan seluas-luasnya sehingga nantinya mampu menjadi jalan kebaikan pula untuk anaknya.
Jalan Menuju Surga
Seorang ibu banyak mendapat jalan surga dari Allah, selama mengandung, selama melahirkan, hingga selama mengurus anak jika semua itu dilakukannya penuh cinta dan semata karena Allah dengan menerima keseluruhan kodratnya sebagai wanita. Hal tersebut akan menjadi jalan surga baginya karena ia harus melewati banyak rintangan yang menguji kesabaraannya.
Pendidik yang Terbaik
Keutamaan menjadi ibu dalam Islam ialah mampu menjadi pendidik yang terbaik, ibu yang salehah dan cerdas akan menanamkan berbagai ilmu kebaikan untuk anaknya sejak kecil sehingga anaknya pun tumbuh menjadi seseorang yang cerdas dan hebat, ibu selalu berjuang apapun keadaan dirinya untuk bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya.
Demikian di antara sebagian keutamaan menjadi ibu, semoga bisa menjadi wawasan yang bermanfaat untu kita. Alangkah baiknya untuk selalu berbuat yang terbaik sehubungan dengan peran ibu, yakni menjadi ibu yang terbaik dan memperlakukan ibu kita dengan baik.
Sumber: Islam Indonesia
Beritaneka.com—Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan bahwa, secara substantif kepemimpinan Islam memiliki 5 ciri. Hal itu disampaikan Haedar di hadapan mahasiswa baru Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tahun 2021.
Pertama, kepemimpinan Islam itu secara agama dan dunia. Menurutnya, pemimpin dalam Islam tidak hanya mengurusi persoalan agama saja, sebab akan menjadi kepemimpinan yang bersifat teosentris/ketuhanan.
Mengutip Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Haedar Nashir menyebut bahwa, kepemimpinan dalam Islam itu merupakan proyeksi dari kerisalahan nabi untuk mengurus dua hal, yakni tegaknya nilai-nilai agama dan mengurus urusan dunia.
“Kalau ngurus dunia saja itu sekuler, tetapi kalau ngurus agama saja dalam makna yang sempit tadi itu kepemimpinan yang rabbaniyah. Maka kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang prophetic,” ungkapnya, seperti dikutif dari laman resmi Muhammadiyah, Kamis (23/9).
Baca juga: Amalkan Pancasila, Muhammadiyah Minta Rezim dan Oposisi Berada di Posisi Moderat
Kedua, pemimpin yang uswah hasanah. Merujuk kepada sifat nabi sidiq, tabligh, fathonah, dan amanah, maka pemimpin Islam tidak cukup hanya baik, tapi juga harus cerdas, berilmu, memiliki kemampuan menyelesaikan masalah, dan membawa arah perjalanan yang dipimpin.
“Maka pemimpin tidak bisa begitu saja menyerahkan urusan kepada orang banyak, kadang dia harus mengambil keputusan-keputusan yang ia yakini benar, dan membawa kemaslahatan,” ungkapnya.
Ketiga, kepemimpinan yang memiliki sifat rahmat. Menurutnya, meski berdasar atas nilai-nilai Islam namun kepemimpinan Islam itu untuk semua. Termasuk bagi mereka yang berbeda. Hal ini merujuk sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 107.
Keempat, ciri kepemimpinan Islam harus bersifat transformatif-berkemajuan. Berkaca dari keberhasilan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang berhasil membangun Madinah al Munawarah, dari yang sebelumnya peradaban Arab yang jahiliyah adalah bentuk nyata transformasi yang dilakukan oleh pemimpin Islam.
Baca juga: Pendirian UMAM, Upaya Muhammadiyah Menghidupkan Peradaban Islam
Kelima, kepemimpinan Islam dalam konteks sistem memiliki sifat ijtihadi. Struktur, model, dan praktik diserahkan pada konsensus elite dan ummat di mana pun berada. Sehingga tidak ada pola tunggal dalam kepemimpinan Islam, bahkan konsep khilafah menurut Haedar bukan merupakan konsep kepemimpinan tunggal.
“Jadi konsep kekhalifahan itu jangan sempit. Kekhalifahan menjadi konsep dasar keagamaan dan politik itu wujudnya bisa ada mungkin kerajaan tapi modern seperti Emirate dan Arab Saudi, bisa republik seperti Mesir, bisa seperti Indonesia juga, Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah itu juga bentuk kekhalifahan muslim,” ucapnya.
Haedar menegaskan bahwa, model kepemimpinan itu ijtihadi dan setiap ijtihad membuka setiap peluang pada banyak model. Maka, jika ada pihak yang mengatakan satu model itu absolute, sama saja dia mereduksi nilai dan orientasi ijtihad menjadi kebenaran absolute atas nama dirinya atau kelompoknya.
Beritaneka.com—Muhammadiyah telah mendirikan Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM). Langkah nyata Muhammadiyah ini merupakan bagian dari semangat menghidupkan kembali peradaban Islam. Bagi Muhammadiyah, perjalanan memaknai Islam sebagai agama peradaban dilakukan secara tahap demi tahap.
“Kita selalu berpijak di bumi realitas, tidak mengawang-awang. Setelah dari Malaysia, tentu kita berharap ke depan berkembang di negara-negara lain. Kita Muhammadiyah tidak pernah besar pasak daripada tiang. Selalu berbuat dari dunia yang paling mungkin yang kemudian pada akhirnya kita bisa tumbuh dan berkembang,” pesan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar, seperti dilansir dari lamat PP Muhammadiyah, Selasa(24/08).
Baca juga: Sekum Muhammadiyah: Perilaku Menegasikan Keberadaan Suatu Kelompok Tidak Dibenarkan
UMAM menurut Haedar berdiri setelah Muhammadiyah telah membangun pendidikan dan sistem yang mapan di dalam negeri selama satu abad.
Berdirinya UMAM sebagai universitas pertama bangsa Indonesia di luar negeri ini menurutnya juga melalui perjalanan berat untuk mengurus izin pendirian selama empat tahun. Setelah Kemendikbud RI mengeluarkan rekomendasi dan Menteri Pendidikan Malaysia Maszlee Malik menyetujui, UMAM pun berdiri.
“Tidak kalah pentingnya juga secara khusus juga dukungan dari Raja Perlis yang memberikan support yang penuh, sokongan yang penuh yang kemudian Universitas itu berbasis home base-nya berbasis di Perlis atas dukungan Raja, Mufti dan seluruh kekuatan rakyat Perlis sebagai wujud dari hubungan yang baik antara rakyat dan Kerajaan Perlis dengan Muhammadiyah,” terang Haedar.
“Akhirnya dalam perjalanan yang sangat panjang itu, pada tanggal 5 Agustus 2021 yang pengumumannya disampaikan resmi dalam pertemuan kami PP Muhammadiyah dengan Raja Perlis dan Kementerian Jabatan Pendidikan Tinggi Malaysia, akhirnya diumumkan dan disampaikan izin university Muhammadiyah Malaysia,” tambahnya.
Pendirian UMAM diharapkan Haedar menjadi pijakan awal Muhammadiyah terlibat dalam usaha menghidupkan kembali peradaban Islam. Kesinambungan, konsistensi dan keikhlasan diharapkannya menjadi semangat bagi kader dan anggota Persyarikatan untuk menerjemahkan Islam sebagai Agama Peradaban.
“Inilah tonggak baru di mana Muhammadiyah memelopori, mengawali, merintis berdirinya Perguruan Tinggi Indonesia di luar negeri. Kita memang membangun perguruan tinggi ini di kawasan terdekat, di bangsa serumpun, semuanya ini bukti etos Muhammadiyah; dimulai dari kecil tumbuh menjadi besar,” jelasnya.
“Insyaallah ini merupakan langkah awal dari internasionalisasi Muhammadiyah dalam bentuk Center of Excellence. Pusat kemajuan bagi Muhammadiyah, bagi umat, dan bagi bangsa serumpun bagi kepentingan kemanusiaan semesta,” syukur Haedar.
Oleh: Hadi Nur Ramadhan, (Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamaddun)
Beritaneka.com—MOHAMMAD SIDDIK, Drs., M.A., lahir di Kuala Simpang, Aceh, pada 15 Januari 1942. Memulai pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Tanjung Pura, Langkat, lalu melanjutkan ke SMA di Medan. Sejak di bangku SMA mulai bersentuhan dengan kegiatan da’wah, yakni melalui aktivitasnya di Pelajar Islam Indonesia (PII) yang dia mulai dari ranting SMA Negeri, ke cabang PII Kota Besar Medan, ke PII wilayah, sampai akhirnya pada 1962 duduk di PB PII.
Siddik Pindah ke Jakarta setelah ikut melaksanakan Muktamar PII ke X di Medan, karena pengalamannya ditarik menjadi pengurus PB PII 1962-1964 berlanjut sampai ke periode Alm Syarifudin Siregar (1964-1966) sampai Alm Husein Umar (1966-1968). Semua kegiatan di PII, dia anggap bagian dari kegiatan dakwah karena ia sering mengisi pelatihan dengan ceramah mengenai berbagai topik yang dihubungkan dengan konsep Islam Sambil Aktif di organisasi, Siddik melanjutkan pendidikan ke Fakultas Ekonomi UI dan FSEP UNAS.
Kuliah Sambil Bekerja
Pada bulan Desember 1963, ayahandanya wafat. Saat itu Siddik sedang menghadiri Musyawarah Wilayah PII Sulawesi Utara di Manado. Karena kelangkaan komunikasi pada waktu itu, Siddik tidak tahu jika ayahnya meninggal dunia. “Tugas menghadiri Musywil PII di Manado belum selesai, namun seperti ada desakan untuk saya segera pulang. Karena tiket pesawat mahal, maka segera saya naik kapal laut. Lima hari kemudian, baru tiba di Jakarta. Saat itulah saya mendapat kabar wafatnya ayah. Saya segera mengusahakan pulang ke Medan, dan tiga hari perjalanan lagi baru tiba di kampung halaman,” kenang Siddik.
Baca juga: Ekonomi Indonesia Sulit Terselamatkan
Setelah ayahnya meninggal dunia, pada mulanya Siddik merasa tidak mungkin lagi kembali ke bangku kuliah. Sebagai anak lelaki tertua dari delapan bersaudara, Siddik merasa harus menggantikan peran almarhum ayahnya, ketimbang melanjutkan kuliah dengan bekerja untuk membantu keluarga. Namun, ibundanya terus mendorong Siddik agar tetap melanjutkan kuliah di Jakarta. Karena dorongan ibundanya itu, Siddik memutuskan untuk melanjutkan kuliah sambil bekerja. Maka, Siddik pindah kuliah ke Fakultas Sosial, Ekonomi dan Politik Universitas Nasional (UNAS) yang membuka kuliah petang. Pada pagi harinya, Siddik bekerja sebagai staf lokal bagian pers Kedutaan Pakistan di Jakarta.
Selain karena pertimbangan harus bekerja, ada juga alasan lain. Di masa itu UI dan kebanyakan universitas negeri sudah mulai melakukan indoktrinasi. Kuliah yang diberikan sudah tidak murni ilmiah, dan tidak netral. Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno (PBR) diindoktrinasikan dan menjadi pegangan Pemerintah dan diajarkan di berbagai Politik, Ekonomi dan semua yang terangkum dalam Manipol Usdek (Manifesto Politik, Undang Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan kepribadian Indonesia) dan Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) jadi mata kuliah wajib. Kampus UNAS yang pada waktu itu dipimpin oleh cendekiawan yang berintegritas, masih mampu menjaga independensinya.
Pada akhir tahun 1967, Siddik menyelesaikan kuliahnya di UNAS. Dia pun segera “melapor” kepada gurunya, Allahuyarham Mohammad Natsir untuk mendapatkan nasihat beliau. Natsir mengajaknya untuk bergabung di Dewan Da’wah yang waktu itu baru saja didirikannya di Masjid Al-Munawarah Tanah Abang Jakarta. Siddik menerima tawaran itu, sampai kemudian bekerja di lembaga internasional untuk waktu yang cukup panjang. Meskipun demikian, dalam aktivitasnya di luar negeri, Siddik tidak pernah putus komunikasi dengan Dewan Dakwah, khususnya dengan Natsir.
Sekretaris Jenderal Komite Pemuda Indonesia (KPI)
Pada tahun 1966, ketika Siddik masih aktif di PB PII, ia pernah mengundang Sekretaris Jenderal Muktamar Alam Islami, Dr Inamullah Khan, untuk menghadiri Muktamar ke-12 PII di Bandung. Dalam perjalanan memenuhi undangan WAY, Siddik sempat menjadi tamu Mufti Besar Palestina, Syeikh Haj Al-Amin Al Husaini di markasnya waktu itu di Beirut, Libanon.
Pada tahun 1968, Siddik juga berjumpa dengan tokoh Ikhwanul Muslimin, Dr. Said Ramadhan, di Jenewa, Swiss. Siddik juga Pernah bertemu Pangeran Hassan, ketika itu Putra Mahkota Jordan; bertemu dengan Sekjen Muktamar Al-Quds dan pernah menjadi Menteri Wakaf Jordan, Dr Kamil Sharif. Tahun 1969 berjumpa dengan Direktur Jendral Urusan Islam Mesir, Dr. Taofiq Awaeidah, bersilaturrahmi dengan Sekretaris Jenderal Rabithah Al-Alam Al-Islami, Syeikh Ali Al Harakan, dan lain lain. Pertemuan dan silaturrahmi itu dapat terjadi antara lain karena rekomendasi Alm Dr. M. Natsir.
Meskipun kuliah sambil bekerja, kesenangan berorganisasi tetap dilanjutkan Pada tahun 1966 Siddik terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Komite Pemuda Indonesia (KPI) yang berafiliasi kepada World Assembly of Youth (WAY), Organisasi yang sebelum peristiwa G.30.S/PKI dibubarkan oleh Bung Karno karena dianggap berafiliasi ke Barat. WAY berpusat di Brussel, Belgia. KPI ini merupakan organisasi yang mewadahi para pemuda dan pelajar yang berhaluan kanan, antikomunis. Ada sekitar 17 organisasi pemuda pelajar dan mahasiswa yang bergabung dalam KPI.
Sebagai Sekjen KPI, Siddik terobsesi melatih pemuda dan mahasiswa Indonesia agar bisa tampil dalam dinamika dunia internasional. Dia mengirimkan pemuda dan mahasiswa ke luar negeri, antara lain Lukman Harun, Arif Rahman, dan Asnawi Latif ke Eropa, Umar Basalim ke India, Mansur Amin ke Srilanka. Mereka kemudian pulang dan membawa pengalaman training-training yang mereka di luar negeri. Setelah pemilu 1971 KPI direkayasa oleh Golkar, Pemenang Pemilu dan Pemerintah menjadi wadah tunggal organisasi pemuda bernama Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai bagian dari politik penyeragaman Orde Baru untuk mewujudkan Sistem politik mayoritas tunggal.
Setelah empat tahun menjadi Sekjen KPI, pada tahun 1970. Siddik terpiih menjadi salah satu dari lima delegasi sekaligus juru bicara delegasi Indonesia pada Kongres Pemuda sedunia yang diadakan oleh PBB di New York. Kongres itu diselenggarakan sekaligus dalam rangka ulang tahun PBB yang ke-25. Dengan persetujuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang menyusun delegasi RI bersama Departemen Iuar Negeri, Siddik kemudian meneruskan studi Magister dalam Internasional Development Studies di Fairleigh Dickinson University, New Jersey.
Karena datang tanpa beasiswa, untuk membiayai kuliah dan kehidupannya di rantau serta keluarga yang ditinggalkan, Siddik bekerja di restoran, menjadi satpam, pegawai toko buku, dan bekerja di toko swalayan. Siddik menyelesaikan studi magisternya pada pertengahan 1971 dalam waktu setahun. Kembali ke Jakarta pada tahun itu, Sidik kembali mengabdi di Dewan Da’wah sambil mengajar di IKP Jakarta (Sekarang UNJ) dan Lembaga Indonesia Amerika (LIA)
Dari New York ke Katmandu
Setelah itu, dalam rentang waktu tahun 1973 hingga 2002, Siddik bekerja di UNICEF, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), di New York dan Katmandu, Nepal, di Organisasi Konferensi Islam (OKI), di Jeddah dan di Islamic Development Bank (IDB) juga bermarkas di Jeddah, Saudi Arabia.
Sebagai seorang staff junior di PBB, Siddik terbiasa membantu para seniornya dari kalangan Muslim memersiapkan beberapa kegiatan keagamaan rutin di Markas Besar PBB seperti diskusi tentang Islam, shalat Jum’at berjamaah untuk staff dan delegasi yang pada awalnya menggunakan salah satu ruang serbaguna yang kecil. Ia juga biasa mempersiapkan logistik untuk pengajian rutin dan ikut membantu pengajian masyarakatan dan mahasiswa Muslim yang diadakan oleh Muslim Students Association (MSA) cabang Columbia University Yang waktu itu diketuai oleh Mohammad Kamal Hassan, kelak menjadi rektor Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia.
Khusus di kalangan masyarakat Indonesia, Siddik mengambil Inisiatif mengdakan pengajian rutin dari rumah ke rumah, yang alhamdulillah, karena masyarakat Indonesia di New York berhasil berkembang pindah ke aula Konsulat Jenderal RI di New York. Lebih kurang 20 tahun yang lalu membangun Masjid Komunitas Indonesia, Al-Hikmah di bilangan Queens.
Ketika bertugas di Katmandhu, sebagai Staf PBB(UNICEF) di Nepal selama dua tahun ia juga berusaha mengadakan aktifitas dakwah di sana bersama teman-teman cendikiawan Muslim yang jumlahnya sangat sedikit karena Muslim di Nepal memang minoritas. Ketika itu sangat sedikit informasi mengenai keberadaan kaum muslimin di daerah-daerah terpencil.
Untuk mencari data dan informasi yang diperlukan untuk membuat perencanaan, terutama di pedalaman Nepal, Siddik mengutus beberapa dosen muda pergi ke pedalaman untuk mencari data dan membuat studi sedehana tentang kaum Muslimin yang tinggal terisolir di kampung-kampung. Siddik juga ikut membantu mensponsori penerjemahan dan penerbitan buku-buku tentang Islam kedalam bahasa Nepal yang pada waktu itu sangat langka di daerah pegunungan tinggi Nepal.
Membidani Kelahiran WAMY
Melalui berbagai pertemuan internasional di forum World Assembly of Youth (WAY), pada akhir 1960-an Siddik dengan beberapa kawan mengajak delegasi Muslim dari berbagai negeri yang berafiliasi kepada WAY, seperti Anwar Ibrahim dari Malaysia untuk mendirikan semacam WAY untuk dunia Islam. Maka setelah itu Siddik dengan beberapa kawan seperjuangan membuat pernyataan bersama untuk menyatakan komitmen mendirikan organisasi pemuda Islam sedunia yang juga dirasakan oleh pemuda dan mahasiswa Muslim di negeri-negeri lain di luar forum WAY.
Pada tahun 1973, Presiden Libya, Moammar Qadhafi, mengadakan Konfrensi Pemuda Islam Sedunia di Trapoli. Siddik dan beberapa tokoh pemuda dan mahasiswa dari Indonesia hadir pada Konferensi tersebut. Sayang pertemuan Tripoli tidak berhasil, karena Qadhafi ingin menerapkan “teori alam ketiga” dan Kitabul Akhdar (Buku Hijau) yang menjadi dasar gerakan Pan Arabisme, sedangkan mayoritas delegasi menghendaki dasar Islam saja. Sekadar untuk diketahui, teori alam ketiga itu membagi dunia atas tiga lapis atau tiga lingkaran. Lapis inti adalah dunia Arab, lingkaran kedua dunia Islam, dan lingkaran terluarnya adalah negara berkembang.
Baru pada pada pertemuan yang diadakan di Saudi Arabia atas inisiatif Menteri Pendidikan Tinggi Sheikh Hasan Al Sheikh, gagasan membentuk organisasi pemuda Islam sedunia ini dapat direalisir dengan lahirnya World Assembly of Moslem Youth (WAMY) dengan kegiatan utamannya da’wah dalam pengertian mengajak atau mengundang melalui seminar, Penerbitan, pendistribusian buku-buku, bantuan pendidikan/beasiswa, ceramah, dan lain-lain.
Beasiswa untuk Negeri Minoritas Muslim
Pada tahun 1979 setelah berhenti dari PBB, Siddik bekerja di OKI, Jeddah, Saudi Arabia dari 1979 hingga 1984. Ketika itu Siddik merasa kurang puas, karena OKI tidak berbuat banyak mengatasi konflik antar negeri-negeri Islam terutama antara Iran dan Irak. Meskipun OKI berhasil menjalin solidaritas dan Kerjasama antar negeri-negeri Islam. Oleh karena itu, ketika pada tahun 1984 ada kesempatan pindah ke Islmic Development Banking (IDB), Siddik segera berkonsultasi dengan Duta Besar RI di Saudi Arabia, Letnan Jenderal (Purn) H. Achmad Tirtosudiro. Siddik pun hijrah dan bekerja di IDB selama 17 tahun di kantor pusat di Jeddah, dan empat tahun di Kuala Lumpur, Malaysia, sebagai Direktur IDB untuk wilayah Asia Pasifik.
Selama di OKI, dan kemudian di IDB, Siddik selalu membantu Dewan Da’wah dengan mengirim informasi mengenai kegiatan dakwah di berbagai belahan dunia Islam dan terus memelihara hubungan baik dengan Bapak Mohammad Natsir.
Setelah menyelesaikan tugas di Kuala Lumpur dirinya ditarik mengisi posisi sebaga Direktur Technical Cooperation dan ketika memasuki umur 60 tahun pengabdiannya, Siddik mengundurkan diri karena sudah berniat akan berkiprah di Tanah Air. Pada awal di IDB Siddik diberi tugas mengembangkan program beasiswa IDB untuk masyarakat di negeri-negeri minoritasas Muslim, terutama untuk pendidikan kedokteran, tehnik, pertanian dan eksakta lainnya. IDB memillih program tersebut sebagai sebuah terobosan untuk membangun sumber daya insani di negeri negeri Muslim minoritas yang memang sangat ketinggalan.
Baca juga: Pengelolaan Dana Haji Melanggar UU Keuangan Negara?
Survey yang diadakan di negeri negeri seperti Filipina, Myanmar, Kamboja, Sri Langka, Nepal, Ghana, Tanzania, Nigeria, Kenya, Siera Leone, Malawi dan lain lain; menunjukkan sangat sedikit atau hampir tidak ada profesi dokter, insinyur, ahli pertanian, dan profesi pembangunan lainnya yang dipegang oleh orang Muslim. Para orang enggan menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah umum, karena sejak awal didirikan oleh para missionaris atau zending yang bertujuan memengaruhi agama anak didiknya.
Melalui program beasiswa dokter gigi IDB, selama 20 tahun terakhir sudah ada lebih dari dua ribu dokter, insinyur ahli pertanian, dan lain-lain. Di Indonesia dewasa puluhan mahasiswa IDB dari Myanmar, Vietnam dan Kamboja yang belajar di UGM, UI, IPB, Universitas Brawijaya (Unibraw). dan lain-lain.
Naluri dakwah Siddik, mendorong terlaksananya program conselling untuk mahasiswa yang sedang belajar. Untuk Itu di setiap negeri dia mengangkat Consellor Kehormatan dan kalangan akademisi dan gerakan yang berwawasan Islami untuk memberi bimbingan rohani dengan pengajian (taklim) setiap dua pekan, minimal sebulan sekali, dan mengarahkan mereka untuk terus memperkaya bekal ilmu agama dan kepemimpinan agar bila mereka kembali dapat memimpin masyarakat Muslim di negaranya masing-masing. Pengalaman Siddik selama mengelola training di PII dan HMI, dikombinasi dengan pengalaman ahli-ahli pengembangan masyarakat dan conselling yang direkrut khusus untuk menguatkan aspek ini. Banyak peserta program IDB ini yang sekarang menjadi dokter, insinyur, ahli pertanian, apoteker, dan lain-lain, memainkan peranan manajerial dalam pembangunan negeri mereka.
Kembali ke Dewan Da’wah
Setelah melanglang buana selama hampir 30 tahun, Siddik berusia 60 tahun, Siddik memutuskan pulang ke Indonesia. Dia ingin mengabdi ke Tanah Air yang sudah lama ditinggalkan, Siddik kembali ke markas habitatnya, Dewan Da’wah Indonesia yang sejak masih muda ia banyak menimba ilmu dan ketauladan dari tokoh-tokoh Masjumi pendiri Dewan Dakwah itu.
Saat kembali ke markas besar, Siddik diamanahi menjadi salah seorang ketua Dewan Dakwah. Pada periode berikutnya, Sidik diberi amanah menjadi Ketua Badan Pengawas sesuai UU Yayasan yang baru. Siddik juga sempat diamanahi sebagai Direktur Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh (LAZIS) Dewan Da’wah yang diresmikan oleh Menteri Agama RI bulan September 2002 sesuai dengan Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Zakat. “Melalui LAZIS, kami ingin menghadirkan perananan Dewan Dakwah menangani korban bencana alam di hampir seluruh Indonesia, memberikan pelayanan kesehatan Gratis, membuat program rehabilitasi ekonomi untuk korban bencana alam.
Dengan pengalaman dan networking yang luas, melalui LAZIS Dewan Da’wah Siddik berusaha mencari dukungan untuk pendanaan da’i Dewan Da’wah yang ditempatkan diberbagai daerah di seluruh Tanah Air. Siddik juga sempat diberi amanah memimpin perusahan travel biro pelayanan Haji dan Umrah milik Dewan Da’wah sebagai bagian dari kegiatan Dewan Da’wah yang kelebihan pendapatannya untuk mendukung kegiatan Dewan Da’wah.
Tahun 2015, Dewan Pembina sepakat memilih Siddik menjadi Ketua Umum Dewan Da’wah menggantikan K. H. Syuhada Bahri yang menyatakan mengundurkan diri. “Tugas ini sangat berat” kata Siddik berterus terang. Menurut Siddik, tugas memimpin Dewan Dakwah terasa berat bukan saja karena dia harus belajar dari kepemimpinan, kesahajaan, dan keitiqomahan para pendiri Dewan Dakwah. Di era kepemimpinan Dewan Da’wah saat ini Siddik juga dituntut untuk terus berjuang Dengan tantangan dakwah yang semakin kompleks melalui tiga pilar da’wah, masjid, pesantren dan kampus, mulai kebodohan, kedhu’afaan, sampai kepada tantangan-tantangan ideologis seperti Komunisme, Kristenisasi, dan aliran-aliran yang Menyimpang. Tentu kerangka Dewan Da’wah dengan gerakan bina’an wa difa’an harus terus dilakukan sepanjang zaman.
Hadza Min Fadhli Rabbi
Sejak kecil pria berdarah Pakistan ini suka merenungkan kata-kata hikmah dan mutiara bijak yang sering ia lihat di beberapa surat kabar dan majalah. Salah satu renungan hikmah yang menjadi inspirasinya adalah: “hiduplah sebelum kelahirannmu dan matilah sebelum meninggalmu.” Artinya jadilah orang yang baik yang selalu diidamkan orang dan selalu dikenang orang. Orang baik itu sebelum tiba di suatu tempat atau sebelum ia dilahirkan di tempat itu, orang sudah mendengar kebaikannya dan orang mengharapkan kehadirannya, dengan kata lain ia sudah hidup sebelum kehidupannya di tempat itu.
Selanjutnya meskipun nanti si orang baik itu pindah dari tempat itu, orang sudah mengenang dirinya karena kebaikan dan jasa-jasa serta sumbangannya untuk masyarakat yang ditinggalkannya itu, seolah-olah dia masih hidup dan masih belum meninggalkan tempat itu. “Tapi ini adalah motto kehidupan, atau filsafat kehidupan yang saya dambakan dan suatu keinginan yang tidak mudah diwujudkan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai dan menolong kita merealisasikan mimpi” kata Siddik.
Dalam usia 78 tahun, Siddik masih terlihat segar, meskipun pada tahun 2005 Sempat mengalami Operasi bedah jantung. “Alhamdulillah, ini semua karena Allah, hadza min fadli Rabbi,” katanya merendah dan dengan penuh rasa Syukur
Pria yang lahir dari keluarga sederhana ini dan Aceh, tumbuh dan besar dalam lingkungan yang sangat peduli kepada pendidikan dan dakwah. Itu pulalah yang membuatnya beraktifitas di organisasi dakwah tingkat nasional hingga internasional. Siddik yang banyak disapa Bang Siddik, Ustadz Siddik, dengan kegiatannya yang banyak terkadang sedih karena tidak bisa selalu bersama anak cucu.
Istri tercintanya meninggal pada September 2011 dan dapat karunia Allah seorang pendamping hampir lima tahun kemudian. Melihat jejak hayatnya, kakek 15 cucu yang tinggal di bilangan Condet Jakarta Timur ini, layak diberi amanah memimpin Dewan Dakwah. *
Sumber: Hadi Nur Ramadhan, “Mohammad Siddik: Tugas Ini Sangat Berat”, dalam Lukman Hakiem, Mengenal Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jakarta: Panitia Seabad Dewan Dakwah, 2018.[]
Beritaneka.com—Umat Islam dianjurkan melakukan puasa selama enam hari pada bulan Syawal setelah melalui puasa Ramadhan sebulan penuh. Puasa Syawal menurut Prof Hardinsyah, Guru Besar IPB University dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, merupakan suatu cara dari Yang Mahakuasa dalam mendidik manusia agar dapat merawat disiplin dan kebaikan yang sudah diraih saat Ramadhan.
“Bulan puasa merupakan suatu sekolah disiplin dan meraih kebaikan, andai tidak melakukan puasa Syawal kemungkinan sekolah yang telah mencapai disiplin dan kebaikan tadi akan terganggu atau cepat ter-erosi, misalnya bisa luntur disiplin dalam mengelola makan dan kesehatan diri kita,” ujarnya.
Baca juga: Puasa Bantu Kinerja Ginjal, Begini Penjelasan Pakar Gizi IPB
Idul Fitri merupakan momen yang membahagiakan sesama. Dalam momen bahagia ini biasanya diisi dengan silaturahmi dan makan-makan. Banyaknya makanan dan minuman yang disuguhkan pada momen ini menuntut kita agar selalu waspada dan tidak berlebihan dalam makan dan minum.
“Anjuran puasa Syawal ini membuat manusia yang telah melaksanakan puasa ramadhan berfikir apakah mengendalikan diri atau tidak. Ini momen untuk tetap melanjutkan kedisiplinan. Puasa Syawal juga dapat menjadi momen untuk latihan puasa Senin-Kamis. Bisa juga diterapkan untuk memulai puasa berselang (intermitten fasting) dalam Islam disebut puasa Daud atau bahasa asingnya puasa 101,” jelasnya.
Menurutnya momen puasa Syawal adalah persiapan mengantarkan pada disiplin bulan-bulan berikutnya untuk merawat kondisi tubuh yang semakin bagus dibanding sebelum puasa ramadhan, di samping memperolah pahala yang dijanjikanNya
“Barangsiapa puasa ramadhan kemudian melanjutkannya enam hari di bulan Syawal maka dia akan dapat pahala seakan-akan puasa setahun (al-Hadis). Imbalan pahala yang diberikan Tuhan dahsyat sekali. Semoga upaya kita merawat kedisiplinan yang baik ini sampai pada ramadhan berikutnya,” imbuhnya.
Sementara untuk orang dengan penyakit tertentu, ibu hamil dan ibu menyusui agar memperhatikan kondisi tubuhnya jika ingin melakukan puasa Syawal.
“Lagi-lagi kalau sakit harus konsultasi kepada dokter. Begitu juga dengan ibu hamil dan menyusui, perlu introspeksi diri apakah kehamilannya sehat atau tidak, ibunya mengalami kurang gizi yang kronik apa tidak, jadi jangan memaksakan diri,” imbuhnya.
Baca juga: Berbagai Inovasi IPB University Bidang Kehutanan dan Pertanian
Tips dari Prof Hardin bagi yang ingin berpuasa adalah selalu introspeksi diri akan kondisi tubuh. Untuk mengecek status gizi dapat dilakukan melalui laman Linisehat.com
“Jika tubuh kurus sekali ingin melaksanakan puasa Syawal maka perlu diperhatikan dengan baik agar makan malam, makan sahur serta berbuka dengan jumlah yang cukup dan dapat mencadangkan energi dan gizi. Upayakan bisa meningkatkan berat badan dengan otot yang proporsional,” ungkapnya.
Jika gemuk, menurutnya, selain mencari pahala, momen ini bisa dimanfaatkan untuk menurunkan berat tubuh.
“Bagi yang gemuk disarankan sahurnya sedikit saja, bisa seperempat atau setengah dari sarapan biasanya. Jika perlu hanya makan kurma dengan satu snack dan buah berserat disertai dua gelas minum sudah memadai. Pada saat siang hari tubuh mengalami kondisi kurang energi, maka cadangan glikogen dan lemak kita mulai digunakan oleh tubuh. Bila ini terjadi berkali-kali maka lemak tubuh berkurang dan tubuh menjadi ramping,” tandasnya.
Beritaneka.com—Dalam kondisi pandemi seperti ini banyak sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan negatif. Akan tetapi, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan masih tumbuh positif.
Prof Nunung Nuryartono, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, menyampaikan ada makna yang mesti disyukuri atas pertumbuhan positif tersebut. Meski di sisi lain terdapat persoalan yang senantiasa menjadi perhatian yaitu terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin.
“Saya ingin tekankan banyak penduduk miskin tinggal di desa yang notabene petani. Bagaimana kemudian kewajiban kita untuk bisa mensejahterakan petani sebagai aktor penting dalam produksi pertanian,” kata dia.
Baca juga: Berbagai Inovasi IPB University Bidang Kehutanan dan Pertanian
Dalam bahasa Arab ditemukan istilah yang hampir mirip yakni fallah (pertanian) dan falah (kemenangan). “Pada seruan adzan kita sering mendengar seruan hayya’alalfalah yaitu marilah kita menuju kemenangan atau kesejahteraan. Lalu seperti apa hubungan pertanian dengan kemenangan kesejahteraan,” ujarnya.
Lebih lanjut Prof Nunung menjelaskan, prinsip di dalam Islam mengenai proses produksi. Sedikitnya dia mencatat ada empat prinsip utama dalam produksi yaitu: Pertama, optimalisasi dalam berkarya. Kedua, istiqomah yaitu konsisten dalam proses produksi, selanjutnya tidak merusak, dan yang Ketiga atau terakhir adalah orientasi produksi harus pada kemaslahatan.
“Bagaimana proses produksi maka kita dapat merujuk surat dalam Al-Quran misal pada surat An-Nahl menunjukkan bagaimana aktivitas itu dilakukan. Ayat yang kelima “Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat dan sebagiannya kamu makan,” ujarnya.
Pada ayat lainnya ayat 10-11, “Dia lah yang menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya untuk minuman dan sebagiannya menyuburkan tumbuh-tumbuhan, yang pada tempat tumbuhnya kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman, zaitun, kurma anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang memikirkannya.”
Pada tiga ayat tadi yang satu sektor peternakan, kemudian selanjutnya sektor tanaman pangan dan perkebunan.
Baca juga: Hadapi Ancaman Ayam Impor Brazil, Pakar IPB Minta Pemerintah Permudah Impor Bahan Baku Pakan
Selanjutnya pada ayat ke 14, “Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan untukmu agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar, dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya dan supaya kamu mencari keuntungan dari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.”
“Dari tiga ayat saja, ada proses produksi yang harus kita lakukan. Apakah itu tanaman, segala sumber daya yang tersedia di laut dan bagaimana memanfaatkan air hujan untuk menyuburkan dan mengelola tanaman,” jelasnya.
Ia menambahkan ayat di atas menginspirasi amal saleh dengan harapan memperoleh keberuntungan di dunia dan akhirat. Menurutnya dalam berbuat satu kebaikan hendaknya tidak segera mengharapkan hasil secara instan. “Dalam konteks pertanian yang secara sabar mulai dari menanam, mengolah merawat hingga memperoleh hasil. Jadi bagaimana mengoptimalkan setiap karya kita secara konsisten dan istiqomah,” tuturnya.
Ketika bicara sektor pertanian maka kita akan melihat persoalan kesejahteraan. Prof Nunung mengingatkan tujuan manusia dihadirkan di bumi serta konsep circular economy.
“Menyisir ayat Qur’an saya temukan beberapa catatan. Dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30 “Dan ingatlah tatkala Rabbmu berkata kepada malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang Khalifah, berkata mereka apakah engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau, Ia berkata sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
“Ada makna mendalam di mana fungsi kita sebagai khalifah memelihara dan merawat bumi, bukan sebaliknya. Dalam konsep circular economy ternyata Islam sudah menunjukkan bahwa dalam setiap aspek produksi harus memberikan kemanfaatan yang optimal. Sementara dalam konsep konvensional yang kita pahami dalam proses produksi itu linear ada sesuatu yang bersifat residu dan dibuang, padahal di dalam Islam mengajarkan semua itu bisa termanfaatkan dengan mengikuti seluruh siklus ini, sehingga di Barat sering didengungkan konsep reuse, recycle,” ungkapnya.
Pada konsep konsumsi, dalam surat Al-A’raf 31 menegaskan pada kita, “Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
“Jadi dalam konteks produksi dan konsumsi ada balance di sana. Bagaimana memanfaatkan keseluruhan sumberdaya secara optimal untuk kemaslahatan secara konsisten atau istiqomah dan ada unsur sabar di sana dan dalam konteks konsumsi kita dilarang berlebih-lebihan. Inilah the beauty of Islam,” imbuhnya.
Menurutnya Islam sudah memberikan arahan untuk memanfaatkan seluruh sumberdaya yang ada dengan ilmu pengetahuan. “Karena tugas kita sebagai Khalifah memelihara dan merawat bumi alam semesta beserta seisinya”, ujarnya.
Di akhir ia menyampaikan sebuah hadits, “Tidaklah seorang muslim yang bercocok tanam kecuali setiap tanaman yang dimakannya bernilai sedekah baginya, apa yang dicuri darinya menjadi sedekah baginya, apa yang dimakan binatang liar dan burung menjadi sedekah baginya dan tidaklah seorang mengambil darinya menjadi sedekah baginya.”
“Hadits ini menunjukkan kemuliaan pekerjaan sebagai petani, dan hikmah lain secara implisit banyak sekali hak petani yang menyangkut taraf hidup layak yang tercuri oleh sistem perekonomian yang kurang adil,” tutup Prof Nunung.