Beritaneka.com—Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengajak Anies Baswedan bergabung dalam satu berisan. Langkah keponakan Gud Dur itu dinilai strategis dan dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Demikian disampaikan Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga.
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999 menegaskan, langkah itu memberikan dampak elektoral yang positif bagi partai berbasis nahdiyin itu,
“PKB akan dinilai partai yang terbuka bagi calon-calon pemimpin potensial. Anies sebagai salah satu pemimpin potensial diharapkan akan mampu meningkatkan popularitas dan elektabilitas PKB,” tegasnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Nasdem Untung Elektoral Bila Usung Anies Baswedan
Selain itu, PKB juga dinilai partai yang lebih terbuka. Setidaknya PKB akan dinilai lebih mengakomodir calon pemimpin diluar warga nahdiyin.
Lebih jauh Jamiluddin menagatakan, kalau persepsi itu terbentuk, maka warga di luar nahdiyin berpeluang masuk PKB. Hal ini dapat menambah gemuknya warga yang simpati dan masuk PKB.
Baca juga: Anies Baswedan: Kantor Pemprov DKI Jakarta Wajib Belanja di UMKM
Sedangkan keuntungan yang diperoleh Anies,bila masuk PKB tentu akan mendapat dukungan yang lebih besar dari warga nahdiyin. Hal ini akan meningkatkan elektabilitas Anies.
Selain itu, persepsi negatif terhadap Anies yang seolah-olah hanya didukung Islam garis keras akan hilang. Persepsi yang diciptakan lawan-lawan politik Anies tersebut dengan sendirinya akan gugur.
“Anies juga akan punya kenderaan politik bila masuk PKB. Hal itu akan memuluskannya ikut pilpres 2024,” ungkapnya.
Jadi, jelas Jamiluddin, elektabilitas PKB dan Anies akan berpeluang semakin meningkatkan. Hal ini tentunya akan menguntungkan bagi PKB dan Anies.
Baca juga: FBI: Tiga Alasan Utama Anies Baswedan Layak Jadi Capres 2024
Beritaneka.com—Presiden Joko Widodo mengalokasikan wakil menteri (wamen) di Kementerian Sosial. Hal itu tertuang dalan Peraturan Presiden (Perprwes) Nomor 110 Tahun 2021 Tentang Kementerian Sosial pada 14 Desember 2021.
Dengan bertambahnya satu kursi wamen, maka total kursi wamen di Kabinet Indonesia Maju menjadi 16. Sementara pada Kabinet Indonesia Kerja, Jokowi hanya mengalokasikan tiga kursi wamen.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Nasdem Untung Elektoral Bila Usung Anies Baswedan
Kebijakan Presiden Jokowi mendapat kritikan dari berbagai kalangan. Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga menilai penambahan Wamen itu layak ditolak karena tidak jelas urgensinya.
“Membengkahnya kursi wamen pada Kabinet Indonesia Maju tentu layak dipersoalkan. Sebab, tidak jelas urgensi penetapan kursi wamen dalam satu kementerian,” ujar Jamiluddin.
Jamliluddin menegaskan, semua tugas dan fungsi kementerian sesungguhnya sudah terbagi habis di unit eselon 1. Tugas dan fungsi eselon 1 juga sudah dijabarkan secara operasional oleh unit eselon 2.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Puan Maharani Sangat Tidak Aspiratif
Sementara semua kebijakan yang terkait tugas dan fungsi setiap kementerian ditentukan oleh menteri. Sekjen biasanya mewakili menteri dalam kegiatan seremonial. Sementara Dirjen mewakili menteri dalam bidang operasional sesuai tugas dan fungsi kementeriannya.
“Jadi, tugas dan fungsi setiap kementerian pada dasarnya sudah terbagi habis. Karena itu, tidak ada lagi tugas dan fungsi kementerian yang perlu didistribusikan untuk wamen,” tegasnya.
Karena itu, ungkap Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999 ini, penempatan wamen di kementerian pada dasarnya bukanlah kebutuhan. Sebab, kementerian yang sudah memiliki kursi wamen juga kinerjanya tidak membaik.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Arief Poyuono Jangan Terjebak Etnosentrisme
Ada kesan, kursi wamen hanya untuk mengakomodir orang-orang yang dinilai berjasa mengantarkan Jokowi jadi presiden. Jadi, kursi wamen hanya untuk mengakomodasi kepentingan politik.
Hal itu tentu tidak sejalan dengan keinginan Jokowi yang selalu ingin berhemat. Beban negara untuk 16 kursi wamen tentu tidak sedikit. Padahal negara saat ini sedang mengalami kesulitan keuangan.
“Karena itu, Jokowi seharusnya menghentikan penambahan kursi wamen. Selain memang tidak berkaitan dengan peningkatan kinerja kabinet, juga tidak sejalan dengan janjinya untuk menyusun kabinet yang ramping,” tegasnya.
Beritaneka.com—Partai Nasional Demokrat (Nasdem) diperkirakan akan mengusung Anies Baswedan pada Pilpres 2024. Menurut M, Jamiluddin Ritonga, pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, langkah Nasdem itu akan memberikan dampak positif dari sisi raihan suara pada pemilu 2024.
“Ada beberapa pertimbangan Nasdem mengusung Anies yang kini menjabat Gubernur DKI. Pertama, ada kedekatan historis antara Nasdem dengan Anies. Gubernur DKI Jakarta ini salah satu pendiri Nasdem saat masih menjadi Ormas,” ujar Jamiluddin.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Puan Maharani Sangat Tidak Aspiratif
Kedekatan historis itu, lanjut Jamiluddin, membuat Ketua Umum Nasdem Surya Paloh percaya kepda Anies. Kepercayaan itu tampaknya semakin menguat setelah Anies menunjukkan prestasinya selama menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Alasan kedua, elektabilitas Anies memang tinggi. Hal itu ditunjukkan hasil survei dari lembaga survei yang memang kredibel.
Elektabilitas yang tinggi itu setidaknya menggaransi Anies untuk berpeluang memenangkan Pilpres. Hal ini menambah keyakinan Nasdem untuk mengusung Anies dalam Pilpres 2024.
“Kalau Nasdem mengusung Anies, tentu jadi berkah buat partai besutan Surya Paloh. Sebab, pendukung fanatik Anies yang begitu besar setidaknya sebagian diantaranya suaranya akan ke Nasdem,” ungkapnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Arief Poyuono Jangan Terjebak Etnosentrisme
Hal itu akan meningkatkan elektoral Nasdem pada Pileg 2024. Nasdem setidaknya akan bertambah jumlah suaranya sehingga menambah kursi untuk mengamankan partainy tetap di Senayan.
Peluang menang itu akan semakin besar bila Nasdem berkoalisi dengan Demokrat dan PKS. Sebab, dua partai ini elektabilitasnya belakangan terus meningkat.
Nasdem bersama Demokrat dan PKS dapat mengusung Anies dengan peluang menang lebih besar bila dipasangkan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Duet ini dari hasil beberapa survei sangat kompetitif untuk bertarung dengan pasangan lain.
“Jadi, duet Anies – AHY tampaknya sangat tepat diusung koalisi tersebut. Nasdem bila jadi prakarsa duet tersebut tentu akan diuntungkan pada peningkatan elektoral pada Pileg mendatang,” tegasnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Golkar Harus Realistis dalam Berkoalisi
Beritaneka.com—Ketua DPR RI Puan Maharani mengeluarkan pernyataan, DPR RI telah sepakat tidak merevisi UU Pemilu. Sikap putri Megawati Soekarnoputri itu dimata M. Jamiluddin Ritonga, pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, mencerminkan sosok yang tidak aspiratif.
Pernyataan Puan itu dengan sendirinya telah menutup peluang untuk merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Padahal, berbagai elemen masyarakat sedang mewacanakan presidential threshold (PT) 20 persen yang diatur dalam UU tersebut.
“Celakanya, Puan justeru meminta masyarakat untuk menghormati kesepakatan DPR RI tersebut. Disini jelas Puan seolah-olah tidak memahami dari mana asalnya serta apa tugas dan fungsi DPR RI,” ujar Jamiluddin.
Baca juga: Duet Pasangan Anies-Puan Sulit Menang
Menurut Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999 ini, Puan seharusnya paham, DPR RI bertugas menyerap aspirasi masyarakat. Kalau masyarakat menyampaikan aspirasi terkait PT 20 persen, seharusnya Puan menyerapnya dengan sungguh-sungguh untuk kemungkinan diimplementasi ke fungsi pengawasan dan fungsi legislasi.
“Namun Puan tidak melakukan hal itu, tapi justeru menampik wacana di masyarakat, khususnya terkait PT. Disini Puan terkesan sudah mengabaikan tugas dan fungsi yang seharusnya dilakukan DPR RI,” tegasnya.
Padahal, DPD sudah dengan intensifnya meminta agar PT menjadi nol persen. Bahkan beberapa elemen masyarakat sudah menggugat PT ke Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Data Pribadi Bocor, Ketua DPR: Aplikasi Pemerintah Harus Lindungi Data Warga
Survei yang dilakukan Accurate Research and Consulting Indonesia (ARCI) pada akhir Oktober hingga awal November 2021 menunjukkan, 80,4 persen masyarakat Jawa Timur menghendaki PT 20 persen menjadi nol persen. Hasil survei ini jelas aspirasi rakyat yang sejalan dengan DPR dan bernagai elemen masyarakat lainnya.
“Semua itu diabaikan begitu saja oleh Puan. Disini Puan terkesan sosok yang sangat tidak aspiratif. Sikap seperti itu sangat tidak pantas datang dari seorang Ketua DPR RI,” ungkapnya.
Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul.
Wacana presidential threshold (PT) nol persen terus bergulir. Bahkan beberapa anak bangsa sudah membawanya ke Mahkamah Konstitusi untuk yudisial review.
Beberapa partai politik (parpol) menolak wacana PT nol persen. Pendapat beberapa parpol ini juga bervariasi dalam menentukan persentase PT. Ada parpol yang mengusulkan 5 sampai 10 persen, ada yang 10 persen, tapi ada juga yang justeru meminta 30 persen.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Arief Poyuono Jangan Terjebak Etnosentrisme
Namun demikian, lebih banyak parpol yang menginginkan PT diturunkan dari 20 persen. Hal ini mengindikasikan masih ada peluang untuk menurunkan persentase PT.
Untuk mencari titik temu dari wacana tersebut, tampaknya perlu diambil jalan tengah terkait penetapan persentase PT. Parpol yang ada di DPR kiranya perlu mempertimbangkan PT yang sama dengan ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
Kalau ada 9 parpol yang masuk Senayan, maka semua parpol itu dengan sendirinya berhak mengajukan capres dan cawapres. Jumlah pasangan capres dan cawapres sebanyak itu setidaknya sudah memberi banyak pilihan bagi para pemilih sebagaimana diharapkan demokrasi.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Golkar Harus Realistis dalam Berkoalisi
Jumlah pasangan tersebut diharapkan juga sudah mendekati karakteristik pemilih di Indonesia. Variasi pemilih setidaknya sudah tercermin pada pasangan yang akan dipilih.
Kalau ambang batas tersebut diterima, maka setiap parpol yang masuk Senayan dengan sendirinya berhak mengusung sendiri capres dan cawapres. Setiap parpol yang ada di Senayan tidak perlu berkoalisi saat mengusung capres dan cawapres.
Peluang berkoalisi akan terbuka bila putaran pertama pilpres tidak ada pemenang. Pasangan calon yang masuk dua besar pada putaran pertama, dapat mengajak parpol lain untuk berkoalisi pada putaran kedua.
Baca juga: Desak Pecat Sri Mulyani, Jamiluddin Ritonga: Pimpinan MPR Melampaui Kewenangannya
Kiranya jalan tengah tersebut dapat menengahi wacana sekitar PT. Masalahnya apakah parpol mau bijak dan proporsional dalam menetapkan PT?
Beritaneka.com—Politikus Partai Gerindra Arief Poyuono menyebut Anies Baswedan dan Sandiaga Uno tidak bisa jadi presiden karena bukan dari suku Jawa. Orang Jawa, kata Arief, akan memilih pemimpin yang berasal dari suku mereka.
Pernyataan Arief Poyuono itu, menurut M. Jamiluddin Ritonga, pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul mengarah etnosentrime. Negeri multi etnik ini, jelas Arief hanya akan dipimpin oleh suku Jawa. Suku lain seolah tertutup untuk terpilih menjadi presiden.
“Sikap etnosentrime tersebut tentu membahayakan perkembangan demokrasi di Indonesia. Sebab, sikap etnosentrisme itu pada umumnya berkembang di negara totaliter,” ujar Jamiluddin.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Golkar Harus Realistis dalam Berkoalisi
Hal itu sudah dipraktekan Adolf Hitler saat memimpin Jerman. Hitler melalui NAZI terus menerus mengagungkan rakyat Jerman sebagai bagian dari ras Arya.
NAZI menilai Arya, ras paling unggul, karena itu paling berhak memimpin dunia. Ras lain hanya pecundang, karenanya syah untuk dipimpin dan dikuasai.
Sikap seperti itu, jelas Jamiluddin, tentu sangat tidak cocok di negara demokrasi. Sebab, mereka akan terus berupaya mendominasi dengan tidak memberi ruang bagi suku lain untuk memimpin.
“Indonesia yang dihuni multi etnis, tentu sikap etnosentrisme dapat mengganggu NKRI. Suku lain akan merasa tertutup untuk menjadi presiden. Hal itu dapat membuat frustasi suku lain,” tegasnya.
Baca juga: Desak Pecat Sri Mulyani, Jamiluddin Ritonga: Pimpinan MPR Melampaui Kewenangannya
Selain itu, himbau Jamiluddin, Arief Poyuono juga terlalu mengenalisir orang Jawa. Semua orang Jawa seolah sudah pasti akan memilih sukunya.
Generalisasi seperti itu tentu sangat menyesatkan. Sebab, kalau pola pikir itu yang digunakan, maka semua orang Jawa seolah tipe pemilih emosional.
Padahal, realitas politiknya banyak orang Jawa yang termasuk pemilih rasional. Pemilih seperti ini memilih Capres buka karena satu suku atau satu agama, tapi lebih karena dinilainya paling layak dibandingkan capres lainnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Duet Airlangga – Ganjar Akan Layu Sebelum Berkembang
Pada umumnya, semakin terdidik pemilih akan semakin rasional dalam memilih capres. Kecenderungan ini yang terus terjadi di Indonesia, dimana pemilih terbesar saat ini adalah kalangan muda. Mereka ini pada umumnya sudah terdidik.
“Jadi, sinyalemen Arief Poyuono orang Jawa akan memilih dari sukunya tampaknya akan terbantahkan pada Pilpres 2024. Kecenderungan ini akan terlihat pada pemilih yang terdidik dan masuk tipe pemilih rasional,” ungkapnya.
Beritaneka.com—Golkar terbuka untuk berkoalisi asalkan Ketua Umumnya Airlangga Hartarto yang menjadi calon presiden (capres).
Menurut Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, logika politik Golkar itu masuk akal bila didasarkan perolehan suara pileg 2019. Pada pemilihan umum sebelumnya, Golkar memang memperoleh suara terbanyak ketiga atau kedua dalam perolehan kursi di DPR RI.
“Karena itu, Golkar merasa superior untuk memaksakan Airlangga menjadi capres. Partai politik lainnya, selain PDIP dan Gerindra, seolah harus menerima kadernya sebagai cawapres,” ujar Jamiluddin.
Baca juga: Desak Pecat Sri Mulyani, Jamiluddin Ritonga: Pimpinan MPR Melampaui Kewenangannya
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999 ini menegaskan, logika politik itu akan dapat diterima partai lain bila elektabilitas Airlangga tinggi. Setidaknya elektabilitas Airlangga selalu masuk lima besar dalam hasil survei dari lembaga survei yang kredibel.
“Nyatanya, hasil survei dari beberapa lembaga survei yang kredibel, elektabilitas Airlangga hingga saat ini sangat rendah. Kalau pun ada lembaga survei yang merilis elektabilitas Airlangga diatas 20 persen, sangat layak diragukan hasilnya,” ungkapnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Duet Airlangga – Ganjar Akan Layu Sebelum Berkembang
Jadi, jelas Jamiluddin, upaya Golkar memaksakan Airlangga menjadi capres dengan elektabilitas rendah tampaknya akan mendapat penolakan dari partai lain. Partai lain tentu akan sulit berkoalisi dengan Golkar yang capresnya peluang menang sangat kecil.
“Jadi, Golkar harus realistis bila ingin berkoalisi dengan partai lain. Pemaksaan Airlangga harus capres hanya realistis bila elektabilitasnya tinggi. Namun bila elektabilitasnya masih seperti saat ini, tentulah partai lain akan tertawa bila Golkar tetap memaksakan Airlangga menjadi capres sebagai syarat koalisi,” tegasnya.
Beritaneka.com—Pimpinan MPR sepakat meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memecat Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. MPR kecewa kepada Sri Mulyani karena diundang dua kali tidak pernah datang.
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga menilai permintaan Pimpinan MPR yang disampaikan Fadel Muhammad itu mengejutkan. Sebab, sebagai pimpinan MPR bukanlah rananya untuk meminta presiden memecat menteri.
Baca juga: Sri Mulyani: Ketahanan Pangan Jadi Perhatian Pemerintah
Indonesia sebagai negara yang menganut presidensil, jelas Jamiluddin tentu mengangkat dan memberhentikan menteri menjadi hak prerogatif presiden. Karena itu, siapa pun, termasuk MPR, tidak berhak menekan presiden untuk memecat menterinya.
“Kiranya akan berbeda bila Indonesia menganut sistem parlementer. Legislatif masih dimungkinkan untuk cawe-cawe urusan pengangkatan dan pemberhentian menteri,” ujar Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999 ini.
Baca juga: Fokus Penguasaan Wilayah, Sri Muyani Resmikan Reorganisasi Direktorat Jenderal Pajak
Jamiluddin menegaskan, MPR sudah melampaui batas kewenangannya ketika meminta Jokowi memecat Sri Mulyani. Pimpinan MPR seolah tidak memahani tugas dan fungsinya setelah UUD 1945 diamandemen.
“Karena itu, Presiden Jokowi idealnya mengabaikan permintaan pimpinan MPR tersebut. Sebab, kalau hal itu dituruti akan menjadi preseden buruk dalam kehidupan tata negara di Indonesia,”ungkapnya.
Baca juga: Wacana PPN Sembako, Bhima Yudistira: Argumentasi Pemerintah Lemah
Oleh M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul
Beritaneka.com—Kedatangan Kepala staf Presiden (KSP) Moledoko ditolak peserta aksi Kamisan yang digelar di Taman Signature, Semarang. Penolakan kedatangan Moeldoko tentu sangat memalukan. Sebagai pejabat negara Moeldoko sudah sama sekali tidak dihormati oleh peserta aksi Kamisan.
Penolakan itu berkaitan dengan pudarnya kepercayaan peserta aksi Kamisan terhadap Moeldoko. Bagi mereka, Moeldoko bukan sosok yang dipercaya, sehingga kehadirannya tidak dibutuhkan. Moeldoko bukan bagian dari mereka, sehingga tak perlu cawe-cawe dalam aksi mereka.
Terlihat ada gap antara pejabat dengan rakyat. Gap ini tentu tidak seharusnya terjadi di negara demokrasi.
Gap tersebut juga akan memutus komunikasi antara pejabat dan rakyat. Hal ini akan semakin menjauhkan rakyat dengan pemimpinnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Duet Airlangga – Ganjar Akan Layu Sebelum Berkembang
Celakanya, ketidakpercayaan itu tertuju kepada Moeldoko, salah satu pejabat yang dinilai dekat dengan presiden. Ketidakpercayaan itu tentu dapat berhimbas kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Masyarakat akan menilai, kalau orang dekat presiden saja tidak dipercaya masyarakat, bagaimana dengan pejabat negara yang jauh dengan presiden ? Para pejabat ini bisa saja makin tidak dianggap oleh masyarakat.
Bahayanya, kalau persepsi masyarakat seperti itu, maka dukungan terhadap pemerintah akan dapat menurun. Masyarakat sudah tidak akan sejalan lagi dengan pemimpinnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: MKD dan Golkar Harus Cepat Tangani Kasus Azis Syamsudin
Kalau dukungan masyarakat terus menurun, maka legitimasi pemerintah semakin lemah. Hal ini tentu tidak diinginkan Jokowi.
Untuk meminimalkan hal itu terjadi, maka Jokowi segera mengevaluasi menterinya yang sudah tidak dipercaya masyarakat. Para menteri seperti ini selayaknya segera di reshuffle. Hanya dengan cara itu pemerintahan Jokowi terhindar dari krisis kepercayaan.
Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul.
Beritaneka.com—Politik gentong babi kembali mencuat setelah ada indikasi banyak menteri yang potensial nyapres. Para menteri tersebut dikhawatirkan akan menggunakan dana publik untuk mempengaruhi masyarakat memilihnya pada pilpres 2024.
Peluang ke arah itu memang sangat terbuka, terutama menteri yang tugas dan fungsinya (tupoksinya) bersentuhan langsung dengan masyarakat. Para menteri itu bisa saja mengkonversi beberapa program untuk digunakan kampanye secara indirect. Menteri membawa program ke masyarakat tidak untuk kepentingan kementerian yang dipimpinnya, tapi diarahkan untuk kepentingan nyapres.
Kampanye indirect (terselubung) menggunakan dana negara memang berpeluang mempengaruhi masyarakat. Apalagi saat ini sebagian masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kelompok masyarakat seperti ini tentu potensial dipengaruhi politik gentong babi.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Duet Airlangga – Ganjar Akan Layu Sebelum Berkembang
Hanya saja besar kecil pengaruhnya sangat ditentukan oleh nilai jual dari menteri yang melakukan politik gentong babi. Bagi menteri yang nilai jualnya tinggi (terlihat dari elektabilitasnya), tentu pengaruh politik gentong babi akan sangat besar kepada masyarakat. Politik gentoong babi justeru akan menimbulkan efek penguatan bagi masyarakat untuk memilih sang menteri.
Sebaliknya, menteri yang nilai jualnya rendah, tentu pengaruh politik gentong babi terhadap masyarakat memang ada. Hanya saja pengaruhnya tidak akan meningkatkan elektabilitasnya secara signifikan.
Jadi, yang sangat dikhawatirkan bila menteri itu punya nilai jual tinggi dan tupoksinya bersentuhan langsung dengan masyarakat. Menteri seperti ini akan berpeluang memanfaatkan politik gentong babi untuk makin meningkatkan elektabilitasnya. Politik gentong babi akan sangat efektif dimanfaatkan untuk menambah lumbung suara.
Peluang itu semakin besar mengingat di Indonesia lebih dominan pemilih emosional. Mereka memilih bukan karena kapasitas dan kompetensi calon, tapi kerap masih atas pertimbangan perut. Mereka inilah yang berpeluang besar terpengaruh oleh politik gentong babi.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: MKD dan Golkar Harus Cepat Tangani Kasus Azis Syamsudin
Peluang seperti itu tentu tak dimiliki calon yang tidak memiliki jabatan publik. Mereka tidak dapat melakukan politik gentong babi, karena mereka memang tidak mempunyai akses untuk itu.
Calon yang bukan pejabat publik tentu akan menggunakan dana pribadi atau dana sponsor untuk mempengaruhi masyarakat pemilihnya. Penggunaan dana tersebut untuk mempengaruhi rakyat tidak dapat dikatakan politik gentong babi.
Namun penggunaan dana dari mana pun sumbernya dapat disebut politik uang. Hal ini tentu tidak dibenarkan dan melanggar perundang-undangan pemilu. Pelakunya dapat dikenakan pidana.
Justeru yang mengerikan bila pejabat publik, termasuk menteri, melakukan politik gentong babi yang dikombinasikan dengan dana sponsor. Mereka ini akan dapat melakukan apa saja untuk mempengaruhi masyarakat guna memilihnya.
Bahkan para pejabat publik ini bisa tidak melakukan kampanye secara langsung. Dia menggunakan para relawan untuk mengkampanyekan dirikan, termasuk membagi aneka sembako.
Pejabat publik seperti ini menggunakan anggaran publik dan dana sponsor bisa saja dengan memanfaatkan para relawan. Dia seolah tidak tahu menahu aktifitas para relawan dengan tetap melaksanakan tupoksinya. Padahal, dia yang menjadi otak semua gerak langkah para relawan dalam mempengaruhi masyarakat.
Jadi, semua pihak yang pro demokrasi perlu mencermati perilaku pejabat publik yang kelihatannya akan nyapres. Mereka perlu dipelototi baik dalam penggunaan dana publik maupun dana sponsor dalam setiap aktifitasnya yang bersentuhan dengan masyarakat.
Pengawasan juga perlu dilakukan terhadap para relawan yang belakangan bermunculan. Perlu diketahui sumber dana para relawan yang belakangan ini banyak membagikan sembako dan aktifitas lainnya dalam mempengaruhi masyarakat untuk kepentingan pejabat publik yang ingin nyapres.
Hal itu diperlukan agar politik gentong babi dan dana sponsor yang berlebihan dapat diminimalkan. Dengan begitu politik uang dapat diminimalkan pada pilpres mendatang, sehingga nantinya terpilih capres yang kompeten dan terjaga integritasnya.