Beritaneka.com—Relawan Relawan Poros Widya Chandra (Wichan) berencana mendeklarasikan Airlangga Hartarto-Gandjar Pranowo (GAGA) maju pada Pilpres 2024.
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga menilai Duet Airlangga – Ganjar memang potensial untuk diusung pada Pilpres 2024. Sebab, Airlangga punya perahu Partai Golkar yang memiliki kursi terbanyak kedua di Senayan. Partai Golkar di atas kertas cukup mengajak satu partai menengah untuk dapat mengusung duet Airlangga-Ganjar.
“Dilain pihak, Ganjar dengan elektabilitas relatif tinggi dapat menjadi pundi-pundi suara. Setidaknya Ganjar dapat menutupi jebloknya elektabilitas Airlangga,” ujar Jamiluddin.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: MKD dan Golkar Harus Cepat Tangani Kasus Azis Syamsudin
Namun, Penulis buku Perang Bush Memburu Osama ini masih ada persoalan pada pasangan tersebut. Masalahnya, duet ini memang tak sebanding dalam elektabilitas. Ganjar kemungkinan elektabilitasnya masih bisa dikerek, sementara Airlangga tampaknya sudah mentok.
Airlangga dengan posisi Ketua Umum Golkar dan menjabat menteri seharusnya punya elektabilitas yang relatif tinggi. Tapi realitasnya, lanjut Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999 ini, hasil survei dari lembaga survei yang kredibel, elektabilitas Airlangga sangat rendah.
“Ini artinya, nilai jual Airlangga memang rendah. Jadi, meskipun dikampanyekan secara intens, elektabilitas Airlangga tampaknya tidak akan naik signifikan,” tegasnya.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Gibran Belum Layak Maju Pilgub DKI Jakarta
Karena itu, duet Airlangga-Ganjar akan sulit dilirik partai lain. Sebab, peluang untuk menang akan kecil pada Pilpres 2024.
Partai politik tentu akan mengusung pasangan yang berpeluang menang. Duet Airlangga-Ganjar di atas kertas tampaknya tidak memenuhi hal itu.
Jadi, duet Airlangga-Ganjar tampak akan sulit mendapat perahu, selain Golkar. Karena itu, ada kemungkinan duet ini akan layu sebelum berkembang.
Beritaneka.com—Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menetapkan Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin menjadi tersangka. Menyipaki penetapan KPK itu, DPR diminta mengambil langkah cepat dan tegas.
Dalam hal ini, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR seharusnya aktif menangani kasus dugaan pelanggaran etika Azis Syamsudin, termasuk dalam kasus penyidik KPK yang membantu dugaan korupsi Wali Kota Tanjungbalai.
“MKD jangan terus berlindung pada aturan yang menunggu keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Kalau itu yang dijadikan dasar MKD, maka kasus etika Azis Syamsudin akan berlarut-larut,” ujar pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, Senin (27/09).
Baca juga: KPK Sita Dokumen dari Kantor dan Rumah Dinas Azis Syamsuddin
Semakin lama kasus Azis Syamsudin diputus MKD, tambah penulis buku Perang Bush Memburu Osama, dampaknya akan semakin besar kepada DPR RI. Bahkan, kasus yang diduga melibatkan Azis Syamsudin itu dengan sendiri akan berpengaruh terhadap Partai Golkar.
Menurut Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999 ini, ada dua dampak terhadap DPR RI bila penanganan kasus Azis Syamsudin berlarut-larut. Sebagai Wakil Ketua DPR RI, kasus Azis Syamsudin diperkirakan dapat mempengaruhi kinerja lembaga terhormat tersebut. Terjadi kekosongan yang menangani tugas dan fungsi Azis Syamsudin sebagai wakil ketua DPR RI.
“Hal itu dengan sendirinya melemahkan terwujudnya fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan,” tegas Jamiluddin.
Dampak lainnya berkaitan langsung dengan citra DPR di mata masyarakat. Kalau kasus Azis Syamsudin semakin lama diselesaikan, maka masyarakat dihawatirkan akan menilai DPR semakin buruk.
Bagi Partai Golkar, tentu kasus Azis Syamsudin juga akan dapat berpengaruh terhadap citra partainya. Citra buruk ini kiranya dapat merugikan Partai Golkar dalam Pilpres dan Pileg 2024.
Baca juga: Diduga Terlibat Pemerasan, IPW Desak KPK Periksa Azis Syamsuddin
Karena itu, DPR dan Golkar harus cepat bersikap agar faktor Azis Syamsudin tidak terlalu jauh mempengaruhi dua lembaga tersebut. Untuk itu, pimpinan DPR perlu meminta MKD segera menyelesaikan dugaan kasus etika Azis Syamsudin secara adil dan terbuka.
Hanya dengan rapat terbuka, masyarakat akan mempercayai keputusan MKD. Kalau tidak, masyarakat dihawatirkan akan semakin tidak mempercayai DPR RI. Hal ini akan semakin berpengaruh terhadap buruknya reputasi dan citra DPR RI.
Bagi Golkar, selayaknya mengevaluasi kedudukan Azis Syamsudin sebagai Wakil Ketua DPR RI. Kader Golkar di DPR RI yang cukup mumpuni cukup banyak untuk dapat menggantikan jabatan Azis Syamsudin.
“Kalau hal itu dilakukan Golkar, dampak yang lebih buruk terhadap partainya dapat dikurangi. Kiranya hal itu yang terbaik diambil agar Golkar tetap nyaman menghadapi Pemilu 2024,” ungkapnya.
Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul.
Beritaneka.com—Kaesang Pangarep di instagramnya memunculkan dua balihonya yang mirip baliho Puan Maharani dan Airlangga Hartarto.
Baliho tersebut tentu memunculkan banyak makna. Pertama, bisa saja baliho Kaesang itu hanya memanfaatkan isu aktual untuk kepentingan usahanya.
Jadi, baliho itu digunakan untuk mendompleng popularitas Puan dan Airlangga dalam mendongkrak omsetnya. Di sini Kaesang jelih memanfaatkan isu demi kepentingan bisnisnya.
Baca juga: Presiden Jokowi Minta Menkes Turunkan Biaya Test PCR
Dua, bisa saja baliho itu sebagai guyonan belaka. Kemungkinan ke arah itu masih terbuka mengingat usia Kaesang yang masih relatif muda. Diusianya itu tentu biasa menjadikan hal-hal kontroversial sebagai baha candaan.
Tapi kalau itu dimaksudkan sebagai guyonan, tentu sangat beresiko. Sebab, keluarganya berlatar belakang politik, yang akan dengan mudah dijadikan sasaran tembak. Apalagi keluarganya kader PDIP, tentu sangat beresiko bila Puan petinggi PDIP dijadikan bahan guyonan.
Tiga, ada kemungkinan baliho itu sindiran terhadap Puan dan Airlangga. Kaesang sebagai kalangan milenial tentu menggunakan caranya yang lugas dalam menyindir seseorang. Cara mudah tentu dengan membuat baliho yang hampir sama dengan orang yang disindir.
Namun kalau itu motifnya, tentu secara politis akan beresiko terhadap keluarganya. Bukan hanya kepada Walikota Solo dan Walikota Medan, tapi berpeluang berdampak kurang baik kepada Presiden Joko Widodo.
Empat, ada kemungkinan Kaesang menggunakan baliho yang mirip Puan dan Airlangga dimaksudkan untuk membidik capres pada Pilpres 2024. Sebab, pada instagramnya juga ada balihonya dengan narasi Saya Siap Untuk RI 1.
Tentu saja peluang guyonan juga tetap terbuka. Sebab, selama ini sepak terjangnya di dunia politik belum ada.
Baca juga: Dukung Integrasi Data Jokowi, IPB Sodorkan Data Desa Presisi
Namun, karena Kaesang berasl dari keluarga politik, maka tidak menutup kemungkinan ia memang serius untuk menjajal hiruk pikuk nyapres. Hal itu juga sudah dilakukan kakaknya, yang dari dunia bisnis kemudian loncat ke dunia politik, dan sekarang menjadi Walikota Solo. Hal yang sama juga dilakukan kakak iparnya, yang sekarang Walikota Medan.
Tapi kalau itu motifnya, tentu Kaesang akan berhadapan dengan Puan dan petinggi PDIP yang pro Puan. Tentu resikonya sangat besar bagi keluarga Kaesang secara keseluruhan.
Semua itu tentu serba kemungkinan. Namun, kemungkinan terbesar, baliho itu di buat Kaesang hanya untuk kepentingan pemasaran demi mendongkrak omzetnya.
Penulis buku:
1. Tipologi Pesan Persuasif
2. Perang Bush Memburu Osama
3. Riset Kehumasan
Dekan FIKOM.IISIP Jakarta 1996 – 1999
Oleh : M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul.
Beritaneka.com—Banyak hasil survei terkait elektabilitas tokoh yang dirilis berbagai lembaga survei. Hasilnya kerap membingungkan masyarakat.
Survei yang dilakukan Charta Politica dan Indonesia Political Opinion (IPO) misalnya, menunjukkan hasil yang berbeda. Pada Charta Politica, elektabilitas tiga besar masih dipegang Ganjar Pranomo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto. Hasil ini tidak mengejutkan karena dari berbagai survei dari lembaga survei yang kredibel tiga tokoh ini memang bergantian menempati urutan satu hingga tiga.
Berbeda halnya hasil yang dirilis IPO, tiga besar diisi Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Sandiaga Uno. Sementara elektabilitas Prabowo hanya diurutan 5 dengan hasil 7,8 persen.
Baca juga: Reformasi Dipersimpangan Jalan
Temuan IPO ini menimbulkan tanda tanya, mengingat selama ini elektabilitas Prabowo selalu tiga besar dan tidak pernah dibawah satu digit (7,8 persen). Padahal, selama periode tersebut tidak ada isu miring yang berarti yang dapat menimbulkan melorotnya elektabilitas Prabowo.
Perbedaan hasil survei seperti itu sudah kerap terjadi. Akibatnya, banyak pihak yang sudah meragukan validitas hasil survei, khususnya terkait popularitas dan elektabilitas tokoh tertentu.
Habiburokhman, salah satu Wakil Ketua Umum Gerindra, termasuk yang meragukan hasil survei eksternal. Menurutnya, Gerindra hanya percaya hasil survei internal.
Nada sumbang seperti itu sudah kerap mengemuka. Hasil survei dinilai untuk menggiring opini publik baik dalam arti positif maupun negatif.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Biarkan RRI Jadi Media Publik Sesungguhnya
Kesan seperti itu tentu berbahaya bagi eksistensi lembaga survei. Sebab, hubungan lembaga survei dengan pengguna dan masyarakat didasarkan pada kepercayaan.
Kalau kepercayaan pengguna dan masyarakat sudah hilang, akan hilang pula eksistensi lembaga survei tersebut. Setidaknya lembaga survei itu akan hidup segan mati tak mau.
Hal itu tentu tak perlu terjadi bila semua lembaga survei tetap taat asas dengan prosedur survei. Untuk itu, objektifitas harusnya tetap dijadikan etos kerja dan harga mati bagi semua lembaga survei di tanah air.
Penulis buku:
1. Riset Kehumasan
2. Tipologi Pesan Persuasif
3. Perang Bush Memburu Osama
Mengajar:
1. Metode Penelitian Komunikasi
2. Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP 1996 – 1999.
Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik Universitad Esa Unggul.
Beritaneka.com—Dunia akademik di Indonesia dikejutkan dengan rencana Universitas Pertahanan (Unhan) akan menganugrahkan jabatan akademiki profesor kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada hari ini, Jumat (11/6/2021).
Terkejut karena para akademisi untuk memperoleh jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi itu memerlukan proses panjang dan berliku. Pendidikannya juga harus lulusan S3 (doktor)
Untuk Profesor Madya saja, akademisi harus memiliki kumulatif angka kredit (KUM) 850. Sementara untuk Profesor penuh diperlukan KUM 1000.
Baca juga: Reformasi Dipersimpangan Jalan
KUM tersebut dikumpulkan akademisi dari unsur pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan unsur pendukung seperti mengikuti seminar ilmiah.
Bahkan akademisi harus menulis artikel yang dimuat di Scopus. Hingga saat ini banyak akademisi belum memperoleh jabatan profesor karena terganjal pada pemuatan artikel di Scopus.
Karena itu, para akademisi merasa tidak adil bila ada seseorang yang terkesan begitu mudahnya memperoleh jabatan profesor. Moral akademisi bisa-bisa melorot melihat realitas tersebut.
Apalagi kesan politis begitu kental dari pemberian jabatan profesor tersebut. Para akademisi semakin kecewa karena melihat secara vulgar aspek akademis sudah berbaur dengan sisi politis.
Karena itu, Menteri Pendidikan seyogyanya menertibkan pemberian jabatan profesor. Sudah saatnya aspek politis dipisahkan secara tegas dengan aspek akademis dalam pemberian profesor.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Blunder Jokowi Berulang
Untuk itu, sudah saatnya menteri pendidikan tidak lagi terlibat dalam pemberian jabatan profesor. Sebab, menteri sebagai jabatan politis tidak selayaknya terlibat dalam pemberian jabatan akademis.
Pemberian jabatan profesor sudah saatnya diberikan kewenangan sepenuhnya kepada setiap perguruan tinggi. Bahkan di Jerman, pemberian jabatan profesor menjadi kewenangan fakultas. Dengan begitu, kemurnian akademis akan lebih kental dalan penetapan profesor.
M. Jamiluddin Ritonga. mengajar:
1. Metode Penelitian Komunikasi
2. Riset Kehumasan
Menulis buku:
1. Perang Bush Memburu Osama
2. Tipologi Pesan Persuasif
3. Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999.
Beritaneka.com—Partai Amanat Nasional (PAN) akan mengusung Soetrisno Bachir (SB) sebagai calon presiden pada pilpres 2024. Menurut M. Jamiluddin Ritonga, pakar komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, keinginan PAN mengusung kader seniornya itu wajar saja. Sebagai partai politik sudah seharusnya menyodorkan kader terbaiknya untuk maju pada pilpres 2024.
“Hanya saja, melihat hasil survei selama ini, nama Soetrisno Bachir belum muncul ke permukaan. Popularitas dan elektabilitasnya belum terlihat. Elektabilitas PAN juga masih rendah. Hasil survei Puspoll, misalnya, elektabilitas PAN hanya 1,8 persen. Hasil Pileg (Pemilihan Umum Legislatif) 2019 suara PAN juga relatif kecil. Suaranya hanya 6,84 persen atau setara 44 kursi,” kata Jamiluddin Ritonga, mantan Dekan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta 1996-1999.
Baca Juga: Empat Langkah Strategis Kuasai Pasar Halal Dunia, Cek!
Namun, situasi dan kondisi perpolitikan bisa saja berubah dalam beberapa tahun ke depan bagi PAN dan capres yang akan diusungnya. Kalangan politisi sudah mengenal SB sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah PAN itu sendiri. Tetapi, masyarakat luas masih banyak yang belum mengenalnya.
Oleh karena itu, PAN dan Soetrisno Bachir yang berniat nyapres harus bekerja cerdas dan keras dari sekarang. Ini membutuhkan strategi komunikasi yang matang, terstruktur, dan massif untuk meningkatkan popularitas dan tentunya elektabilitas SB menjelang waktu pilpres yang tinggal beberapa tahun ke depan ini.
“Tidak ada cara lain. Satu-satunya cara hanya meningkatkan elektabilitasnya. Hanya modal elektabilitas yang tinggi maka partai lain mau meliriknya dan berkoalisi dengan PAN mengusung SB (Soetrisno Bachir),” kata Jamiluddin Ritonga penulis buku Tipologi Pesan Persuasif dan Riset Kehumasan ini. Sebab, lobi-lobi politik tidak berguna bila elektabilitas masih rendah.
Sebelumnya dalam pemberitaan media ini, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan menyatakan akan mencalonkan kadernya sendiri untuk maju dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden atau Pilpres 2024.
Hal ini disampaikan politisi yang akrab disapa Zulhas itu saat acara halalbihalal dengan kader PAN di Ruang Pustakaloka Gedung Nusantara IV Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, belum lama ini. “Pak Soetrisno Bachir calon presiden kita,” kata Zulhas dalam sambutan acara tersebut.
Baca Juga: PAN Sebut Soetrisno Bachir Jadi Capres 2024
Pernyataannya ini disaksikan tokoh senior PAN, Hatta Rajasa hingga kader-kader PAN di tingkat pusat maupun seluruh daerah, dalam silaturahmi acara tersebut baik secara online maupun offline.
Wakil Ketua MPR RI ini mengatakan, pihaknya mengangkat nama Ketua Dewan Kehormatan PAN tersebut, karena ingin menegaskan bahwa PAN tidak mencari tokoh lain di luar partai untuk dapat diusung menjadi calon presiden 2024 mendatang.
“Soetrisno Bachir salah satu kader kita yang terbaik. Kami akan mengusung kader kami sendiri, banyak kader kami (yang dapat dimajukan namanya),” kata Zulhas. Menurut Zulhas, PAN siap untuk berkoalisi dengan partai lain dalam Pilpres 2024.
Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul
Beritaneka.com—Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa menumbangkan Orde Baru yang dipimpin Soeharto pada 21 Mei 1998. Rezim ini dinilai ororiter, korup dan nepotisme.
Karena itu, mahasiswa menuntut dilakukan reformasi politik dan hukum serta melenyapkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Reformasi belakangan ini tampaknya sudah bergeser dari tujuan awal. Demokratisasi di semua bidang kehidupan secara perlahan sudah mulai meredup. Masyarakat sudah mulai takut menyatakan pendapatnya secara terbuka baik di media massa maupun di media sosial.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Biarkan RRI Jadi Media Publik Sesungguhnya
Hal itu juga ditunjukkan dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) yang bertajuk Indeks Demokrasi 2020. Dalam rilisnya disebutkan, indeks demokrasi Indonesia menduduki peringkat ke-64 dengan skor 6.3. Hasil ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun.
Hasil tersebut mengindikasikan demokrasi di Indonesia terus menurun. Hal ini tentu tidak sejalan dengan cita-cita reformasi yang menginginkan demokratisasi di semua bidang kehidupan.
Di bidang hukum juga masih dirasakan tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Praktek hukum seperti ini secara substansi tidak jauh berbeda dengan hukum di era Orde Baru.
Paling memprihatinkan, anak kandung reformasi, KPK makin melorot taringnya dalam memberantas korupsi. Bahkan KPK sebelumnya dikenal galak mengawasi para koruptor, belakangan ini orang-orang di KPK justeru harus diawasi agar tidak korupsi.
Semua itu terjadi karena adanya upaya pelemahan KPK. Revisi UU KPK dinilai menjadi titik awal melemahnya KPK. Bahkan kisruh 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) juga kelanjutan dari hasil revisi UU KPK.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Blunder Jokowi Berulang
Jadi, upaya pelenyapan praktek KKN, khususnya korupsi, menjadi anti klimas. Dengan lemahnya KPK, maka sulit berharap korupsi dapat diminimalkan di negeri tercinta.
Jadi, cita-cita reformasi makin jauh perwujudannya. Demokratisasi di semua bidang kehidupan dan melenyapkan KKN terkesan sudah diabaikan.
Reformasi hanya indah di atas kertas. Itulah realitas kekinian yang memiluhkan. Ada rasa berdosa telah abai atas perjuangan mahasiswa.
M. Jamiluddin Ritonga merupakan:
Penulis buku:
1. Perang Bush Memburu Osama
2. Tipologi Pesan Persuasif
3. Riset Kehumasan
Mengajar:
1. Isu dan Krisis Manajemen
2. Metode Penelitian Komunikasi
3. Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999
Beritaneka.com—RRI dinilai sudah menjadi corong PKS dan FPI. Penilaian itu konon didasarkan hasil kajian dan media monitoring terhadap pemberitaan RRI.
Disebutkan, RRI lebih banyak memuat berita terkait PKS daripada fraksi lainnya. RRI juga banyak menyiarkan berita yang berisi berbagai komentar dari masyarakat atas pembubaran FPI.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Jauhkan Vaksin dari Kepentingan Politik
Temuan itu seyogyanya tidak serta merta dijadikan dasar untuk menghakimi RRI. Untuk menyimpulkan RRI sebagai corong PKS dan FPI tentulah tidak cukup hanya mengacu pada jumlah berita yang disiarkan.
Frekuensi berita PKS dan FPI yang tinggi, bisa saja karena pada periode tersebut banyak peristiwa dari dua lembaga itu yang memiliki nilai berita tinggi. Karen itu, wajar saja kalau RRI banyak menyiarkan PKS dan FPI.
Sebagai media massa, RRI juga harus memperhatikan kaidah berita. Nilai berita, objektifitas, netralitas, dan berita seimbang (balance news) haruslah tetap menjadi acuan bagi RRI dalam mebuat berita.
Jadi, frekuensi pemberitaan yang tinggi tidak serta merta RRI langsung divonis sudah menjadi corong PKS dan FPI. Perlu dilihat lebih jauh, apakah arah pemberitaannya positif, netral, atau negatif terhadap PKS dan FPI ?
Sebagai media publik, RRI memang harus mengayomi semua elemen masyarakat. RRI harus mampu menjembatani semua elemen masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya.
Aspirasinya bisa saja bernada memuji, mengeritik, atau netral. RRI yang dibiayai APBN haruslah mengakomodirnya.
Karen itu, RRI tidak boleh seperti di zaman Orba, yang jelas-jelas menjadi corong pemerintah. Isi pemberitaannya hanya yang positif untuk memuji pemerintah.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Blunder Jokowi Berulang
Paradigma itu tentu sudah tidak sesuai di era reformasi. Di era ini, media publik seperti RRI, tidak diharamkan menyampaikan pemberitaan yang bernada kritik. Hal ini yang harusnya disadari pengelola RRI, pengambil kebijakan, dan pengamat.
Hal seperti itu umum dilakukan media publik di berbagai negara. BBC di Inggris, VOA di Amerika, dan ABC di Australia, merupakan media publik yang kerap mengeritik pemerintahnya.
Jadi, janganlah karena RRI memuat banyak memuat PKS dan FPI pada periode tertentu, lantas disimpulkan sudah menjadi corong dua lembaga tersebut. Berpikir seperti ini sangat bias dan menyesatkan.
Biarkan RRI menjadi media publik yang sesungguhnya dengan tetap taat pada kaidah berita. Hanya dengan begitu RRI dapat menjelma menjadi media yang netral dan independen untuk melayani semua elemen masyarakat Indonesia.
M. Jamiluddin Ritonga pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul.
Penulis buku:
- Perang Bush Memburu Osama
- Tipologi Pesan Persuasif
- Riset Kehumasan
Mengajar:
- Isu dan Krisis Manajemen
- Metode Penelitian Komunikasi
- Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999
Beritaneka.com—Kunjungan Gubernur DKI Jakarta, Anies Bawesdan, ke Jawa Tengah dan Jawa Timur ditafsirkan banyak makna. Ada yang melihat hanya makna tersurat, tapi lebih banyak lagi dari tersiratnya.
Secara tersurat, kunjungan Anies itu hanya untuk mengamankan pangan warga Jakarta dan keinginan menyejahterakan petani. Hal itu diungkapkan Anies secara tegas saat di Cilacap dan Ngawi.
“Namun demikian, secara tersirat kunjungan Anies ke dua provinsi itu juga dapat dimaknai dalam konteks politis. Sebab, saat singgah di Sragen, bos beras di wilayah tersebut dengan tegas mendukung Anies Baswedan pada Pilpres 2024,” ujar M. Jamiluddin Ritonga, pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Reshuffle Kabinet, Semua Wakil Menteri Ditiadakan
Menurut penulis buku Perang Bush Memburu Osama, hal itu juga diperkuat dengan kunjungan Anies ke Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo untuk sowan kepada ulama. Anies juga menginap di Kota Madiun dan bertemu wali kotanya, selain juga bertemu Gubernur Jawa Timur Chofifah Indar Parawansa.
Lebih jauh, Jamil yang juga pengajar metode penelitian komunikasi menegaskan, rangkaian pertemuan itu, memang bernuansa politis. Kepada ulama, Anies berupaya mendekatkan diri dengan datang langsung ke Pondok Modern Gontor. Dukungan ulama ini sangat diperlukannya agar nantinya Jawa Timur dapat menjadi lumbung suaranya.
“Dukungan juga diharapkan dari Ngawi dan Madiun, yang dikenal basis merah. Kalau basis merah juga mendukungnya, maka Jawa Timur sebagai suara terbesar kedua secara nasional dapat dikuasai Anies,” ungkap Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999 ini.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Jauhkan Vaksin dari Kepentingan Politik
Hal yang sama juga terlihat di Jawa Tengah yang merupakan suara terbesar ketiga secara nasional. Dengan masuk ke Cilacap dan Sragen, Anies juga berupaya untuk mendapat dukungan dari basis merah yang terbesar di Indonesia. Kalau basis merah Jawa Tengah mendukung Anies, maka peluang memenangkan suara yang selama ini dikuasai PDIP dapat diwujudkan.
Upaya menguasai suara di Jawa makin terlihat dengan rencana kunjungan serupa ke Sumedang, Jawa Barat, selesai lebaran. Jawa Barat sebagai suara terbesar secara nasional tampaknya menjadi kalkulasi Anies untuk memuluskannya pada Pilpers 2024.
“Jadi, kunjungan Anies ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan nanti usai lebaran ke Sumedang (Jabar) tentulah lebih kental politisnya daripada sekedar urusan pangan. Sebab, kalau hanya urusan pangan, cukup petinggi Pemprov. DKI Jakarta saja yang datang ke wilayah tersebut,” tegasnya.
Upaya Anies untuk mendapat dukungan dari tiga provinsi itu tentu strategi cerdas. Sebab, kalau tiga provinsi itu dikuasai, termasuk juga DKI Jakarta yang merupakan basisnya, maka peluang menang pada pilpres makin terbuka.
Apalagi kalau Anies juga mendapat dukungan dari Banten dan Yogyakarta, maka aroma menjadi presiden tinggal menunggu waktu saja.(ZS)
Beritaneka.com—Perilaku Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin, dinilai sangat tidak terpuji. Pasalnya, Azis meminta penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju untuk tidak menindaklanjuti dugaan korupsi Wali Kota Tangjungbalai M. Syahrial.
Menurut Ketua KPK, Firli Bahuri, permintaan itu disampaikan Azis kepada Stepanus di rumah dinasnya pada Oktober 2020.
Sebagai Wakil Ketua DPR RI, perilaku Azis tentu sangat tidak beretika. Ia sudah mengabaikan sumpah jabatan dan kode etik sebagai Anggota DPR RI.
Azis juga sudah berupaya berkolusi dengan penyidik KPK dengan maksud untuk menghalang-halangi penyidikan tindak koorupsi. Tindakannya ini selain sudah mempermalukan lembaga DPR RI, juga telah memandulkan fungsi pengawasan DPR RI.
Bagaimana mungkin DPR akan melakukan fungsi pengawasan kalau ia berkolusi dengan pihak yang diawasi ?
Karena itu, perbuatan Azis selain terkait etika profesi sebagai Anggota DPR RI, juga menyentuh pidana tindak korupsi. Azis, secara langsung maupun tidak langsung telah menghalang-halangi penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya.
Atas dasar itu, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) selayaknya memproses kasus Azis tersebut secepatnya. MKD dapat melihat kasus ini sebagai perbuatan tidak terpuji yang selain mempermalukan Azis sebagai Anggota DPR RI juga merusak martabat lembaga DPR RI.
Untuk itu, MKD haruslah taat azas melihat kasus pelanggaran etika yang dilakukan Azis. Hanya dengan begitu marwah DPR RI dapat dijaga.
Sementara lembaga penegak hukum juga sebaiknya memproses kasus tersebut dari sisi pidananya. Para penegak hukum juga harus taat azas melihatkan kasus Azis semata dari sisi pidana. Semoga penegak hukum tak silau dengan jabatan Azis.
M. Jamiluddin Ritonga
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul.
Penulis buku:
- Perang Bush Memburu Osama.
- Tipologi Pesan Persuasif
- Riset Kehumasan
Mengajar:
- Krisis dan Strategi Public Relations
- Metode Penelitian Komunikasi
- Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999.