Beritaneka.com—Masih kentalnya nuansa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia perlu menjadi perhatian banyak orang. Menurut Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan DPP Partai Keadilan Sejahtera, Farouk Abdullah Alwyni, KKN di era Presiden Joko Widodo harus diawasi dengan mata terbuka dan kesadaran yang awas.
Farouk mengatakan, harusnya cita-cita reformasi bebas KKN bisa jadi kenyataan jika tata kelola pemerintahan dapat dijalankan dengan prinsip good governance. Kenyataannya, selang 24 tahun umur reformasi, nyaris tak ada indikator menunjukkan tanda kemajuan.
“Terutama dalam 5 tahun terakhir, semua indikator memperlihatkan betapa KKN masih belum selesai.Tingkat korupsi memburuk, keadilan sosial memburuk, penegakkan hukum memburuk, dan pemerintah seperti tidak melakukan apa-apa,” kata Farouk Alwyni.
Baca juga: Garuda Indonesia Sulit Bangkit, Farouk: Pemerintah harus Tanggungjawab
Pada titik ini, Farouk menyebut, penting untuk menyadari bahwa KKN merupakan salah satu faktor non-ekonomiyang berdampak besar terhadap ekonomi (non-economic factors affecting economy).
Bukan hanya itu, KKN di Indonesia bahkan juga menjadi perhatian dunia, sebagaimanabisa ditelisik dalam dokumen World Justice Report 2021.
Dalam dokumenini, Indonesia berada di peringkat 68 dari 139 negara dalam hal penegakkan hukum dengan skor total 0,52 poin. Skor ini nyaris tidak berubah sejak tahun 2015.
Secara implisit, menurut Farouk, dokumen World Justice Report menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih mengandung masalah kesetaraan. Belum semua orang Indonesia sama di hadapan hukum. Sebagian kecilmenikmati previlese.Sebagian besar mendapat diskriminasi.Hukum cenderung lebih lembut kepada mereka yang dekat kekuasaan dankeras kepada yang jauh.
“Selain soal penegakkan hukum, secara lebih rinci dokumen ini jugamemperlihatkan kita masih bermasalah dengan isu-isu di antaranya abuse of power, korupsi, transparansi, kebebasan sipil,kriminalitas, keamanan, serta hak-hak fundamental warga negara.Di hampir semua isu tersebut, Indonesia punya skor di bawah rata-rata global,” kata Farouk.
Baca juga: Perlu Kebijakan Realistis, Farouk: Sertifikat Vaksin Persulit Pemulihan Ekonomi
Di dokumen ini pula, korupsi menjadi isu yang paling membuat nama Indonesia buruk di mata dunia. Indonesia hanya mencatatkan skor 0,40 poin.Padahal, rata-rata global berada di angka 0,52 poin.
“Kenapa soal korupsi skor Indonesia jeblok, laporan ini menyebut salah satu penyebabnyaadalah masih maraknya rantingeksekutif pemerintahan yang memanfaatkan fasilitas negara guna memenuhi kepentingan sendiri,” jelas Farouk.
Menurutnya,hal itu diperparah praktik penegakkan hukum yang masih tebang pilih. Praktis, ketika lingkaran penguasa menyalahgunakan wewenangnya,nyaris tidak ada hukum yang mampu menyentuh mereka.
“Baru-baru ini, misalnya, kita dikejutkan dengan laporan masyarakat tentang dua anak presiden yang diduga terlibat tindak pidana korupsi dan atau pencucian uang (TPPU). Kita juga mendengar dugaan abuse of power lain seperti keterlibatan Luhut Binsar Panjaitan dalam bisnis PCR, maupun orang-orang lain yang berada di lingkaran kekuasaan,” kata Farouk Alwyni.
Baca juga: Kasus Covid-19 Meledak, Farouk Abdullah: Refleksi Kesalahan Paradigma Pembangunan Negara
Belum ada perkembangan signifikan dari laporan-laporan tersebut. Padahal, kata Farouk, sudah ada bukti permulaan yang bisa ditelusuri sisik-meliknya.
“Benarkah orang-orang yang dilaporkan ini melakukanrent seeking economyguna memenuhi kepentingan pribadi. Di sinilahKPK dan Kepolisian perlu mendudukkan mereka atas nama hukum.Mereka harus diperiksa. Hanya dengan cara inilah semua pertanyaan kita bisa mendapat titik terang,” kata Farouk.
Menurut Farouk, pelaporan para petinggi dan orang dekat Presiden yang dilakukan oleh masyarakat sipil ini harusnya jadi momentum untuk menyadarkan kembali kepada cita-cita reformasi yang bersih dari KKN.
Laporan itu sekaligus juga perlu disikapi sebagai cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia punya keinginan untuk menjadinegara yang bersih, minim korupsi, dan punya aturan hukum yang tidak tebang pilih.
Untuk itulah, menurut Farouk, Kepolisian dan KPK perlu bekerja profesional.Mereka perlu membuktikan marwahnya sebagai lembaga negara yang memberi justice for all.
“Jika justice for all bisa tercapai, akan lebih mudah memikirkan bagaimana membangun sistem ekonomi yang bisa memberikan kesempatan untuk semua, opportunity for all,” kata Farouk.
Sistem ekonomi yang baik, menurut Farouk, adalah sistem yang dibangun seinklusif mungkin dan bukan sekadar menguntungkan elite politik.
“Pilihan ada di tangan kita, apakah tetap ingin menjadi negara terbelakang dengan bad governance dan unequal opportunity, atau ingin menjadi negara maju dengan good governance dan equal opportunity,’ tegas mantan praktisi keuangan internasional ini. Jika hukum tidak tegak dan ekonomi terpuruk, rakyat akan merasakan bahwa kita akan butuh reformasi jilid 2 to save Indonesia,” pungkas Farouk.
Oleh: M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul
Beritaneka.com—Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa menumbangkan Orde Baru yang dipimpin Soeharto pada 21 Mei 1998. Rezim ini dinilai ororiter, korup dan nepotisme.
Karena itu, mahasiswa menuntut dilakukan reformasi politik dan hukum serta melenyapkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Reformasi belakangan ini tampaknya sudah bergeser dari tujuan awal. Demokratisasi di semua bidang kehidupan secara perlahan sudah mulai meredup. Masyarakat sudah mulai takut menyatakan pendapatnya secara terbuka baik di media massa maupun di media sosial.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Biarkan RRI Jadi Media Publik Sesungguhnya
Hal itu juga ditunjukkan dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) yang bertajuk Indeks Demokrasi 2020. Dalam rilisnya disebutkan, indeks demokrasi Indonesia menduduki peringkat ke-64 dengan skor 6.3. Hasil ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun.
Hasil tersebut mengindikasikan demokrasi di Indonesia terus menurun. Hal ini tentu tidak sejalan dengan cita-cita reformasi yang menginginkan demokratisasi di semua bidang kehidupan.
Di bidang hukum juga masih dirasakan tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Praktek hukum seperti ini secara substansi tidak jauh berbeda dengan hukum di era Orde Baru.
Paling memprihatinkan, anak kandung reformasi, KPK makin melorot taringnya dalam memberantas korupsi. Bahkan KPK sebelumnya dikenal galak mengawasi para koruptor, belakangan ini orang-orang di KPK justeru harus diawasi agar tidak korupsi.
Semua itu terjadi karena adanya upaya pelemahan KPK. Revisi UU KPK dinilai menjadi titik awal melemahnya KPK. Bahkan kisruh 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) juga kelanjutan dari hasil revisi UU KPK.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Blunder Jokowi Berulang
Jadi, upaya pelenyapan praktek KKN, khususnya korupsi, menjadi anti klimas. Dengan lemahnya KPK, maka sulit berharap korupsi dapat diminimalkan di negeri tercinta.
Jadi, cita-cita reformasi makin jauh perwujudannya. Demokratisasi di semua bidang kehidupan dan melenyapkan KKN terkesan sudah diabaikan.
Reformasi hanya indah di atas kertas. Itulah realitas kekinian yang memiluhkan. Ada rasa berdosa telah abai atas perjuangan mahasiswa.
M. Jamiluddin Ritonga merupakan:
Penulis buku:
1. Perang Bush Memburu Osama
2. Tipologi Pesan Persuasif
3. Riset Kehumasan
Mengajar:
1. Isu dan Krisis Manajemen
2. Metode Penelitian Komunikasi
3. Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999