Beritaneka.com—Untuk meningkatkan kesejahteraan umat, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) meresmikan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) BAZNAS PT Bank Syariah Indonesia (BSI).
Peresmian UPZ Bank Syariah Indonesia merupakan salah satu upaya untuk memaksimalkan potensi zakat, infak, dan sedekah (ZIS) di lingkungan Bank Syariah Indonesia.
Peresmian itu ditandai dengan pemberian Surat Keputusan Pembentukan UPZ Bank Syariah Indonesia No 2 Tahun 2021, serta telah sesuai dengan UU No. 23 tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat dan Peraturan BAZNAS No 2 tahun 2016 Tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat.
Baca juga: BAZNAS Ajak Lembaga Zakat Sedunia Bantu Perjuangan Rakyat Palestina
Surat Keputusan tersebut diserahkan langsung oleh Ketua BAZNAS RI Prof. Dr. K.H. Noor Achmad, M.A kepada Direktur Utama Bank Syariah Indonesia Hery Gunardi di Wisma Mandiri, Jakarta, Kamis (20/05).
Prof Noor mengatakan pihaknya menyambut baik peresmian UPZ BAZNAS Bank Syariah Indonesia.
“Hal ini merupakan wujud dukungan yang diberikan Bank Syariah Indonesia dalam memaksimalkan potensi besar ZIS di Indonesia.”
Menurut Prof Noor, pendirian UPZ, selain semangatnya untuk menghimpun juga menyalurkan dengan fokus utama memberi manfaat sebesar-besarnya bagi mustahik.
“Pembentukan UPZ BAZNAS Bank Syariah Indonesia juga merupakan bentuk kepedulian terhadap kesejahteraan umat. Semoga kolaborasi kedua lembaga ini dapat merealisasikan potensi zakat muslim di Indonesia yang diperkirakan sebesar Rp300 triliun,” ujar Prof Noor.
Baca juga: Dukung Netralitas dalam Pemilu, BAZNAS Perpanjang Kerjasama dengan Bawaslu
Prof Noor berharap, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengelolaan zakat yang lebih baik dan mendorong ke arah penerima manfaat yang lebih banyak, serta membumikan budaya gotong-royong di kalangan umat Islam.
Selain itu, menjadi spirit untuk bersama-sama membangkitkan Gerakan Cinta Zakat di seluruh Indonesia.
”Semoga Allah SWT selalu memudahkan langkah kita ini dan melindungi kita semua.”
Sementara itu, Direktur Utama Bank Syariah Indonesia, Hery Gunardi mengatakan terbentuknya UPZ ini sebagai bentuk komitmen Bank Syariah Indonesia dalam mengoptimalkan potensi zakat juga mendukung pembangunan ekonomi nasional.
“Hal ini juga sebagai komitmen Bank Syariah Indonesia membantu saudara-saudara muslim di tanah air yang mengalami kesulitan di tengah pandemi Covid-19 dan mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh,” ujar Hery.
Hery menambahkan, kerja sama BAZNAS dan BSI ini diharapkan dapat membumikan Gerakan Cinta Zakat secara nasional dengan memberikan kemudahan akses bagi masyarakat dalam membayar zakatnya.
Berdasarkan data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), per 2020 lalu total dana Ziswaf yang terkumpul diperkirakan mencapai Rp 12,5 triliun, tumbuh dari tahun 2019 yang sebesar Rp 10,6 triliun. Tahun ini, jumlahnya diestimasi bisa naik hingga Rp 19,77 triliun. Meski pengumpulannya terus meningkat setiap tahun, namun jumlah Ziswaf yang terakumulasi itu belum seberapa dibanding potensinya yang mencapai Rp 327,6 triliun.
Turut hadir dan menyaksikan dalam penyerahan SK UPZ BAZNAS BSI, Wakil Ketua BAZNAS, Mo Mahdum, Pimpinan BAZNAS, Saidah Sakwan, MA, Rizaludin Kurniawan, M.Si, Wadirut 1 BSI, Ngatari, Direktur Compliance & Human Capital BSI, Tribuana Tunggadewi dan Kepala Tim Pengumpulan Zakat BUMN, Mohan.(ZS)
Beritaneka.com—Jumlah pemeluk Islam di Indonesia adalah 87,2% dari populasi. Angka ini memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan sektor keuangan dan ekonomi syariah yang dapat berkontribusi dalam keuangan inklusif.
“Potensi keuangan syariah di Indonesia sangat besar. Ini terlihat dari perkembangan indeks inklusi keuangan yang meningkat didukung dengan total aset keuangan syariah. Selain itu, juga didukung penyaluran KUR Syariah dan jumlah debitur syariah yang terus meningkat,” kata Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso seperti kami kutip dari laman Kemenko Perekonomian hari ini.
Beberapa peluang sebagai penghubung (enabler) pengembangan keuangan syariah antara lain pertumbuhan keuangan sosial melalui zakat dan wakaf, tokenisasi sukuk, digitalisasi dan pengembangan Islamic Fintech, regulasi keuangan syariah dan investasi Berdampak (ESG).
Baca Juga: Cegah Covid-19 Memburuk, Menteri Johnny: Patuhi Protokol Kesehatan dan Tidak Mudik
Saat ini, Indonesia telah naik ke peringkat 4 dari peringkat 5 dunia untuk pengembangan keuangan syariah setelah Malaysia, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Sementara, aset keuangan syariah di Indonesia menempati peringkat 7 dunia dengan total aset sebesar USD99 miliar.
Untuk mendukung ekosistem ekonomi dan keuangan syariah, diperlukan integrasi setiap elemen pendukung ekonomi syariah termasuk koordinasi para pemangku kebijakan, dukungan regulasi dan insentif pemerintah untuk mengembangkan industri halal.
Pengembangan usaha syariah untuk memperkuat kapasitas pelaku UMKM juga diperlukan dukungan kebijakan afirmatif dan integrasi program.
Banyaknya jumlah pondok pesantren (ponpes) di Indonesia juga menjadi potensi ekonomi yang besar. Berdasarkan data Kementerian Agama, jumlah ponpes di Indonesia pada 2020 berjumlah 28.194 dengan 44,2% di antaranya berpotensi ekonomi.
Baca Juga: Pelaku Perjalanan Wajib Punya SIKM Keluar Masuk Jabar 6-17 Mei 2021
“Dengan jumlah ponpes tersebut dapat menjadi motor penggerak ekonomi kerakyatan, ekonomi syariah, dan UMKM halal Indonesia,” kata Susiwijono.
Sementara itu, Ketua Kombid Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Rezza Artha mengungkapkan Indonesia menghadapi tantangan rendahnya literasi Ekonomi Syariah.
Menurut Rezza, literasi yang rendah menghasilkan prasangka buruk. “Prasangka ini seperti bank syariah itu Islamisasi. Ya memang benar dasar transaksi di perbankan syariah itu ajaran Islam. Akan tetapi ajaran Islam dalam hal muamalah (transaksi manusia dengan manusia) itu dapat diterapkan secara universal,” kata Rezza kepada Beritaneka.
Dia mencontohkan, jual beli, kerja sama investasi, dan sewa menyewa. “Apakah ketiga hal tersebut hanya bisa dilakukan jika dan hanya jika anda orang Muslim? Tentu tidak. Ketiga transaksi tersebut bisa dilakukan oleh semua umat manusia tanpa batas batas apapun,” kata Rezza.
Baca Juga: Toyota Raize Meluncur, Pilihan Baru Segmen SUV
Hal tersebut, sambung Rezza, menjadi tantangan terbesar para pelaku ekonomi syariah, terutama MES, sebagai asosiasi terbesar pemangku kepentingan perekonomian syariah di Indonesia.
Jangan sampai rendahnya literasi ini menjadi fireback terhadap usaha usaha baik yang sedang kita jalankan bersama demi perekonomian nasional yang semakin mantap melewati middle income trap yang terus mengancam.
Oleh Rezza Artha
Ketua Kombid Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah (MES)
Beritaneka.com—Pemerintah mendorong pertumbuhan perekonomian syariah sebagai alternatif baru yang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, tingkat pemahaman masyarakat akan konsep ekonomi syariah ini masih amat minim.
Apa eksesnya? Ya banyak, dan buruk..
Pertama, yang jelas literasi yang rendah melahirkan pemikiran yang salah. Banyak orang berpikir sistem bank syariah misalnya itu “pinjam 1.000 kembali 1.000”. Ini dobel-dobel salahnya dan membikin banyak orang tersesat.
Baca Juga: MES DKI Jakarta Dukung Pengembangan UMKM Berbasis Syariah
Memahaminya harus komprehensif. Harus utuh. Pertama, memang benar dalam aturan syariah jika pinjam 1.000 kembali 1.000, nah masalahnya bank syariah tidak membuka usaha peminjaman uang. Tidak ada itu transaksi pinjam meminjam uang. Jikapun ada itu bank syariah memberi pinjaman hanya untuk membantu proses take over misalnya. Setelah itu ya skema bisnis yang berlaku.
Apakah itu:
- Jual beli (ada margin keuntungan bank dari proses jual beli).
- Kerjasama investasi (ada margin bagi hasil dari proses investasi).
- Sewa menyewa (ada margin jasa sewa dari proses sewa menyewa).
Berpikir bank syariah tidak dapat untung itu sangat tersesat, sementara berpikir bank syariah memberi pinjaman juga sangat tidak tepat (tapi bagaimana lagi, kebiasaan di sistem konvensional semua semua diskemakan pinjam uang). Nah, pinjam uang disertai tambahan itulah yang dinamai riba.
Yang kedua, literasi yang rendah menghasilkan pemikiran yang negatif. Pemikiran ini seperti: labelnya saja syariah tetap saja ada bunganya.
Menyamakan keuntungan/bagi hasil/jasa sewa dengan bunga ini amat sesat. Walhasil pemikiran tentang sistem syariah menjadi negatif (ah itu label saja, branding saja).
Yang ketiga, literasi yang rendah menghasilkan prasangka buruk. Prasangka ini seperti: bank syariah itu Islamisasi. Waduh..
Ya memang benar dasar transaksi di perbankan syariah itu ajaran Islam. Akan tetapi ajaran Islam dalam hal muamalah (transaksi manusia dgn manusia) itu dapat diterapkan secara universal.
Coba cek 3 hal ini: (1) Jual beli, (2) Kerjasama investasi, (3) Sewa menyewa.
Apakah ketiga hal tsb hanya bisa dilakukan jika dan hanya jika anda orang Muslim? Tentu tidak. Ketiga transaksi tersebut bisa dilakukan oleh semua umat manusia tanpa batas batas apapun.
Keempat, masih banyak lagi dampak dampak buruk yang dilahirkan dari literasi yang rendah dalam perekonomian syariah. Saya kira ini tantangan terbesar para pelaku ekonomi syariah, terutama MES, sebagai asosiasi terbesar pemangku kepentingan perekonomian syariah di Indonesia.
Jangan sampai rendahnya literasi ini menjadi fireback terhadap usaha usaha baik yang sedang kita jalankan bersama demi perekonomian nasional yang semakin mantap melewati middle income trap yang terus mengancam.
Ini serius middle income trap ini, dan makin susah dilewati jika bangsa kita tak fokus dan distracted dengan isu isu sesat dan tak penting. Dan jika kita tak mampu melewatinya, ya sudah terbelakang ekonominya sepanjang masa. Mau?