Oleh: Lina Marlina, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Beritaneka.com—Dunia sudah dua tahun terakhir dilanda oleh pandemi Covid-19. Hampir semua sector kehidupan kita terpukul terutama sector ekonomi akibat dari larangan berkumpul atau aturan menjaga jarak yang terus disosialisasikan oleh pemerintah. Hal ini juga memicu berbagai pihak untuk segera dapat mengatasi pandemi ini, salah satunya adalah dengan segera menemukan vaksin.
Vaksin diyakini sebagai jawaban dalam mengakhiri derita pandemic ini. Para ahli berpendapat kemajuan teknologi dan pengetahuan dapat mempercepat proses penemuan vaksin Covid-19. Di Indonesia sendiri salah satu yang berupaya melakukan penemuan vaksin tersebut adalah dilakukan oleh mantan Menteri Kesehatan, dr.Terawan Agus Purwanto dengan penemuan vaksinnya yang diberi nama Vaksin Nusantara.
Baru-baru ini public dihebohkan oleh pernyataan dr.Terawan dalam webinar yang menyatakan bahwa saat ini di seluruh dunia sedang membicarakannya, termasuk terakhir dari New York dan sebagainya, karena sudah terbit jurnal PubMed. Itu isinya adalah dendritic cell vaccine immunotherapy atauVaksin Nusantara, the begining of the end cancer and Covid-19.
Dunia sepakat punya hipotesis bahwa yang menyelesaikan hal ini termasuk Covid-19 adalah dendritic cell vaccine immunotherapy atau Vaksin Nusantara. Jurnal yang dimaksud oleh Terwan adalah Dendritic Cell Vaccine Immunotherapy: the beginning of the end of cancer and COVID-19, A hypothesis”. Jurnal itu ditulis oleh sejumlah peneliti, salah satunya adalah Amal Kamal Abdel-Aziz dari Department of Experimental Oncology, European Institute of IRCCS, Milan, Italia.
Padahal baru beberapa waktu lalu pihak pemerintah melalui BPOM, Kementerian Kesehatan dan TNI AD melakukan kesepakatan untuk menghentikan pengembangan vaksin nusantara dan menggantinya dengan nama Penelitian Sel Dendritic.
Baca juga: Cegah Penularan Covid-19 Secara Persuasif, Pemerintah Perlu Satu Suara
ApaituVaksin Nusantara?
November 2020, dr.Terawan Agus Putranto ketika masih menjabat Menteri Kesehatan. Riset pengembangan vaksin berbasis sel dendritik ini dilakukan melalui kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan dengan PT Rama Emerald Multi Sukses yang belakangan disebut sebagai Vaksin Nusantara. Vaksin Nusantara merupakan vaksin yang dikembangkan dari sel dendritik. Metode ini biasa digunakan dalam terapi kanker. Merujuk pada jurnal European Institute of Oncology disebutkan bahwa vaksin yang dibangun dari sel dendritik cukup ampuh melawan Covid-19. Sebelumnya, metode sel dendritik terbukti ampuh menangani pasien kanker melalui mekanisme imunitas anti tumornya sebagai adjuvant yaitu pendorong terbentuknya imun.
Pada konferensi virtual, Selasa (25/5/2021), Terawan mengutip literature yang menyebutkan bahwa pengaruh dari vaksin dari sel dendritik akan bertahan berpuluh tahun, dan akan awet dalam jangka panjang. Adapun, metode sel dendritik sudah dikembangkan di RSPAD Gatot Soebroto sejak 2015 untuk pengobatan kanker. Ini yang membuat dr.Terawan mengklaim bahwa Indonesia bisa menjadi negara pertama yang mengembangkan sel dendritik, vaksin imunoterapi, yang dunia sudah menyetujuinya dan menghipotesiskan untuk mengakhiri Covid-19. Terawan optimis hal ini bias dibuktikan dengan riset.
Kritik dan Penolakan
Pada April 2021 sejumlah pihak menolak bahkan meminta Terawan menghentikan pembuatan vaksin ini. Sejumlah pihak itu antara lain ilmuwan dari LIPI, guru bersar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), ilmuwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), para tokoh, perwakilan WHO. Hal ini dipicu oleh adanya penyuntikan vaksin sel dendritik kepada sejumlah orang dan melakukan uji tahap 2 padahal belum mengantongi izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Orang-orang yang diketahui telah melakukan penyuntikan adalah sejumlah tokoh nasional. Dahlan Iskan yang merupakan mantan Menteri BUMN era Pemerintahan Presiden SBY, Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Aburizal Bakrie, beberapa anggota DPR RI dan sejumlah publik figur. Meski demikian juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa penyuntikan anggota DPR merupakan rangkaian dari uji klinis kedua yang selanjutnya untuk penggunaan secara masal.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menyebut ada banyak temuan dari uji klinis yang belum dibereskan oleh tim peneliti, salah satunya produk vaksin ini dibuat dalam kondisi tidak steril. Vaksin seharusnya dibuat secara close systemya itu, mulai dari tahap pengambilan darah, pemaparan antigen virus, hingga memasukkannya kembali kedalam tubuh, darah tidak pernah keluar dari tabung. Dari hasil penelitian tersebut, BPOM menemukan adanya proses pembuatan vaksin secara manual dan open system.
Selain itu BPOM melihat antigen yang dipakai untuk membuat vaksin bukanlah pharmaceutical grade. Produsen antigen tersebut yakni Lake Pharma-USA pun tidak menjamin sterilitasnya. Sebab, sejak awal, antigen itu dibuat bukan untuk dimasukkan kedalam tubuh manusia tetapi untuk riset di laboratorium. Apalagi usai vaksin selesai dibuat, tidak pernah dilakukan uji sterilitas sebelum diberikan kepada manusia. Hal ini memicu resiko pada produk akhir vaksin nusantara yang tidak steril dan menyebabkan adanya resiko infeksi bakteri pada penerima vaksin tersebut.
Kepala BPOM juga menyatakan bahwa proses pembuatan vaksin Nusantara melompati proses yang telah disepakati. Seharusnya vaksin nusantara melalui tahapan pra klinik terlebih dahulu sebelum masuk tahap uji klinik tahap I. Tim yang memproses vaksin Nusantara menolak tahapan itu.
Baca juga: Melawan Wabah Virus Pertambangan
Negosiasi
Polemik yang terjadi antara dr.Terawan beserta tim penelitinya dengan BPOM selaku pihak pemerintah yang memiliki wewenang dalam mengawasi peredaran obat dan makanan cukup membuat riuh di tengah publik sedang berembuk melawan pandemi. Hal ini pun membuat sejumlah pihak bersuara untuk segera dapat mengakhirinya.
Di satu sisi pengembangan vaksin oleh dr.Terawan dan kawan-kawan hasrusnya diapresiasi sebagai sebuah prestasi dan inovasi dari anak bangsa yang berupaya memberikan sumbangsihnya kepada bangsa ini. Apalagi vaksin ini dianggap lebih murah, aman dan halal karena bersifat personalized. Selain itu hal ini juga dapat membantu pemerintah dalam pengadaan vaksin di dalam negeri sehingga tidak tergantung dengan pembelian vaksin konvensional serta dapat menghemat anggaran negara. Apalagi isu nasionasliasme vaksin saat ini telah mencuat.
Di sisi lain, BPOM dan sejumlah pihak masih mempertanyakan keamanan dan efektifitas vaksin tersebut yang belakangan diketahui bahwa pertama kali, Vaksin Nusantara dikembangkan oleh perusahaan farmasi asal Amerika Serikat bernama AIVITA Biomedical. Selain itu penelitian sel dendritic merupakan penelitian untuk pengembangan pengobatan kanker.
Maka itu Juru bicara Satgas, Wiku Adisasmito bahkan meminta pengembang vaksin tersebut untuk berkoordinasi dengan BPOM sehingga masalah yang terkait vaksin itu bias diselesaikan. Penyelasian masalah ini salah satunya adalah dengan melakukan negosiasi dan persuasi dari kedua belah pihak. Bagaimana pun kehadiran vaksin nusantara ini perlu menjadi perhatian khusus pemerintah dalam upaya membantu penekanan laju penyebaran virus Covid-19. Dengan adanya negosiasi diharapkan ada win-win solution bagi kedua pihak. Sebagai penggagas dan tim penelitinya, Terawan dapat melakukan penelitiannya lebih lanjut dan sebagai pihak yang berwenang dalam mengawasi obat dan makanan BPOM pun dapat meredam kekhawatiran sejumlah pihak.
Negosiasi menurut Čulo & Skendrović (2012) menyebutkan, negosiasi adalah dialog antara dua orang atau lebih yang dimaksudkan untuk mencapai pemahaman dan menyelesaikan perbedaan untuk menghasilkan kesepakatan tentang tindakan. Dengan demikian, negosiasi adalah proses tawar-menawar dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses negosiasi yang dimaksudkan untuk mengarah pada kesepakatan atau kompromi. Sedangkan menurut Kevin Barge (2009) negosiasi merupakan salah satu pendekatan untuk mengelola perbedaan atau lebih tepatnya untuk mengurangi perbedaan di antara ketidakcocokan dan berakhir dengan sebuah kesepakatan.
Sejumlah Pihak Bertemu
Senin (19/4/2021), Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito, dan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin bertemu. Disaksikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Muhajir Effendy, ketiganya menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) terkait penelitian berbasis pelayanan sel dendritik.
Menurut MoU itu, penelitian berbasis pelayanan sel dendritik itu dilakukan untuk meningkatkan imunitas terhadap Virus SARS-CoV-2. Selain mempedomani kaidah penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, penelitian ini juga bersifat autologus. Artinya, penelitian hanya dipergunakan untuk diri pasien sendiri sehingga tidak dapat dikomersialkan dan tidak diperlukan persetujuan izin edar. Ini berarti tidak ada izin edar dari BPOM.
BPOM juga menyatakan bahwa MoU ini bukan kelanjutan dari uji klinis adaptif tahap 1 (satu). Dimana uji klinis tahap 1 yang sering disebut berbagai kalangan sebagai program Vaksin Nusantara ini masih harus merespons beberapa temuan BPOM yang bersifat critical dan major. MOU ini jika dilihat dari tahapan negosiasi merupakan tahapan penutupan dan implementasi.
Poin-poin dan penjelaskan penjelasan MOU tersebut merepleksikan kesepakatan dengan pendekatan BATNA (Best Alternative to a Negotiated Agreement), dimana dr.Terawan tetap dapat melakukan riset dan vasinasi namun tidak untuk diedarkan dan dikomersilkan.
Menko PMK menegaskan bahwa dengan MoU tersebut intinya pengalihan program penelitian yang semula berada dalam platform penelitian vaksin yang berada di bawah pengawasan BPOM kepenelitian berbasis pelayanan yang dipusatkan di RSPAD Gatot Soebroto. Dengan demikian polemic vaksin nusantara dianggap selesai.
Dengan demikian apa yang menjadi kekhawatiran sejumlah pihak dapat diredam, dan satusisi penelitian yang merupakan sebuah inovasi dan alternative dalam membantu herdimmunity masyarakat terhadap serangan virus sudah sepantasnya diapresiasi agar inovasi dan kreativitas ini terus berjalan serta menunjukkan adanya keberpihakan negara terhadap anak bangsa.
Beritaneka.com—Ada banyak tantangan untuk mendapatkan tanaman yang tinggi produktivitas dan berkualitas. Salah satunya adalah pengendalian virus. Virus pada tanaman memiliki kemampuan untuk memperbanyak diri dengan cepat dan mudah menyesuaikan dengan lingkungan sehingga penyebarannya dapat terus meluas.
Demikian disampaikan ahli virus tanaman IPB, Prof Sri Hendrastuti Hidayat. “Tantangan pengembangan metode deteksi virus tumbuhan di antaranya yaitu sensitivity (sensitifitas), specificity (spesifikasi), dan early detection (deteksi cepat). Upaya deteksi cepat dapat menggunakan metode hyperspectral dan Thermal Imaging Methods. Yakni memanfaatkan perubahan warna dan suhu tanaman sebagai indikator tanaman sakit atau tidak,” ujar Kepala Divisi Penyakit Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman Faperta, IPB University ini.
Baca juga: Ice Cream Ramah Lingkungan Kreasi Mahasiswa IPB
Masa depan deteksi virus di Indonesia tentu menjadi pertanyaan, hal ini kemudian dibahas oleh Sari Nurulita, Dosen IPB University dari Departemen Protesi Tanaman, Fakultas Pertanian. Sari menjelaskan dua metode deteksi umum yaitu menggunakan real time Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Lamp-PCR.
”Mengembangkan teknik deteksi virus pada tanaman membutuhkan kolaborasi antara industri dan petani, universitas, pusat penelitian serta karantina tanaman.”
Deteksi adanya virus pada tanaman dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung, serologi/molekuler, dan sensor cahaya/citra. Ketiganya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Pada pengamatan langsung dapat dilakukan dengan mudah dan praktis, namun tidak spesifik dan berpeluang besar adanya keterbatasan visual pengamat. Pengamatan molekuler, memiliki keunggulan yang spesifik dan akurat, namun terdapat keterbatasan sebab fasilitas laboratorium yang kurang lengkap dan biaya yang tinggi.
“Adapun untuk deteksi sensor cahaya memiliki keunggulan yaitu mudah dan praktis untuk dilakukan dan dapat menguji jumlah sampel yang lebih banyak. Namun kelemahannya adalah tidak spesifik serta membutuhkan Sumberdaya Manusia (SDM) yang memiliki kemampuan komputasi dan analsis data,” tambah Asmar Hasan, Mahasiswa Pascasarjana, IPB University.
Baca juga: Apa Hubungan Lapar dan Marah? Berikut Penjelasan Pakar IPB
Asmar Hasan memaparkan tentang cara deteksi dini gejala virus mosaik berbasis pengolahan citra termal (Termografi). Adapun tahapannya yaitu pertama dengan perekaman citra, kemudian pengolahan citra, lalu visualisasi citra berdasarkan tingkat warna. Selanjutnya adalah dengan analisis statistika data suhu.
“Saat analisis, berdasarkan pengolahan citra terdapat warna gelap dan terang. Gelap menandakan suhu yang lebih rendah dan terang menunjukkan suhu yang tinggi. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa pada daun di setiap daerahnya memiliki suhu yang berbeda-beda,” tuturnya.