Beritaneka.com—Ada hikmah di masa pandemi COVID-19. Orang tua dapat mengasuh anaknya dengan baik sehingga dapat memperkuat kelekatan emosi anak dengan orangtua.
Hal ini disampaikan Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University, Dr Tin Herawati saat membuka Bina Desa: Ngariung Carita Jilid #3, beberapa waktu lalu. Kegiatan ini digelar oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fema IPB University. Pesertanya adalah warga dari desa Cibanteng Bogor.
Baca juga: Akibat Perubahan Iklim, Pakar IPB: Negara Berkembang Butuh Pangan Dua Kali Lipat
Webinar ini menghadirkan Pakar Pengasuhan Anak dari Departemen IKK IPB University, Alfiasari, SP, MSi. Dalam kesempatan ini, Alfiasari memaparkan materi berjudul “Kelekatan Emosi dan Self-Efficacy Anak: Bagaimana Membuat Anak Yakin dengan Kemampuannya di Masa Pandemi?”
Baca juga: Mahasiswa IPB Ciptakan Cream Soup Instan dengan Kemasan Self-Heating
Menurutnya, ada banyak tantangan dalam pengasuhan anak di masa pandemi. Yakni pendampingan anak belajar dari rumah, risiko penggunaan gadget yang berlebihan, pengelolaan suasana hati orang tua dan anak, serta pengelolaan lingkungan rumah yang nyaman bagi orang tua dan anak.
“Untuk itu, penting untuk membangun self-efficacy agar anak dapat merasa yakin atas kemampuan dirinya masing-masing. Selain itu, kelekatan emosi orang tua dan anak juga penting. Diperlukan strategi untuk menguatkan kelekatan emosi dan self-efficacy anak di masa pandemi,” ujarnya.
Beritaneka.com—Data dari Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) sampai 18 Juni 2021 yang diungkap seorang senator Amerika Serikat bernama Ron Johnson, bersama pihak-pihak yang terkena efek samping vaksin Covid-19, memaparkan akibat vaksin telah menyebabkan korban meninggal 4.812 orang.
Angka itu, hampir mendekati seluruh dampak samping vaksin-vaksin lainnya yang diberlakukan sejak tanggal 1 Juli 1990 yang berjumlah 5.039 (korban efeks amping 6 bulan penerapan Vaksin Covid-19 hampir sama dengan lebih dari 31 tahun total penerapan vaksin-vaksin lainnya).
Gambaran yang kurang lebih sama juga terjadi untuk efek samping yang menyebabkan kelumpuhan permanen (4,996 orang dalam waktu 6 bulan VS 12,053 dalam waktu 31 tahun).
Baca juga: DPR Minta Pemerintah Perhatikan Ketersediaan Vaksin di Daerah Luar Jawa
Ron Johnson membandingkan bahwa efek samping vaksin flu yang menimbulkan kematian antara tanggal 1 Januari 1996 s/d 31 Maret 2021 (25 tahun lebih) adalah berjumlah 955 jauh dibawah efek samping vaksin Covid-19 yang berjumlah 4.812.
Melihat data itu, Farouk Abdullah Alwyni, Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan, Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Investasi (Ekuin) DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyoroti bahwa ditengah-tengah upaya gencar pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk menjalankan program vaksinasi Covid-19 maka sudah selayaknya jika pemerintah juga memberikan perhatian yang optimal terkait persoalan efek samping vaksin.
Farouk menambahkan bahwa paling tidak ada dua kasus berat terbaru sebagai dampak samping vaksin. Pertama kasus Trio Fauqi, pemuda yang meninggal pada tanggal 6 Mei 2021 usai divaksin Astra Zenneca, padahal dari hasil autopsi, tidak ditemukan adanya komorbid, serangan jantung atau gagal paru.
Kedua adalah kasus yang menimpa Amelia Wulandari, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala Banda Aceh yang lumpuh usai menjalan ivaksinasi Covid-19 di Akademi Keperawatan Meulaboh pada tanggal 27 Juli 2021.
“Dua kasus tersebut adalah kasus-kasus yang terungkap ke media masa, kita belum tahu lagi kasus-kasus lain yang tidak pernah terpublikasi di media massa ataupun media sosial, mungkin jauh lebih banyak lagi”, ujar Farouk.
“Satu persoalan yang perlu diperhatikan terkait program vaksinasi adalah efek samping vaksin. Dewasa ini secara internasional, pemberitaan terkait efek samping vaksin Covid-19 selalu ada, mulai dari Astra Zenneca, Sinovac, Pfizer, Moderna, dan terakhir Johnson & Johnson,” ujar Farouk Alwyni.
Belajar dari kasus di Amerika Serikat, Farouk meminta bahwa baik pemerintah pusat maupun daerah harus lebih berhati-hati dalam menjalankan program vaksinasi nasional. “Tolong jangan hanya mengejar target saja, safety first harus diprioritaskan, dan jangan melakukan pemaksaan dengan berbagai cara seperti yang terjadi saat ini,” pinta Farouk.
“Dalam rangka menjalankan program vaksinasi nasional yang lebih prudent dan bertanggung jawab, sudah seharusnya pemerintah menyiapkan dana kompensasi yang transparan untuk masyarakat yang terkena efek samping dari vaksin, khususnya untuk yang berat, baik yang memerlukan kebutuhan pengobatan berkala setelah suntikan vaksin, kelumpuhan, ataupun kematian,” ujarnya.
Baca juga: Kesehatan dan Ekonomi Penting Disinergikan, Produksi Vaksin Nasional Solusi Ledakan Covid 19
Farouk juga mengungkapkan bahwa untuk membantu meningkatkan kepercayaan public terhadap vaksinasi dan menunjukkan bahwa pemerintah bersedia menanggung risiko efek samping, negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand telah menyiapkan dana kompensasi bagi penerima vaksinasi yang menderita efek samping yang serius (termasuk meninggal).
Hal in imengingat bahwa berdasarkan survey yang ada ternyata salah satu alas an keraguan banyak anggota masyarakat terhadap program vaksinasi adalah kekhawatiran terhadap efe ksamping.
Mantan Direktur Bank Muamalat ini merincikan bahwa Singapura menganggarkan ganti rugi senilai SD 451 ribu (sekitar Rp. 4.8 milyar) bagi setiap warga yang terkena efek samping parah dari vaksin COVID-19. Malaysia mengalokasikan dana RM 500 ribu (sekitar Rp. 1.7 milyar) bagi setiap individu yang terdampak cacat permanen atau kematian dan Thailand memberikan kompensasi sebesar THB 400 ribu (sekitar Rp. 180 juta) untuk mereka yang mengalami efek samping parah termasuk kematian.
“Mekanisme kompensasi ini juga telah dibuat WHO untuk 92 negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah bawah yang didalamnya banyak terdapat negara-negara di Afrika dan Asia Tenggara termasuk Indonesia, pemerintah tinggal menjalankannya secara transparan dan tida kbirokratis,” tutup Farouk.
Beritaneka.com—Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) melalui lembaga program BAZNAS Tanggap Bencana (BTB) mendistribusikan alat pelindung diri (APD) dan vitamin untuk para penggali kubur di dua tempat pemakaman Covid-19, yaitu di TPU Rorotan Jakarta Utara dan TPU Situ Gede Kota Bogor, pada Rabu (14/7).
“Penyaluran bantuan ini bertujuan untuk menjaga kesehatan para penggali kubur di tengah meningkatnya kasus penularan Covid-19. Terlebih saat ini angka positif terus bertambah setiap harinya,” ujar Pimpinan BAZNAS yang membawahi Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan Saidah Sakwan, M.A. di Jakarta.
Baca juga: Pasien Covid-19 Meningkat, BAZNAS Dirikan Tenda Darurat
Saidah menjelaskan, APD yang diberikan terdiri dari hazmat, kaca mata safety, masker N95, sarung tangan, sepatu boots, dan multivitamin.
“Bantuan ini merupakan bagian dari delapan program darurat yang dicanangkan BAZNAS dalam upayanya menanggulangi pandemi. BAZNAS berharap para penggali kubur tetap sehat dan terlindungi dari paparan Covid-19, agar dapat terus melayani masyarakat dalam penanganan pandemi,” kata Saidah.
Guna memaksimalkan program darurat tersebut, kata Saidah, BAZNAS RI turut mengerahkan 1.465 personel response team, 12 personel pemulasaraan, 200 nakes di 7 RSB, dan 279 unit ambulans yang siap siaga kapan pun dibutuhkan.
Baca juga: Agung Cahyana, Sosok Pahlawan Tersembunyi Sekolah Cendekia BAZNAS
“Sejak awal pandemi tahun lalu, BAZNAS telah menjalankan program-program ekonomi, di antaranya Cash for Work, Paket Logistik Keluarga, Dukungan UMKM, Pemberdayaan Warteg, Zmart, ZChicken, ZCD, Paket Ramadhan Bahagia, dan lainnya yang telah berjalan. Berbagai program itu akan terus dilanjutkan. Yang terbaru, BAZNAS juga merencanakan Family Healing Kit untuk membantu masyarakat yang tengah dalam isolasi mandiri di rumah. Upaya ini merupakan langkah strategis BAZNAS untuk membantu masyarakat keluar dari krisis akibat pandemi,” jelasnya.
Dalam dua hari terakhir BAZNAS juga telah mendistribusikan berbagai kebutuhan untuk melawan Covid-19, seperti penyaluran tabung oksigen di puskesmas dan rumah sakit di Ciracas, Jakarta Timur, serta bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyalurkan 150 Paket Logistik Keluarga (PLK) bagi warga yang terkena dampak Covid-19.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Pengendalian pandemi covid-19 di Indonesia terkesan tidak serius. Tidak seperti Vietnam atau New Zealand, dan beberapa negara tetangga lainnya yang sangat sigap. Mereka langsung menutup jalur penerbangan internasional guna memutus mata rantai penularan.
Hasilnya luar biasa. Tingkat penularan dan kematian covid-19 di negara-negara tersebut terkendali dengan baik. Vietnam hanya mencatat 35 orang meninggal sepanjang 2020. Selandia Baru 25 orang. Singapore 29 orang. Sedangkan Indonesia mencatat 22.138 orang meninggal karena covid-19.
Sedangkan sepanjang 2021 hingga 10 Juli, angka kematian di Vietnam hanya bertambah 77 orang menjadi 112 orang. New Zealand bertambah 1 orang menjadi 26 orang, Singapore bertambah 7 orang menjadi 36 orang. Indonesia bertambah 43.319 orang menjadi 65.457 orang.
Baca juga: Pengelolaan Dana Haji Melanggar UU Keuangan Negara?
Angka kematian covid-19 per satu juta penduduk populasi di Indonesia juga tertinggi dibandingkan negara-negara tersebut.
Keberhasilan pengendalian covid-19 juga membawa berkah bagi pertumbuhan ekonomi. New Zealand dan Vietnam berhasil membukukan pertumbuhan ekonomi positif pada 2020. Sedangkan Indonesia yang nampaknya mengejar pertumbuhan ekonomi malah turun tajam, dari pertumbuhan plus 5,02 persen menjadi minus 2,07 persen, atau turun 7,09 persen.
Pertumbuhan ekonomi (%)
Kegagalan Indonesia dalam pemberantasan pandemi covid-19 dapat dirasakan sejak awal pandemi. Faktor ekonomi nampaknya lebih dominan dibandingkan faktor kesehatan. Lebih dominan artinya secara sadar lebih memilih ekonomi dari pada kesehatan. Meskipun secara sadar pula tahu bahwa hal ini bisa membahayakan nyawa manusia.
Sama seperti kebanyakan negara-negara lainnya, kasus (tertular) harian covid-19 di Indonesia juga naik di awal pandemi. Indonesia kemudian memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 10 April 2020, dan dihentikan 3 Juni 2020.
Selama PSBB ini, kasus harian covid-19 tidak kunjung turun. Bahkan meningkat tajam dari 218 kasus menjadi 611 kasus. Dalam kondisi seperti ini, PSBB seharusnya tidak layak dihentikan. Malah harus diperketat.
Tetapi, faktanya PSBB dihentikan. diganti dengan PSBB Transisi. Alasannya tidak jelas dan tidak bisa masuk akal. Masyarakat curiga, PSBB dihentikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020, yaitu periode Juli sampai September.
PSBB Transisi yang tidak lain adalah relaksasi aktivitas masyarakat berlaku dari 5 Juni hingga 10 September 2020. Tidak heran, selama periode mengejar pertumbuhan ekonomi ini, selama PSBB Transisi ini, kasus harian covid-19 melonjak tajam dari 615 orang menjadi 3.276 orang.
Artinya, PSBB Transisi gagal. PSBB mengejar pertumbuhan ekonomi mengakibatkan kasus tertular harian dan angka kematian covid-19 naik.
Mau tidak mau, PSBB diberlakukan lagi dari 14 September hingga 11 Oktober 2020. Kali ini dinamakan PSBB Ketat. Meskipun tidak ketat sama sekali. Terbukti, kasus harian covid -19 masih naik dari 3.505 orang menjadi 4.279.
Meskipun masih naik, PSBB Ketat dihentikan pada 11 Oktober 2020. Umurnya tidak sampai sebulan. Kenapa? Kenapa? Apakah demi mengejar pesta Pilkada serentak pada 9 Desember 2020? Demi mengejar masa kampanye ? Demi pesta yang membawa maut?
Tidak heran, selama PSBB Transisi yang longgar (12 Oktober 2020-17 Januari 2021) kasus harian covid-19 melonjak tajam dari 4.228 kasus menjadi 11.415 kasus. Angka kematian juga naik. Oleh karena itu, relaksasi PSBB ketika kasus masih tinggi merupakan kebijakan yang sangat salah.
Tapi, salah siapa? Tanggung jawab siapa? Apakah ada pihak yang bisa dimintakan tanggung jawabnya, kalau terbukti ini sebuah kesengajaan? Kesengajaan memilih ekonomi dari pada kesehatan?
PSBB Ketat terpaksa diberlakukan lagi pada 11 Januari 2021, dan kemudian dihentikan pada 22 Maret 2021. Selama periode ini kasus terinfeksi harian memang turun dari 9.602 kasus menjadi 5.841 kasus. Tetapi masih cukup tinggi, dan belum layak dihentikan. Tetapi, kenapa toh dihentikan? Sekali lagi, kenapa PSBB dihentikan sebelum waktunya?
Baca juga: PPN Multitarif Membahayakan: Menciptakan Kelas dan Strata Konsumen
Apakah kali ini untuk mengejar pertumbuhan ekonomi kuartal II (April – Juni) 2021 yang digembar-gemborkan akan tumbuh 8 persen? Apakah hanya untuk membuktikan, atau berspekulasi, ekonomi Q2/2021 dapat tumbuh 8 persen?
Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, relaksasi PSBB sebelum waktunya membuat kasus harian covid-19 melonjak tajam. Kali ini melonjak dari 5.596 kasus menjadi 28.732 kasus. Dan menempati peringkat tertinggi dunia.
Kebijakan relaksasi PSBB sebelum waktunya juga membawa maut. Jumlah kematian hingga 10 Juli 2021 mencapai 43.319 orang, yang seharusnya tidak perlu terjadi seandainya kebijakan diambil lebih mementingkan kesehatan. Dengan kata lain, tidak melonggarkan PSBB sebelum waktunya. Yang nampaknya dilakukan demi kepentingan ekonomi, di atas nyawa?
Apakah akan ada yang bertanggung jawab atas “kelalaiain” ini? Atau “kesengajaan” ini? Sengaja memilih faktor ekonomi dari pada kesehatan dalam upaya pemberantasan covid-19, yang membawa maut, yang seharusnya bisa dihindarkan?