Beritaneka.com, Jakarta—Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan komitmen pemerintah untuk terus mengawal tahapan pemilu agar berjalan dengan baik. Hal tersebut disampaikan oleh Presiden menanggapi pertanyaan mengenai putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait penundaan Pemilu.
“Saya sudah sampaikan bolak-balik komitmen pemerintah untuk tahapan pemilu ini berjalan dengan baik, penyiapan anggaran juga sudah disiapkan dengan baik,” ujar Presiden dalam keterangannya kepada awak media di Pondok Pesantren Al-Ittifaq, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (6/3/2023).
Presiden menilai putusan tersebut menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Presiden secara tegas menyampaikan bahwa pemerintah mendukung Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengajukan banding.
“Tahapan pemilu kita harapkan tetap berjalan dan memang itu sebuah kontroversi yang menimbulkan pro dan kontra, tetapi juga pemerintah mendukung KPU untuk naik banding,” tandasnya.
Sebelumnya, PN Jakarta Pusat mengeluarkan putusan pada Kamis (2/3/2023) untuk menunda pemilu berdasarkan tindak lanjut atas gugatan Partai Prima kepada KPU pada 8 Desember 2022.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Beritaneka.com—Banyak pihak yang ingin melanggar konstitusi terkait masa jabatan presiden. Mereka ingin mempertahankan Jokowi tetap berkuasa, meskipun tahu bahwa itu melanggar konstitusi.
Caranya, melalui perpanjangan masa jabatan presiden, misalnya sampai 2027, atau presiden tiga periode, artinya Jokowi diperkenankan mengikuti proses pemilihan presiden untuk ketiga kalinya.
Tetapi, semua upaya mempertahankan Jokowi sebagai presiden setelah 2024 pasti tidak sah dan melanggar konstitusi.
Pertama, pintu perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden tiga periode harus melalui MPR, karena hanya MPR yang bisa mengubah konstitusi. Hal ini hanya bisa dilakukan kalau MPR secara terang-terangan menjadi kaki-tangan otoritarian, ‘memperkosa’ demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Baca Juga:
Kesetaraan dan Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dalam hal ini, MPR akan menjadi aktor utama kudeta konstitusi, bisa dianggap subversif dan pengkhianat demokrasi dan kedaulatan rakyat, membawa Indonesia menjadi negara otoritarian dan tirani. Sehingga, kalau terjadi perubahan kekuasaan, maka mereka semua harus bertanggung-jawab secara individu.
Kedua, ada yang berpendapat, penundaan pemilu juga bisa dilaksanakan tanpa melalui MPR, tetapi melalui presiden, dengan mengeluarkan PERPPU (Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang) atau dekrit presiden, dengan alasan ada kondisi darurat, sehingga pemilu 2024 tidak dapat dilaksanakan.
Kedua manuver ini lebih fatal lagi, karena melanggar konstitusi secara terbuka dan terang-terangan.
Presiden memang bisa mengeluarkan PERPPU dalam kondisi kegentingan yang memaksa. Tetapi isi PERPPU, yang hierarkinya setara dengan undang-undang, jelas tidak boleh melanggar konstitusi.
Artinya, PERPPU dalam kondisi kegentingan apapun tidak bisa memperpanjang masa jabatan presiden, tidak bisa mengubah periode jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode.
Artinya, PERPPU tidak bisa membatalkan atau mengubah periode pemilu setiap 5 tahun, yang jatuh tempo 2024.
Kalau sampai presiden mengeluarkan PERPPU yang melanggar konstitusi, misalnya memperpanjang masa jabatan presiden, dengan cara menunda pemilu, maka presiden bisa dicap kudeta konstitusi, masuk kategori subversif?
Selain itu, tentu saja kegentingan yang memaksa dalam PERPPU harus dirinci secara jelas apa yang dimaksud dengan keadaan genting atau keadaan darurat, yang tidak bisa ditangani oleh undang-undang yang ada, sehingga presiden harus mengeluarkan PERPPU.
PERPPU juga harus disahkan oleh DPR, yang secara normal tidak akan menyetujui PERPPU yang melanggar konstitusi. Kalau sampai disahkan maka berarti DPR bersama presiden, berkomplotan?, membuat UU yang melanggar konstitusi secara terang-terangan, atau undang-undang otoritarian dan tirani. Dalam hal ini, rakyat mempunyai hak kedaulatan untuk melawan segala tindakan parlemen yang melanggar konstitusi.
Begitu juga dengan dekrit presiden, tidak boleh melanggar konstitusi sebagai hukum tertinggi di sebuah negara. Sedangkan presiden baik sebagai kepala negara (head of state) maupun kepala pemerintah (state of government) justru wajib taat konstitusi. Maka itu, dekrit presiden secara otomatis juga harus taat konstitusi: tidak boleh melanggar konstitusi.
Dengan demikian, dekrit presiden tidak bisa mengubah konstitusi: tidak bisa mengubah masa jabatan presiden atau periode jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Artinya, dekrit presiden bukan supremasi hukum yang berada di atas konstitusi. Karena presiden tidak bisa mengganti konstitusi.
Terakhir, konstitusi Indonesia tidak membolehkan presiden mengeluarkan dekrit. Artinya, dekrit presiden tidak sah sama sekali dalam hukum konstitusi Indonesia. Dalam kegentingan memaksa, presiden hanya bisa mengeluarkan PERPPU, bukan dekrit, yang keduanya pada prinsipnya identik, dan setara dengan undang-undang.
Topik ini akan dibahas dalam tulisan selanjutnya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa semua upaya untuk memperpanjang masa jabatan presiden, atau mengubah periode jabatan presiden menjadi tiga periode, akan melanggar konstitusi, atau kudeta konstitusi.
Maka itu, rakyat Indonesia, yakinlah, pemilu 2024 pasti terlaksana, dan wajib dilaksanakan.
Beritaneka.com, Jakarta —Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan pemerintah telah menyetujui usulan kenaikan honor Badan Ad hoc untuk Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan digelar serentak pada tahun 2024 mendatang.
Hal tersebut sesuai Surat Menteri Keuangan Nomor S-647/MK.02/2022 tertanggal 5 Agustus 2022 perihal Satuan Biaya Masukan Lainnya (SBML) Tahapan Pemilihan Umum dan Tahapan Pemilihan.
“Pemerintah telah menyetujui kenaikan honor bagi badan ad hoc untuk Pemilu 2024,” kata Ketua KPU, Hasyim Asy’ari dalam konferensi pers di kantor KPU, Jakarta Pusat, Senin (8/8/2022).
Sementara itu, anggota KPU, Yulianto Sudrajad menyebutkan secara rinci honor yang akan diterima oleh petugas badan ad hoc di setiap tingkatannya. Dalam data yang disampaikan, terlihat perbedaan honor yang diterima pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 dengan Pemilu dan Pilkada 2024.
Baca Juga:
- Gebyar Muharam dan Milad Ke-3 Indonesia Food Share, Gelorakan Gerakan Kebaikan
- MUI Segera Terbitkan Kurikulum Dakwah untuk Masjid dan Majelis Taklim
- Inilah Rangkaian Acara Peringatan HUT RI Ke-77, Ada Pameran Mobil Kepresidenan di Sarinah
- Visa Transit Bisa untuk Umrah
- Anies Ganti Nama Seluruh Rumah Sakit Jadi Rumah Sehat di Jakarta
Berikut rinciannya:
- Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih)
- Pemilu 2019 mendapatkan Rp800.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp1.000.000 – Pilkada 2020 mendapatkan Rp1.000.000, sementara pada Pilkada 2024 akan mendapatkan Rp1.000.000
- Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
a. Ketua
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp550.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp1.200.000.
- Pada Pilkada 2020 mendapatkan Rp900.000, sementara pada Pilkada 2024 akan mendapatkan Rp900.000
b. Anggota
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp500.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp1.100.000
- Pada Pilkada 2020 mendapatkan Rp850.000, sementara pada Pilkada 2024 akan mendapatkan Rp850.000
c. Satlinmas
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp500.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp700.000.
- Pada Pilkada 2020 mendapatkan Rp650.000, sementara pada Pilkada 2024 akan mendapatkan Rp650.000.
- Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)
a. Ketua
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp1.850.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp2.500.000.
- Pada Pilkada 2020 mendapatkan Rp2.200.000, sementara pada Pilkada 2024 akan mendapatkan Rp2.500.000
b. Anggota
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp1.600.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp2.200.000
- Pada Pilkada 2020 mendapatkan Rp1.900.000, sementara pada Pilkada 2024 akan mendapatkan Rp2.200.000
c. Sekretaris
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp1.300.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp1.850.000.
- Pada Pilkada 2020 mendapatkan Rp1.550.000, sementara pada Pilkada 2024 akan mendapatkan Rp1.850.000.
d. Pelaksana
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp850.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp1.300.000.
- Pada Pilkada 2020 mendapatkan Rp1.000.000, sementara pada Pilkada 2024 akan mendapatkan Rp1.300.000
- Panitia Pemungutan Suara (PPS)
a. Ketua
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp900.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp1.500.000.
- Pada Pilkada 2020 mendapatkan Rp1.200.000, sementara pada Pilkada 2024 akan mendapatkan Rp1.500.000
b. Anggota
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp850.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp1.300.000
- Pada Pilkada 2020 mendapatkan Rp1.150.000, sementara pada Pilkada 2024 akan mendapatkan Rp1.300.000
c. Sekretaris
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp800.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp1.150.000.
- Pada Pilkada 2020 mendapatkan Rp1.100.000, sementara pada Pilkada 2024 akan mendapatkan Rp1.150.000.
d. Pelaksana
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp750.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp1.050.000
- Pada Pilkada 2020 mendapatkan Rp1.000.000, sementara pada Pilkada 2024 akan mendapatkan Rp1.050.000.
- Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN)
a. Ketua
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp8.000.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp8.400.000.
b. Anggota
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp7.550.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp8.000.000
c. Sekretaris
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp7.000.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp7.000.000.
d. Pelaksana
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp6.500.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp6.500.000
- Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih) LN Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp6.500.000, sementara pada Pemilu 2024 mendapatkan nominal yang sama yakni Rp6.500.000
- Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN)
a. Ketua.
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp6.500.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp. 6.500.000
b. Anggota
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp. 6.000.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp. 6.000.000
c. Satlinmas LN
- Pada Pemilu 2019 mendapatkan Rp. 4.500.000, sementara pada Pemilu 2024 akan mendapatkan Rp. 4.500.000.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Direcyor PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Beritaneka.com—Usulan penundaan pemilu, atau kudeta konstitusi, terus bergulir. TSM. Terstruktur, Sistematis, dan Massif. Alasan penundaan disiapkan secara meyakinkan. Melalui Lembaga survei dan think-tank Indonesia Laboratorium 2045 (Lab 45).
Lembaga survei mengatakan 70 persen lebih rakyat Indonesia sangat puas dengan kinerja Jokowi. Kemudian Lab 45 mengatakan mesin big data mereka menangkap isu masyarakat ingin masa jabatan presiden diperpanjang.
Kemudian, tahap selanjutnya adalah sosialisasi. Ini tugas Bahlil, Menteri Investasi/Kepala BPKM, dan Ketua Umum Partai Politik (parpol): PKB, PAN dan Golkar.
Usulan kudeta konstitusi mendapat penolakan luas dari masyarakat, termasuk parpol lain seperti PDIP, Nasdem, Demokrat, PKS dan Gerindra. Karena usulan penundaan pemilu melanggar konstitusi yang berlaku, melanggar kedaulatan rakyat. Dapat dicap sebagai pengkhianat kedaulatan rakyat.
Terkait ini, Presiden Jokowi, DPR/MPR dan Mahkamah Konstitusi harus bertindak tegas untuk menegakkan marwah konstitusi. Presiden harus memberhentikan Menteri yang terlibat kudeta konstitusi, DPR/MPR harus mencopot pejabat pengusul kudeta konstitusi, dan Mahkamah Konstutusi membekukan atau membubarkan Partai Politik yang terlibat kudeta Konstitusi, karena anti Pancasila dan anti UUD.
Akhirnya, Jokowi bersuara juga. Beliau mengajak semua pihak, termasuk dirinya, untuk tunduk, taat dan patuh pada Konstitusi. Sangat melegakan. Semua elemen masyarakat wajib taat pada ajakan ini.
Tetapi, pernyataan Jokowi berikutnya bikin kening berkerut. Sepertinya ada pihak-pihak yang mau menjerumuskan presiden, dengan mengatakan usulan penundaan pemilu tidak bisa dilarang karena merupakan demokrasi.
Baca Juga:
- Daftar Lengkap 332 Sektor Usaha Tujuan Investasi Peserta PPS, Cek!
- Berlaku Mulai Hari Ini, Penumpang Pesawat Wajib Isi E-HAC Sebelum Terbang
- Gaikindo Siap Gelar Jakarta Auto Week 2022
- Jelang Ramadhan, Badan Pangan Nasional Amankan Stok Daging Sapi
Maaf, pak Jokowi. Menurut hemat saya, pernyataan ini sangat berbahaya. Usulan melawan hukum dan konstitusi seharusnya bukan bagian dari demokrasi. Tapi bagian dari tirani. Khususnya usulan menunda pemilu. Bisa diartikan mau melanggengkan kekuasaan, tanpa pemilihan umum, yang menjadi cikal bakal otoriter.
Bayangkan, Pak Jokowi. Orde Baru saja selalu melaksanakan pemilu tepat waktu, setiap lima tahun sekali. Tapi, sekarang Bapak mau membiarkan usulan liar dan melawan hukum ini bergulir tanpa terkendali? Sangat bahaya.
Karena itu, usulan yang melawan hukum dan konstitusi seharusnya dilarang, untuk kepastian hukum itu sendiri. Kalau tidak, pasti akan menimbulkan chaos dan anarki. Karena setiap pihak nanti merasa bisa mengusulkan perubahan konstitusi sesukanya. Bisa terjadi konflik horisontal yang meluas.
Bayangkan, nanti ada pihak yang mengusulkan Indonesia sebaiknya menjadi negara serikat lagi saja. Atau ada pihak yang mau menjadi negara Islam. Mungkin juga ada pihak yang mau memisahkan diri dari Indonesia. Organisasi gerakan merdeka nantinya akan menjamur, dengan alasan demokrasi. Bukankah ini akan menjadi chaos dan anarki?
Karena itu, Pak Jokowi harus waspada. Yang membisiki pasti mempunyai niat jahat. Niat jahat kepada Pak Jokowi, niat jahat kepada Indonesia dan niat jahat kepada rakyat: mau menjerusmukan pak Jokowi, mau menjerumuskan Indonesia, mau menghancurkan bangsa Indonesia.
Karena, USULAN MELAWAN HUKUM DAN KONSTITUSI BUKAN DEMOKRASI, TAPI TIRANI.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Beritaneka.com—Wacana penundaan Pemilu 2024 mencuat lagi. Sekarang malah didukung oleh tiga partai politik (parpol). PKB, PAN dan Golkar. Meskipun mereka paham penundaan Pemilu adalah pelanggaran Konstitusi, atau tepatnya ‘kudeta konstitusi’, Constitutional Coup. Yaitu, mengubah konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan, yang sebelumnya dibatasi oleh konstitusi.
“A Constitutional coup is when power is seized within the framework of a country’s constitution. The actors are already members of the government and will alter their government’s constitution to legally seize power. Examples include: extending an incumbents mandate through the removal of term or age limits, changing electoral rules to hinder opposing candidates, and postponing elections indefinitely.”
Karena Undang-Undang Dasar secara jelas mengatur Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun, dan Pemilu yang akan datang harus diselenggarakan pada 2024.
Baca Juga:
Penundaan Pemilu 2024 Bisa Chaos dan Munculkan Diktaktor
Muhammadiyah Tolak Wacana Tunda Pemilu 2024
Alasan wacana penundaan beragam. Tulisan ini hanya menyoroti dua alasan. Yaitu alasan ekonomi termasuk keuangan negara, dan alasan popularitas Jokowi yang katanya mencapai 73,9 persen. Kedua hal ini dijadikan alasan utama beberapa Parpol untuk mendukung usulan yang bisa mengarah kepada ‘kudeta konstitusi’ seperti dimaksud di atas.
Menurut Lembaga Survei, popularitas Jokowi mencapai angka tertinggi sejak 2015. Karena itu, beberapa Parpol mengusulkan masa jabatan Jokowi patut diperpanjang. Alasan ini (popularitas) dan konsekuensinya (diperpanjang) jelas merupakan bagian awal atau pintu masuk untuk ‘kudeta konstitusi’.
Pertama, popularitas presiden yang tinggi tidak bisa menjadi alasan untuk melakukan ‘kudeta konstitusi’, dengan menunda Pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden, misalnya, menjadi tiga periode. Kalau ini terjadi, maka lima tahun mendatang tingkat popularitas presiden bisa naik lagi, dan masa jabatan presiden bisa diperpanjang lagi, dan seterusnya.
Sehingga Bangsa ini akan terjebak dalam pusaran ‘kudeta konstitusi’ yang tidak berujung pangkal, dan akan menghancurkan masa depan bangsa Indonesia.
Di samping itu, survei popularitas presiden ini mengundang banyak pertanyaan dan keraguan. Untuk itu, penulis sudah menyampaikan dalam sebuah tulisan sebelumnya. Namun, perlu ditambahkan, bahwa kondisi ekonomi riil belakangan ini sepertinya juga sulit memberi pembenaran atas survei tersebut.
Karena, pertumbuhan ekonomi pemerintahan Jokowi merupakan yang terendah dibandingkan pemerintahan SBY periode pertama maupun kedua. Pertumbuhan ekonomi rata-rata periode 2014-2019 hanya 5,03 persen par tahun, jauh lebih rendah dari periode 2004-2009 yang mencapai 5,63 persen dan periode 2009-2014 sebesar 5,80 persen. Kalau memperhitungkan tahun 2020 dan 2021, kinerja ekonomi semakin buruk.
Kemudian, kinerja utang pemerintah juga memburuk. Utang pemerintah periode 2004-2009 naik hanya Rp292,7 triliun (22,6 persen), periode 2009-2014 naik Rp1.018 triliun (64 persen), dan periode 2014-2019 naik Rp 2,176 triliun (83,4 persen). Dalam dua tahun terakhir, 2020 dan 2021, utang pemerintah sudah naik Rp2.124 triliun (44,4 persen).
Dari kedua faktor tersebut sulit dipahami popularitas Jokowi bisa naik dan tertinggi sejak 2015, di mana ketika itu, di masa awal pemerintahan, rakyat sedang berbulan madu dan sangat antusias dengan presiden baru yang memberi janji dan harapan besar.
Kedua, alasan bahwa Pemilu secara umum, atau Pemilu 2024 secara khusus, akan menghambat pertumbuhan dan pemulihan ekonomi, karena itu harus ditunda, merupakan cara berpikir menyesatkan, dan salah fatal. Karena, taat hukum dan taat konstitusi adalah satu-satunya pegangan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa, lebih dari segalanya, lebih dari sekadar pertumbuhan ekonomi.
Karena, Pemilu bahkan diperkirakan akan meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat, dan memicu pertumbuhan ekonomi. Karena anggaran Pemilu akan menjadi stimulus ekonomi. Jadi, ketakutan Pemilu akan menghambat ekonomi tidak beralasan, dan di luar akal sehat.
Alasan lain yang cukup masuk akal adalah kondisi keuangan negara yang diperkirakan akan semakin sulit pada 2024. Tetapi, penundaan Pemilu dari 2024 menjadi, misalnya, 2027 tidak memecahkan masalah. Karena tidak ada jaminan, keuangan negara pada 2027 akan membaik. Bisa saja semakin memburuk. Kalau itu terjadi, apakah Pemilu akan ditunda lagi?
Perlu diingat, Pemilu 1999 dapat dilaksanakan dengan baik, diikuti 48 partai politik, meskipun kondisi keuangan negara ketika itu sedang terpuruk sangat dalam akibat krisis moneter 1997-1998. Yang membuat pemerintah harus mohon pinjaman kepada IMF dengan menyerahkan kedaulatan ekonominya. Pengalaman Pemilu 1999 ini adalah sebuah bukti dan preseden yang mematahkan semua alasan untuk penundaan Pemilu 2024.
Seandainya benar kondisi keuangan negara menjadi bahan pertimbangan yang sangat dominan untuk menunda Pemilu, dan keuangan negara 2024 diperkirakan akan semakin sulit, karena defisit anggaran akan kembali menjadi maksimal 3 persen dari PDB, maka solusinya adalah memajukan Pemilu 2024 menjadi 2022.
Karena, defisit anggaran tahun 2022 masih dibolehkan tidak terbatas, dan Bank Indonesia masih dibolehkan membeli surat utang negara untuk pembiayaan defisit anggaran tersebut. Sehingga keuangan negara 2022 tidak menjadi masalah sama sekali untuk membiayai pelaksanaan Pemilu.
Jangan lewatkan kesempatan ini. Karena tahun 2023 keuangan negara akan berjalan normal kembali.
Semoga hal ini bisa menjadi pertimbangan bagi para Ketum Parpol demi menyelamatkan Pemilu 2024, dan menyelamatkan Bangsa Indonesia.
Beritaneka.com—Legislator Komisi II DPR menilai penetapan tanggal pemungutan suara Pemilu pada 21 Februari 2024 rawan terhadap politik yang berkaitan dengan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
Sebab, tanggal tersebut, menurut Rifqi, dapat dipersepsikan menjadi ’21 Bulan 2’ atau ‘212’ yang dapat menguntungkan kelompok tertentu, sehingga berujung pada isu politik identitas dan memecah-belah persatuan bangsa.
“Karena itu jadwal 21 Februari 2024 bukan harga mati. Konstitusi saja bisa kita ubah melalui MPR. Hal-hal seperti ini yang sedang kita perhitungkan. Tetapi, bagi PDI-Perjuangan Bulan Ramadan 2024 itu kami harapkan tidak masuk dalam masa kampanye 2024, itu penting bagi kami,” kata Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, seperti kami kutip dari laman resmi DPR, Senin (24/1/2022).
Baca juga: Dikeluhkan Masyarakat, DPR: Harga Hotel Karantina Mahal Fasilitas Minim
Anggota Fraksi PDI-Perjuangan DPR RI ini menilai KPU telah mengubah usulan tanggal Pemilu menjadi pada Rabu 14 Februari 2024. Harus diakui, jelas Rifqi, usulan penetapan tanggal pemilu pada hari Rabu didasarkan pada pertimbangan untuk hindari long weekend sebagai dampak dari adanya pandemi Covid-19. Sehingga, alternatif pilihan tanggalnya adalah 7, 14, 21, dan 28 Februari 2024.
Namun, demikian, penentuan tanggal 7 atau 14 Februari pun juga rawan dimanfaatkan partai atau kontestan tertentu, baik yang berasal dari unsur partai (DPR RI) maupun non-partai (DPD RI) untuk kepentingan kampanye mereka.
“Karena itu yang paling aman pilihan tanggal pemilunya adalah pada 28 Februari tahun 2024 itu. Saya sekali lagi kurang sepakat 14 Februari dengan pertimbangan hal-hal teknis sepert tadi,” tutup Rifqi.
Baca juga: DPR Minta Operasi Pasar Tepat Sasaran
Diketahui, sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengusulkan satu lagi alternatif tanggal untuk pemungutan suara Pemilu 2024, yaitu 14 Februari. Anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan, KPU telah mengirimkan surat ke pimpinan DPR yang berisi permohonan diadakan rapat konsultasi untuk membahas rancangan Peraturan KPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pemilu 2024.
KPU mengirimkan surat tersebut secara daring dan salinan fisiknya secara langsung ke Sekretariat DPR. Menurut Pramono, sebetulnya usulan tanggal alternatif ini bukan hal baru. Sebab, dalam rapat-rapat konsinyasi sebelumnya, KPU pernah mengusulkan tiga alternatif tanggal Pemilu, yaitu pada 14 Februari, 21 Februari, dan 6 Maret 2024.
Baca juga: Kasus Omicron Meningkat, Legislator DPR Imbau Masyarakat Tetap Waspada
Beritaneka.com—Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan bahwa salah satu tujuan penyelesaian sengketa proses pemilu adalah untuk memberikan legitimasi proses dan hasil pemilu.
Mahfud menegaskan, keberhasilan penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan adil menjadi penentu terwujudnya upaya pencapaian tujuan nasional, bahkan menentukan pembentukan pemerintahan yang demokratis melalui pergantian kekuasaan secara damai.
“Di beberapa negara, kegagalan penyelenggaraan Pemilu yang demokratis menjadi momentum titik balik yang justru melahirkan diktator atau perang sipil,” ujar Menko Polhukam, seperti dilansir dari laman resmi Kemenko Polhukam, Selasa (21/12).
Baca juga: Hakordia 2021, Mahfud MD: Jangan Hanya Takut Pada Hukum
Disampaikan juga bahwa, pemilu di Indonesia merupakan Pemilu yang terbesar dan terumit di dunia. Pada Pemilu 2024 mendatang kita melakukan enam jenis Pemilu dalam waktu satu tahun, yaitu Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden pada satu hari yang sama, dan selanjutnya selang beberapa bulan kemudiaan diikuti dengan Pemilihan Gubernur dan Pemilihan Bupati/Walikota.
Jumlah pemilih hampir 200 juta yang tersebar di lebih dari 800 ribu TPS, yang melibatkan 7,3 juta lebih anggota KPPS dan petugas keamanan, 36.260 anggota PPK di 7.252 kecamatan.
“Kebesaran Pemilu kita akan semakin jelas jika kita menghitung jumlah peserta dan calon, jumlah daerah pemilihan untuk setiap lembaga perwakilan, jumlah logistik yang harus disediakan dan distribusi yang harus dilakukan. Jumlah yang besar tersebut membutuhkan pengaturan yang rumit di setiap tahapan yang telah ditentukan kerangka waktunya,” ujar Menko Mahfud.
Baca juga: Mahfud MD Dorong Diskusi Putusan MK Soal UU Cipta Kerja
Kemudian di sisi lain, pemilu sebagai kontestasi dan kompetisi politik selalu melahirkan sengketa, baik antar-peserta maupun antara peserta dengan penyelenggara.
Berdasarkan pengalaman Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, secara umum dapat kita ketahui bahwa mekanisme penyelesaian sengketa telah berperan secara signifikan dalam mengawal berjalannya pemilu/pilkada secara jujur dan adil.
Hanya saja menurut Menko, dalam beberapa kasus, masih terdapat beberapa catatan perbaikan yang perlu menjadi perhatian Bawaslu, seperti adanya koreksi putusan penyelesaian sengketa proses yang diputus oleh jajaran Bawaslu melalui penyelesaian sengketa hasil pemilu/pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Wakil Ketua MUI Anwar Abbas Bersuara Lantang, Mahfud MD: Indonesia Butuh sebagai Pembanding
Koreksi atas kelemahan mekanisme penyelesaian sengketa proses tersebut harus menjadi batu loncatan bagi Bawaslu untuk melakukan perbaikan dan meningkatkan mutu proses penyelesaian sengketa yang dijalankan.
Terkait dengan hal ini, Menko Polhukam Mahfud MD sangat menekankan, bahwa salah satu tujuan penyelesaian sengketa proses pemilu adalah untuk memberikan legitimasi proses dan hasil pemilu.
“Oleh karena itu, putusan penyelesaian sengketa proses haruslah presisi, sehingga tidak terbuka sedikit pun ruang atau celah putusan tersebut dipersoalkan,” kata Menko
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menandatangani perpanjangan Nota Kesepahaman (MoU) tentang koordinasi dan sinergi BAZNAS dan Bawaslu dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan. Kerjasama dilakukan untuk menjaga netralitas dan mencegah penyalahgunaan penyaluran zakat untuk kepentingan politik.
Sinergi kedua lembaga tersebut ditandai dengan penandatanganan MoU yang dilakukan oleh Ketua Bawaslu RI Abhan, S.H., M.H dan Ketua BAZNAS RI, Prof Dr KH Noor Achmad, MA, yang digelar secara hybrid via Gedung Bawaslu RI, Jakarta dan virtual via zoom dan kanal Youtube Bawaslu RI, yang disaksikan Bawaslu Provinsi, Kabupaten/Kota, Kamis (5/5).
“Dengan adanya kerja sama ini, BAZNAS Insya Allah akan akuntabel dan transparan dalam melakukan pengawasan terhadap amilin dan amilat. Kami juga diikat oleh Undang-Undang jika manakala ada dana zakat yang tidak sesuai dengan peraturan peruntukannya tersebut maka kami terkena pidana,” jelas Prof Noor.
Baca juga: BAZNAS Bantu RS Indonesia di Hebron Palestina Rp 1 M
Prof Noor mengatakan, pihaknya tidak akan bermain-main dalam hal ini. “Kami akan ciptakan BAZNAS aman regulasi, aman syar’i, dan aman NKRI.”
“Terima kasih atas perpanjangan kerjasama ini. Kita akan terus melakukan koordinasi untuk kerjasama yang lebih baik lagi. Mudah-mudahan kerja sama ini diberkahi Allah, terutama di bulan Ramadhan ini,” jelas Prof Noor.
Sementara itu, Ketua Bawaslu RI Abhan, S.H., M.H mengatakan, “Penandatanganan perpanjangan nota kesepahaman ini sangat penting sekali, mengingat sebagian daerah akan diselenggarakan pemilihan kepala daerah seperti di Jambi, Kalimantan Selatan, Papua dan Nusa Tenggara Timur. Kami melihat bahwa ada beberapa potensi pelanggaran di dalam menjelang pemungutan suara itu.”
Abhan mengatakan, pelaksanaan pilkada di beberapa daerah menyebabkan adanya potensi penyalahgunaan zakat untuk kepentingan politik praktis, kepentingan pilkada.
”Baznas provinsi dan kota bisa berkoordinasi agar pelaksanaan zakat ini memang betul-betul substansinya untuk ibadah, tidak ada kepentingan politik.”
Baca juga: BCA Syariah dan BAZNAS Dorong Mustahik Menjadi Micropreneur Berdaya
“Tujuan dari penandatanganan ini juga termasuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan tugas pengelola zakat, kemudian mendorong penyelenggaraan pemilihan umum yang berkualitas khususnya untuk kepala daerah, kemudian juga mendorong masyarakat ikut mengawasi kebijakan-kebijakan mengenai perundang-undangan umum mengenai zakat,” kata Abhan.
Tidak hanya itu, Abhan menambahkan, Bawaslu juga mendorong kepada pihak internal agar bisa terus menyalurkan zakatnya melalui BAZNAS. “Mudah-mudahan nanti segera dibentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Bawaslu.”
Acara tersebut juga dihadiri oleh Pimpinan BAZNAS RI, Dr Zainulbahar Noor, SE, M.Ec, Kolonel (Pur) Drs Nur Chamdani, perwakilan KPU, DKPP, Kemendagri. (ZS)