Beritaneka.com—Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan memungut pajak pertambahan nilai (PPN) bagi sebagian bahan kebutuhan pokok atau sembako. Hal itu dirumuskan di Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Wacana PPN sembako masih digodok pemerintah bersama DPR RI.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan, kebijakan pajak sembako hanya akan menyasar komoditas tertentu yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi. Agar jelas, pemerintah akan membuat sejumlah kriterianya dan tarifnya bisa lebih rendah dari PPN pada umumnya.
Namun, kebijakan itu dinilai Peneliti Indef, Bhima Yudistira tidak tepat. Bhima malah berpikiran, kebijakan PPN sembako dicabut dari revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan. Momentum pengenaan PPN ke bahan makanan yang dibutuhkan masyarakat sangat tidak tepat.
Alasannya, sampai 2022 pendapatan kelompok kelas menengah masih belum pulih seperti pra pandemi, ditambah beban PPN ke bahan makanan akan menurunkan daya beli.
“Argumentasi bahwa pemerintah akan mengenakan PPN sembako ke barang premium juga sangat lemah,” tegas Bhima kepada Beritaneka.
Baca juga: Pasar Ekonomi Syariah masih Kecil, WI-ITB: Wakaf dan Infak Jadi Solusi
Ada beberapa alasan. Pertama, data pangan masih bermasalah sehingga dikhawatirkan PPN justru dibebankan ke kelompok masyarakat menengah bawah. Setiap mau impor beras saja masih ribut karena perbedaan data antar kementerian lembaga soal beras. Itu baru satu komoditas, belum jagung, daging dan lainnya.
Kedua, perbedaan antara beras premium dan medium misalnya tidak mudah dilapangan. Apakah beras yang dikonsumsi kelas menengah dengan harga Rp12.000 per kg misalnya masuk kategori beras medium? Ujungnya masyarakat umum yang kena PPN lebih tinggi.
Baca juga: Pemerintah Klaim Ekonomi Nasional Pulih, Legislator PKS: Oversimplikasi
Ketiga, semakin kaya pendapatan orang di Indonesia, maka konsumsi makanannya semakin sedikit. Lihat saja orang kaya itu makannya sangat hat-hati, makan salad, sayur atau vegetarian. Kalau mau memajaki orang kaya ya jangan lewat PPN sembako, salah total logika nya.
“Dampak paling nyata dari penerapan PPN sembako, masyarakat akan mengurangi belanja barang lainnya. Yang jualan baju di pasar dan mal akan mengeluh, kenapa penjualan sepi, karena uangnya tersedot pemerintah lewat PPN sembako. Akhirnya masyarakat berhemat,” ungkapnya.
Mneurut Bhima, masiah banyak cara untuk mendorong kenaikan penerimaan pajak diluar cara PPN sembako. Misalnya pemerintah bisa naikkan bracket dan tambah tarif pajak penghasilan orang kaya, pajak warisan yang tinggi, sampai penerapan pajak karbon untuk sektor ekstraktif.
“Kalau PPN sembako dipaksakan, risikonya bisa kontraproduktif terhadap pemulihan ekonomi,” tegasnya.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Rencana perubahan pajak merupakan topik yang menarik dan perhatian masyarakat luas. Karena pajak memengaruhi kehidupan seluruh masyarakat . Apalagi terkait rencana kenaikan tarif dan perluasan barang kena Pajak Pertambahan Nilai atau PPN.
Khususnya PPN sembako, pendidikan, kesehatan, asuransi, dan lainnya yang menjadi soroton masyarakat luas. Karena akan menguras isi kantong masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah.
Perdebatan kenaikan tarif PPN (dari 10 persen menjadi 12 persen atau bahkan 15 persen) akan menjadi debat tanpa akhir. Alias debat kusir. Karena inti dari kebijakan ini adalah untuk mengisi kas negara yang sedang kosong dengan defisit besar.
Permasalahannya, apakah mengisi kas negara yang sedang kosong dengan PPN sudah tepat? Apa dampaknya terhadap kehidupan sosial masyarakat,terutama yang berpendapatan rendah? Apa dampaknya terhadap kemiskinan?
Baca juga: Pengelolaan Dana Haji Melanggar UU Keuangan Negara?
Apalagi banyak pihak berpendapat bahwa kas negara kosong akibat pemberian berbagai fasilitas pajak, terutama kepada golongan masyarakat menengah atas. Seperti pengurangan pajak penjualan dan barang mewah (PPnBM). Dan berbagai pengurangan pajak lainnya sejak 2015. Dibungkus dalam paket kebijakan ekonomi. Termasuk Tax Amnesty.
Sedagkan paket kebijakan ekonomi yang sampai 16 jilid tersebut tidak menunjukkan hasil. Alias gagal. Pertumbuhan ekonomi tidak beranjak. Pertumbuhan pendapatan negara malah turun. Artinya, yang terjadi adalah pemborosan kas negara akibat pengurangan pajak. Terjadi transfer payment dari pembayar pajak melalui negara ke masyarakat penerima pengurangan pajak. Yang notabene adalah masyarakat kelas atas.
Tetapi, ironi, yang harus menanggung kegagalan kebijakan tersebut, yang harus menanggung kas negara yang kosong, masyarakat golongan bawah. Melalui kenaikan dan perluasan PPN hingga sembako dan produk pertanian, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Memang masyarakat kelas bawah yang jumlahnya sangat besar menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk konsumsi bahan makanan pokok.
Rencana PPN ini sangat buruk bagi masyarakat. Karena PPN bersifat regresif. Artinya, masyarakat berpenghasilan rendah membayar (persentase) pajak lebih besar. Dan, semakin rendah penghasilannya, semakin besar persentase pajak yang dibayar dari penghasilan tersebut.
Pemerintah mencoba mengatasi ketidakadilan PPN ini dengan PPN multi-tarif. Katanya, barang konsumsi untuk masyarakat berkecukupan dapat dikenakan tarif PPN lebih tinggi. Barang konsumsi untuk masyarakat berkekurangan dikenakan tarif PPN lebih rendah. Sehingga adil. Katanya berargumen.
Dicontohkan, beras bisa diklasifikasi premium, medium dan sebagainya. Di mana tarif PPN bisa berbeda-beda. Atau jenis daging, ada daging wagyu atau daging di pasar. Juga bisa dikenakan tarif PPN yang berbeda.
Solusi PPN multi-tarif seperti digambarkan di atas justru berbahaya. Menunjukkan pemerintah tidak memahami permasalahan dan konsekuensi ekonomi politik fiskal dan perpajakan.
Pertama, keadilan pajak adalah persepsi. Kalau definisi adil adalah penghasilan besar harus membayar (persentase) pajak lebih besar, maka mekanisme adil ini hanya bisa dipenuhi dengan pajak penghasilan dengan tarif progresif. Seperti sekarang juga berlaku. Tapi mungkin belum cukup. Sedangkan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah membayar persentase pajak lebih rendah, bahkan tidak sama sekali.
Uang pajak dari pembayar pajak bisa digunakan untuk membantu masyarakat tidak mampu. Membantu biaya pendidikan, biaya kesehatan, atau subsidi-subsidi lain yang diperlukan untuk meringankan biaya hidup. Agar masyarakat tidak mampu bisa hidup lebih layak dan menikmati pendidikan dan kesehatan.
Baca juga: Meluruskan Makna Utang Pemerintah: Terobos Lampu Merah
Mekanisme pajak penghasilan progresif dan redistribusi pendapatan (transfer payment) merupakan instrumen utama untuk mengatasi permasalahan kesenjangan sosial.
Dengan demikian, permasalahan keadilan pajak selesai di tingkat pajak penghasilan. Sisa penghasilan setelah pajak (disposable income) digunakan untuk konsumsi. Barang konsumsi ini bisa dikenakan pajak lagi yang dinamakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Karena keadilan pajak sudah selesai di tingkat Pajak Penghasilan, maka semua masyarakat mempunyai posisi yang sama, dan seharusnya membayar pajak yang juga sama, di tingkat pajak konsumsi: PPN.
Kalau PPN dibuat multi-tarif menurut golongan penghasilan, maka masyarakat secara langsung terbagi ke dalam kelas atau strata. Karena akan ada produk atau jasa untuk orang kaya dan orang miskin, dibedakan dengan tarif PPN. Ada beras orang kaya dan beras orang miskin. Ada sekolah orang kaya dan sekolah orang miskin. Ada rumah sakit orang kaya dan rumah sakit orang miskin. Dan seterusnya. Sungguh tidak terbayangkan betapa kacaunya Republik ini jadinya.
PPN multi-tarif yang biasa diterapkan di beberapa negara di atur menurut golongan barang. Untuk makanan, minuman dan kebutuhan sehari-hari bisa dikenakan PPN tarif rendah. Selain itu dikenakan PPN tarif tinggi. Tapi semua orang membayar tarif PPN yang sama. Sehingga masyarakat tidak terbagi ke dalam kelas dan strata.
Semoga pemerintah tidak gagal paham mengenai PPN multi-tarif, tidak gagal paham mengenai fungsi pajak penghasilan sebagai instrumen redistribusi pendapatan untuk mengatasi kesenjangan sosial. Semoga pemerintah dan DPR membatalkan rencana perluasan PPN ini.
Beritaneka.com—Kalangan anggota DPR meminta pemerintah agar berhenti menguji kesabaran rakyat dengan membatalkan rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang kebutuhan pokok.
“Rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang kebutuhan pokok tersebut harus dibatalkan. Pemerintah harus peka dengan kondisi masyarakat saat ini. Berhentilah menguji kesabaran rakyat dengan membuat kebijakan yang tidak masuk akal,” ujar Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani, Kamis, (10/06).
Menurut Netty, kebijakan tersebut tidak masuk akal karena dapat menambah beban rakyat yang sedang sulit di tengah pandemi.
“Kebijakan ini akan menaikkan harga sembako dan tentunya makin membebani masyarakat yang sedang terengah-engah karena dampak pandemi. Saat ini banyak masyarakat yang hidup susah karena penghasilan menurun atau kehilangan pekerjaan. Daya beli masyarakat juga merosot. Ini kebijakan yang tidak pro rakyat,” paparnya.
Baca juga: Politisi PKS Dorong Pemerintah Perjuangkan Anggaran Pendidikan Agama yang Adil dan Memihak
Netty mengingatkan pemerintah agar berpikir keras dalam mencari sumber pendapatan negara, jangan cari cara mudahnya saja.
“Apakah pemerintah sudah tidak tahu lagi cara mencari sumber pendapatan negara kecuali dengan menarik pajak dari rakyat? Sembako pun dipajaki dan dinaikkan nilai pajaknya. Dengan jumlah penduduk yang besar, menarik pajak dari rakyat memang menjadi cara mudah mengumpulkan uang,” tandasnya.
Menurut Netty, seharusnya pemerintah kreatif mencari sumber pendapatan negara lainnya dan serius melakukan efesiensi dalam pengelolaan anggaran serta memastikan tidak terjadi korupsi dan kebocoran anggaran, alih-alih cari cara gampang dengan menarik pajak dari rakyat.
Netty mengingatkan pemerintah akan tugasnya untuk menciptakan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat, bukan malah menimbulkan kesengsaraan.
“Pengenaan PPN sembako akan membuat rakyat kian tercekik. Jumlah keluarga miskin akan bertambah dan pasti berdampak pada standar kesehatan. Kita khawatir banyak keluarga akan kesulitan memenuhi standar gizi untuk anak-anak, bahkan dapat mengancam naiknya angka stunting dan gizi buruk. Saat ini saja angka stunting dan gizi buruk kita masih tinggi, bahkan stunting kita nomor empat tertinggi di dunia,” ujar Netty yang selama 10 tahun bergelut dengan pembinaan keluarga sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat 2008 – 2018.
Baca juga: Pegawai KPK Disingkirkan, Presiden PKS: Kesadaran Nurani Publik Tersakiti
Diketahui pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak. Kebijakan itu akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tak dikenakan PPN sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017. Barang itu meliputi beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.
Beritaneka.com—Fraksi PKS DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan mengingatkan terkait rencana Pemerintah menaikkan tarif PPN akan memperlebar jurang kesenjangan ekonomi. Padahal UUD 1945 mengamanatkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum, tetapi nyatanya ketimpangan masih nyata terjadi. Sebagian kecil orang menguasai lebih dari 50 persen aset nasional. Hal ini diperparah dengan semakin tingginya ketimpangan fiskal. Subsidi dan bantuan sosial terus dipangkas, insentif perpajakan untuk orang kaya diperbesar.
“Saat Pemerintah mewacanakan akan meningkatkan tarif PPN menjadi 15 persen, yang jelas hal tersebut akan mengurangi daya beli masyarakat luas, PPNBM malah dipotong. PPNBM notabane nya adalah pajak untuk orang berpendapatan tinggi. Dari sana kita dapat menyaksikan secara gamblang terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan dalam kebijakan fiskal”, ujar Wakil Ketua Fraksi PKS, Ecky Awal Mucharam.
Baca juga: Presiden PKS: Pemerintah Indonesia harus Bawa Kejahatan Kemanusiaan Zionis-Israel ke Dewan HAM PBB
Menurut Awal, berdasarkan dokumen KEM-PPKF 2022, ditulis secara jelas bahwa strategi Pemerintah adalah perluasan basis perpajakan (ekstensifikasi). Sehingga perlu ada kejelasan dan konsistensi kebijakan dari Pemerintah. Kenaikkan tarif PPN akan kontraporduktif dengan rencana pemulihan ekonomi nasional. Sumber PPN terbesar berasal PPN dalam negeri, berupa konsumsi masyarakat, dan PPN impor, yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri.
“Artinya, kenaikkan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi industri,” imbuhnya.
Harus diakui menurutnya bahwa pendapatan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masih jauh di bawah potensi yang ada. Rasio PPN terhadap PDB hanya mencapai 3,6%, sangat rendah dari standar negara-negara secara umum yang mencapai 6% hingga 9%. Sehingga, potensi penerimaan PPN dipekirakan masih mencapai 32% dari potensi yang ada. Tetapi, dibandingkan meningkatkan tarif yang akan berdampak kepada masyarakat secara umum, seharusnya Pemerintah fokus memperluas basis perpajakan PPN.
Anggota Komisi XI DPR RI ini juga mendorong Pemerintah untuk menyusun target pendapatan, terutama penerimaan perpajakan yang realistis. Terjadinya shortfall perpajakan pada dasarnya perlu diantisipasi sejak awal, terlebih masih lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat dampak pandemi, deindustrialisasi dini dan ketidakpastian perekonomian global.
Baca juga: Pilpres 2024 Memiliki Tiga Rasa, PKS Siapkan Tiga Strategi
Awal menilai bahwa target pendapatan negara masih terlalu ambisius. Apabila dibandingkan dengan target 2021, maka target penerimaan perpajakan pada KEM-PPKF mengalami pertumbuhan sebesar sampai 5,2 persen. Target pendapatan negara juga, dengan skenario optimis juga akan tumbuh 8,6 persen dibandingkan target 2021.
Pemerintah harus mengatur target pendapatan ini secara lebih realistis. Sebagai perbandingan, pada tahun 2019, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen saja, penerimaan perpajakan hanya tumbuh sebesar 3,3 persen. Lebih lanjut, dengan masih lambatnya progress vaksinasi, baik di Indonesia, dan potensi gelombang Covid ke-3 di sejumlah negara, maka diperkirakan permintaan global masih lemah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja pendapatan.
Awal mengingatkan terkait kinerja program PEN, khususnya untuk insentif perpajakan, di tahun 2020 yang masih jauh dari optimal. Untuk insentif perpajakan, dari pagu Rp 120 triliun, realisasinya hanya mencapai 46,8%. Hal ini menjadi miss opportunity yang besar, terutama tambahan anggaran untuk program PEN dibiayai oleh tambahan utang, yang menjadi beban APBN ke depannya.
“Lebih lanjut, insentif perpajakan banyak dinikmati oleh pelaku usaha skala besar, bukan UMKM. Berdasarkan data, dari total nilai realisasi insentif perpajakan pada program PEN, hanya 1,17% yang dinikmati oleh UMKM”, tegasnya.
Beritaneka.com—Pemerintah berencana menaikkan PPN di tahun depan. Kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang diperkirakan akan mulai pulih sejak akhir tahun ini. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pihaknya mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil kebijakan tersebut.
Ada dua skema yang disiapkan kenaikan yang akan diambil pemerintah yakni single atau multi tarif. Jika single tarif maka batasan maksimal PPN bisa naik sampai 15% sesuai UU PPN tahun 2009. Namun jika multi tarif maka akan ada perbedaan pajak untuk jenis barang yang berbeda seperti barang reguler dan barang mewah.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen: Antara Mimpi dan Ilusi
Kebijakan menaikkan PPN itu dikritisi pengamat ekonomi dari Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan. Menurut penilaian Anthony, kebijakan pemerintah menaikkan PPN untuk tambal defisit akan berpengaruh ke berbagai bidang kehidupan. Jika kebijakan itu diterapkan, maka ekonomi akan melemah, angka kemiskinan naik, kesenjangan sosial melebar.
“Karena kenaikan PPN akan mengurangi pendapatan / konsumsi riil masyarakat terutama untuk kelompok kelas bawah,” ujar Antoni
Kebijakan kenaikan pajak itu paling berdampak pada masyarakat bawah karena memberi efek pajak degresif. Artinya masyarakat berpenghasilan rendah menanggung PPN lebih besar dalam persentase penghasilan. Terutama kalau yang naik PPN untuk jenis barang yang dikonsumsi masyarakat bawah misalnya mi instan. Maka, jumlah kemiskinan akan naik.
Baca juga: Meluruskan Makna Utang Pemerintah: Terobos Lampu Merah
Antoni menyebut, rasio penerimaan pajak negara terhadap PDB turun terus dari 13,3% (2008) menjadi 9,76% (2019) dan 7,32% (03/2021). Padahal, sudah dibantu kenaikan cukai rokok setiap tahun. Rasio penerimaan pajak ini terendah sejak Orde Baru, dan mendekati prestasi Orde Lama dengan rasio 3,7%.
Ada kesamaan kebijakan fiskal (dan moneter) saat ini dengan Orde Lama. Defisit anggaran naik tajam, mayoritas dibiayai Bank Indonesia. Defisit 2020 6,2% vs Defisit 1965 6,4% dari PDB. Anggaran defisit 2021 5,7%, dan 2022 diperkirakan tetap tinggi.
“Tapi proyek mercusuar maju tak gentar,” tegasnya. (ZS)
Beritaneka.com—Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN sebagai salah satu langkah untuk melakukan reformasi perpajakan yang sehat, adil, dan kompetitif.
Rencana ini tertuang dalam paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara Musrenbangnas 2021 secara virtual belum lama ini atau pada hari Selasa (4/5/2021).
Dalam paparan menyebutkan, reformasi perpajakan mencakup inovasi penggalian potensi untuk peningkatan rasio pajak, perluasan basis perpajakan di e-commerce, cukai plastik dan menaikkan tarif PPN. Kemudian, reformasi lainnya yaitu sistem perpajakan yang sejalan dengan struktur perekonomian.
Baca Juga: Nopol Kendaraan dan SKM Kekaisaran Sunda Nusantara, Cari Sensasi?
Pemerintah menyatakan akan terus menggali dan meningkatkan basis pajak, memperkuat sistem perpajakan dan berupaya menaikkan rasio pajak (tax ratio). Hingga saat ini, tarif PPN untuk konsumen masih dipatok sebesar 10 persen.
Namun, rencana Pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) di tengah pandemi dinilai kontraproduktif dan berefek negatif bagi pemulihan ekonomi nasional oleh beragam kalangan. Kenaikan PPN turut memicu naiknya harga barang yang akan membuat daya beli masyarakat makin merosot.
“Naiknya tarif (PPN) ini akan berdampak terhadap melemahnya konsumsi rumah tangga karena harga jual barang di konsumen akhir meningkat,” kata pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, Kamis (6/5/2021).
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen: Antara Mimpi dan Ilusi
Menurut Bhima, semestinya pemerintah mengeluarkan kebijakan PPN ditanggung pemerintah atau DTP sebagai bagian dari stimulus fiskal untuk meningkatkan konsumsi dan gairah berbelanja masyarakat di sektor retail. Bukannya malah menaikkan tarif PPN.
Menurut Bhima, konsumsi rumah tangga masih mengalami kontraksi minus -2,23 persen (year-on-year/yoy) di kuartal I/2021. Daya beli masyarakat juga masih rendah, ditunjukkan dari perkembangan sektor retail yang menurun minus 0,24 persen yoy pada periode yang sama. “Bila tarif PPN naik malah bisa bikin blunder ke pemulihan ekonomi,” kata Bhima.
Sementara itu, pengamat perpajakan dari PajakOnline Consulting Group Abdul Koni mengatakan, pemerintah perlu menunda rencana kenaikan PPN.
“Momentumnya belum tepat karena masih resesi di tengah pandemi, di mana daya beli masyarakat melemah. Efeknya kontra bagi perpajakan dan perekonomian nasional,” kata Koni, Managing Partners & Director PajakOnline Consulting Group kepada Beritaneka hari ini.
Koni menyebutkan, Indonesia masih resesi. mengacu pada data BPS perekonomian Indonesia masih mengalami kontraksi atau minus 0,74%. Kontraksi PDB Indonesia terus terjadi selama empat kuartal beruntun. Artinya, Indonesia masih berada dalam kondisi resesi ekonomi.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I-2021 Minus 0,74%, Indonesia Masih Resesi
Resesi adalah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi minus dua kuartal berturut-turut akibat menurunnya daya beli masyarakat. Pertumbuhan ekonomi minus yang dialami Indonesia sudah terjadi sejak kuartal II-2020 yaitu minus 5,32%. Kontraksi pertumbuhan ekonomi berlanjut ke kuartal III-2020 minus 3,49% dan minus 2,19% pada kuartal IV-2020.
Koni yang juga mantan auditor senior Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini mengatakan, untuk meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah sebaiknya intens mengejar para wajib pajak besar (orang-orang kaya raya atau super kaya) yang belum patuh atau taat pajak dan terus mengejar pajak penghasilan (PPh) perusahaan platform digital asing yang telah mengambil keuntungan signifikan di Indonesia, seperti Youtube, Facebook, Google, Zoom, dan lainnya yang potensi pemajakannya mencapai triliunan rupiah. (el)