Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Ekonomi Indonesia sedang kritis. Bahkan sudah kritis jauh sebelum pandemi covid-19. Pandemi hanya sebagai pemicu ledakan bom waktu.
Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2021 (Q1/2021) minus 0,74 persen dibandingkan Q1/2020. Minus empat kuartal berturut-turut. Q2/2021 bisa membuat pemerintah agak sedikit lega. Karena pertumbuhan Q2/2021 akan positif. Tetapi bukan berarti pertumbuhan ekonomi sudah pulih. Pertumbuhan Q3/2021 bisa anjlok lagi.
Tetapi, masalahnya bukan di pertumbuhan ekonomi. Permasalahan yang kronis ada di keuangan negara. Permasalahan fiskal. Keuangan negara dalam kondisi sangat kritis. Secara teknis dapat dikatakan bangkrut.
Penjelasannya begini. Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB turun dari 11,4 persen (2014) menjadi 9,8 persen (2019). Kemudian anjlok menjadi hanya 8,3 persen (2020). Dan anjlok lagi menjadi 7,3 persen (Q1/2021). Kritis.
Baca juga: Meluruskan Makna Utang Pemerintah: Terobos Lampu Merah
Di lain sisi, rasio beban bunga terhadap PDB naik terus membebani anggaran yang terus menciut. Naik dari 1,3 persen (2014) menjadi 1,7 persen (2019). Kemudian naik lagi menjadi 2 persen (2020 dan Q1/2021). Beban bunga ini pun sudah dibantu oleh Bank Indonesia, yang kasih utang ke pemerintah tanpa bunga, atau dengan suku bunga ringan.
Akibatnya, defisit anggaran dan utang pemerintah melonjak. Karena penurunan penerimaan negara tidak diikuti penurunan belanja negara yang masih tetap tinggi. Defisit anggaran tahun 2020 mencapai 6,2 persen dari PDB. Defisit 2021 dianggarkan 5,7 persen.
Defisit anggaran tersebut membuat rasio utang pemerintah terhadap PDB naik tajam, dari 24,7 persen (2014) menjadi 30,2 persen (2019). Dan melonjak menjadi 39,4 persen (2020). Diperkirakan akhir tahun 2021 ini rasio utang mencapai 46 persen hingga 48 persen dari PDB.
Oleh karena itu, sulit disanggah kondisi fiskal saat ini sedang kritis. Bahkan sulit terselamatkan. Semua pilihan kebijakan akan berakibat buruk. Berakibat resesi. Mari kita lihat lebih detil, kebijakan apa saja yang bisa menjadi pilihan.
Defisit anggaran lambat laun akan kembali ke batas maksimal 3 persen dari PDB. Saat ini defisit anggaran sekitar 6 persen dari PDB. Berarti akan ada pengurangan defisit sebesar 3 persen dari PDB. Yang cuma dapat dicapai dengan dua cara.
Pertama, memangkas belanja negara. Defisit saat ini sekitar 6 persen. Untuk mendapatkan defisit 3 persen, maka belanja negara harus turun sekitar 3 persen (dari PDB), atau sekitar Rp450 triliun. Akibatnya, ekonomi akan kontraksi. Bisa turun 3 sampai 6 persen.
Karena setiap penurunan 1 persen konsumsi (dari PDB), ekonomi bisa kontraksi antara 1 sampai 2 persen, bahkan bisa lebih. Kalau pemerintah ada hitungan lain, mohon penjelasannya.
Kedua, defisit anggaran bisa dikurangi dengan menaikkan pendapatan negara. Dengan cara menaikkan pajak. Yang paling mudah dan mungkin efektif menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Seperti sekarang yang sedang diinisiasi, dan dibahas di DPR.
Kalau ini terjadi, maka penerimaan pajak (PPN) akan naik, dan defisit anggaran berkurang. Utang juga berkurang. Tetapi, akibatnya lebih buruk dari pengurangan utang dengan memangkas belanja negara, seperti dijelaskan pada butir pertama di atas. Karena, kenaikan PPN berbuah inflasi. Daya beli turun.
Kenaikan PPN akan membuat konsumsi masyarakat turun sebesar kenaikan PPN yang masuk ke kas negara. Dampaknya, setiap penurunan 1 persen konsumsi masyarakat (dari PDB) untuk menambal defisit anggaran, ekonomi akan kontraksi sekitar 2 persen hingga 3 persen.
Baca juga: BUMN dan Pemerintah: Mesin Utang Luar Negeri
Itu menurut sebuah kajian di Amerika Serikat. Bagaimana di Indonesia? Apa konsekuensi kebijakan kenaikan PPN terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan serta ketimpangan sosial?
Kenaikan pajak membuat pertumbuhan ekonomi melemah, merupakan hal tidak terbantahkan. Karena pajak dan pertumbuhan ekonomi mempunyai korelasi negatif. Kalau pajak naik, pertumbuhan ekonomi akan turun. Kalau pajak turun, pertumbuhan ekonomi akan naik. Makanya pajak merupakan instrumen utama kebijakan fiskal.
Dengan demikian, kita sudah harus siap siaga menghadapi krisis dan resesi berkepanjangan di 2022. Seiring dengan diberlakukannya kenaikan dan perluasan PPN.
Pilihan ketiga adalah mempertahankan status quo. Kebijakan fiskal berjalan seperti sekarang. mempertahankan defisit anggaran tinggi. Peraturan dan UU yang menghalangi akan diubah. Kalau ini menjadi pilihan, maka keuangan negara dipastikan juga ambruk. Utang menggunung. Mungkin Bank Indonesia harus terus cetak uang. Inflasi akan melonjak. Kepercayaan luar negeri luntur. Devisa kabur. Selamat datang 1998.