Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Utang luar negeri Indonesia menanjak terus. Iramanya seperti lagu anak-anak yang sangat populer. Naik-naik ke puncak gunung. Beberapa rasio utang luar negeri menunjukkan angka cukup mengkhawatirkan. Sudah over borrowing. Kata Bapak Kamrussamad, anggota DPR komisi XI.
Kenaikan utang luar negeri memang cukup pesat. Naik dari 141,2 miliar dolar AS pada 2007 menjadi 422,6 miliar dolar AS pada Februari 2021. Naik tiga kali lipat dalam 13 tahun. Kenaikan nominal utang luar negeri ini juga diikuti kenaikan rasio utang luar negeri. Berarti risiko utang luar negeri meningkat. Pertama, rasio pembayaran utang jangka pendek ditambah cicilan bunga terhadap ekspor (debt service ratio) naik dari 17,1 persen (2010) menjadi 27,9 persen (2020). Kalau dihitung berdasarkan pembayaran triwulanan, rasio utang luar negeri terhadap ekspor tersebut naik menjadi 30,1 persen. Artinya, risiko utang luar negeri semakin besar.
Kedua, rasio utang luar negeri terhadap ekspor naik dari 114,9 persen (2010) menjadi 215,2 persen (2020). Lonjakan kenaikan terjadi pada periode 2018-2020 yang naik dari 160,8 persen (2018) menjadi 183,32 persen (2019) dan kemudian naik lagi menjadi 215,2 persen (2020).
Kenaikan rasio ini menunjukkan pendapatan dolar (devisa) untuk membayar utang luar negeri semakin lemah. Karena utang luar negeri lebih banyak digunakan untuk aktivitas non-ekspor. Terjadi mismatch. Kalau sedikit tidak masalah. Tetapi lonjakan rasio ini menunjukkan bersifat struktural. Sangat berbahaya. Memang utang luar negeri pemerintah tidak untuk membiayai ekspor, karena praktis pemerintah tidak ada ekspor.
Sebagai konsekuensi, keperluan devisa untuk pembayaran utang luar negeri lebih mengandalkan utang luar negeri lagi. Ada yang memberi istilah ‘gali lobang tutup jurang’.
Ketiga, rasio utang luar negeri terhadap PDB juga naik tajam, dari 26,6 persen (2010) menjadi 39,4 persen (2020). Artinya, kenaikan utang luar negeri jauh lebih cepat dari kenaikan produksi nasional. Artinya, penggunaan utang luar negeri kurang produktif dalam meningkatkan ekonomi.
Dari ketiga rasio yang semuanya meningkat tajam dapat dikatakan pengelolaan utang, khususnya utang luar negeri, tidak dikendalikan dengan baik. Slogan yang mengatakan utang luar negeri dikelola dengan prudent, dengan hati-hati, tidak terbukti. Hanya slogan kosong.
Karena, faktanya, BUMN dan pemerintah berperan sebagai motor kenaikan utang luar negeri sejak 2015. Kenaikan utang luar negeri dari BUMN dan pemerintah jauh lebih besar dari kenaikan utang luar negeri swasta non-BUMN. Dan terkesan ‘ugal-ugalan’. Mencapai 24 miliar dolar AS pada 2017.
Utang luar negeri BUMN dan pemerintah yang lepas kendali ini menempatkan ekonomi Indonesia dalam bahaya. Kenaikan cadangan devisa ternyata semu. Karena diperoleh dari utang (luar negeri). Ketika asing stop memberi utang lagi, atau stop membeli surat utang korporasi BUMN dan surat utang negara, maka dapat memicu krisis valuta, krisis moneter dan krisis ekonomi.
Risiko tersebut semakin mendekati kenyataan. Mengingat menteri Keuangan sudah minta ‘arahan’ dan ‘bimbingan’ IMF dan Bank Dunia untuk menghadapi utang yang terus membengkak. Apakah artinya Indonesia akan minta ‘bail-out’? Kalau kondisi ekonomi terus memburuk, sangat mungkin sekali Indonesia akan menjadi pasien IMF lagi. Bukan karena pandemi. Tetapi karena salah kelola. Karena kenaikan utang luar negeri ‘ugal-ugalan’ sudah terjadi sejak 2015.