Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Pemerintah harus segera melakukan reformasi secara fundamental terhadap kebijakan fiskal untuk menyelamatkan perekonomian tanpa menimbulkan guncangan besar.
Beritaneka.com—Perekonomian Indonesia menunjukkan tren melemah dalam lima belas tahun terakhir (2005-2019). Salah satu penyebab utama pelemahan tersebut karena harga komoditas andalan ekspor Indonesia turun tajam sejak 2011, terutama harga batu bara, kelapa sawit, dan karet, yang menyumbang hampir 40 persen dari total ekspor nonmigas (minyak dan gas) pada tahun 2011.
Harga komoditas awalnya naik pesat hingga pertengahan 2008 menyusul relaksasi kebijakan moneter global, khususnya Bank Sentral AS, the FED, pada masa Alan Greenspan. Harga komoditas kemudian turun tajam menyusul krisis keuangan global, mendekati harga awal tahun 2004.
Beruntung, penurunan tajam harga komoditas ini tidak berlangsung lama. Kebijakan global quantitative easing (QE) untuk melawan resesi global pada 2007/2008 membuat harga komoditas kembali naik.
Gelombang kedua boom komoditas ini berlangsung hingga awal 2011 sebelum turun tajam menyusul dihentikannya QE. Akibatnya, nilai ekspor Indonesia juga terus turun dari 203 miliar dolar AS pada 2011 (tertinggi) menjadi hanya 145 miliar dolar AS pada 2016.
Sejalan dengan penurunan harga komoditas dan nilai ekspor, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) secara nominal juga turun dari rata-rata 19,6 persen per tahun pada periode lima tahun pertama (2005-2009), menjadi 12,5 persen pada periode lima tahun kedua (2010-2014) dan 8,43 persen pada periode lima tahun ketiga (2015-2019).
Akibatnya, penurunan pertumbuhan PDB nominal diikuti oleh penurunan pertumbuhan pendapatan pemerintah dari rata-rata 17,5 persen per tahun (2005-2009) menjadi 12,9 persen (2010-2014) menjadi 5,0 persen (2015-2019). Hal ini menyebabkan rasio pendapatan pemerintah terhadap PDB turun tajam, setelah mengalami kenaikan di awal tahun 2000-an.
Rasio pendapatan pemerintah terhadap PDB mencapai 19,8 persen pada tahun 2008, yang merupakan rasio tertinggi sejak tahun 2000-an. Selanjutnya, rasio ini terus turun menjadi 15,4 persen pada 2014,12,4 persen pada 2019, dan mencapai rasio terendah 10,6 persen pada 2020. Rasio yang rendah ini menunjukkan bahwa fiskal dan keuangan negara dalam kondisi buruk dan berpotensi memicu krisis fiskal.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB juga semakin memburuk, yang awalnya turun tajam dari 47,1 persen pada 2005 menjadi 24 persen pada 2012, namun kemudian meningkat lagi menjadi 30,2 persen pada 2019, dan melonjak menjadi sekitar 39,4 persen pada 2020.
Kurva utang pemerintah ini juga sejalan dengan kurva rasio beban bunga terhadap PDB yang turun dari 2,6 persen pada 2005 menjadi 1,2 persen pada 2012, namun kemudian meningkat menjadi 1,7 persen pada tahun 2019 dan kemudian meningkat tajam menjadi 2,0 persen pada 2020.
Perlu dicatat bahwa beban bunga dalam anggaran fiskal 2020 tidak mencerminkan angka yang seharusnya. Pasalnya, defisit anggaran 2020 sebagian besar ditanggung oleh Bank Indonesia (BI) yang diharuskan membeli surat utang negara di pasar perdana atau sebagai non-competitive bidder.
Artinya, BI wajib membeli surat utang negara jika pembeli yang berminat terlalu sedikit. Secara keseluruhan, BI telah menyerap Rp650 triliun (sekitar 45,8 miliar dolar AS) dari total defisit anggaran sebesar Rp956 triliun. Sebagian besar surat utang negara ini tidak dikenakan bunga karena untuk pembiayaan public goods. Pembiayaan fiskal melalui penciptaan uang ini, jika berlebihan, sangat berbahaya bagi perekonomian.
Selain menimbulkan inflasi dalam jangka menengah, pembelian surat utang negara di pasar perdana akan berdampak negatif terhadap neraca BI dan dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor internasional. Karena kebijakan ini bukan merupakan bagian dari kebijakan moneter, maka BI akan kesulitan untuk menyerap kembali kelebihan uang beredar ketika perekonomian mulai membaik yang akan memicu inflasi.
Kondisi fiskal dan keuangan pemerintah seperti dijelaskan di atas sangat rapuh. Di satu sisi, rasio penerimaan pemerintah terhadap PDB turun tajam menjadi hanya 10,6 persen pada tahun 2020.
Di sisi lain, rasio beban bunga terhadap PDB terus membengkak dan mencapai 2,0 persen pada tahun 2020. Artinya, sisa pendapatan pemerintah yang tersedia untuk belanja negara hanya 8,6 persen dari PDB, seandainya pemerintah memberlakukan anggaran berimbang.
Namun hal tersebut hampir tidak mungkin terjadi karena jauh di bawah realisasi rasio belanja pemerintah di masa lalu yang mencapai rata-rata 18,8 persen per tahun pada 2005-2009, 17,5 persen pada 2010-2014, 15 persen pada 2015-2019, dan 16,9 persen pada 2020.
Untuk mempertahankan tingkat belanja pada tahun 2020, pemerintah diperkirakan memberlakukan kebijakan fiskal yang cukup agresif sehingga akan meningkatkan utang pemerintah terhadap PDB hingga sekitar 52 persen pada tahun 2022, mendekati batas maksimum yang dibolehkan undang-undang sebesar 60 persen, yang kemungkinan akan terlampaui oleh 2023.
Selanjutnya, rasio penerimaan pemerintah terhadap PDB yang sangat rendah, yaitu sekitar 10,6 persen pada 2020, dengan tren menurun, niscaya akan menimbulkan masalah fiskal yang serius yang dapat berujung pada resesi. Masalah menjadi semakin kompleks ketika beban bunga terus meningkat.
Rasio beban bunga terhadap PDB yang sebesar 2 persen setara dengan 19,2 persen dari total pendapatan pemerintah, yang jauh lebih besar dari acuan ketahanan fiskal menurut IMF dengan batas maksimum 10 persen.
Terakhir, keseimbangan primer yang terus menerus mengalami defisit dari tahun 2012 hingga 2020 juga semakin memburuk. Defisit keseimbangan primer tahun 2020 memburuk, mencapai 4,2 persen dari PDB, dan diperkirakan defisit akan tetap besar pada 2021 dan 2022.
Semua indikator di atas menunjukkan bahwa kondisi fiskal tidak sustain sehingga membutuhkan perubahan drastis. Pemerintah harus segera melakukan reformasi secara fundamental terhadap kebijakan fiskal untuk menyelamatkan perekonomian tanpa menimbulkan guncangan besar.
Untuk mengatasi masalah fiskal ini, pemerintah tidak punya pilihan lain selain meningkatkan penerimaan pemerintah karena ini adalah sumber utama masalah fiskal. Mengurangi pengeluaran pemerintah dan defisit anggaran tidak akan menyelesaikan masalah ekonomi saat ini. Sebaliknya, hal itu akan menimbulkan guncangan besar bagi ekonomi.
Upaya peningkatan penerimaan pemerintah harus dilakukan melalui peningkatan pajak. Penerimaan perpajakan saat ini menyumbang sekitar 80 persen dari total pendapatan pemerintah. Pendapatan lainnya berasal dari sumber daya alam yang jumlahnya sangat bergantung pada harga komoditas. Dan pendapatan dari sumber daya alam cenderung menurun dalam jangka panjang. Oleh karena itu, tidak dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan utama pemerintah.
Yang lebih mengkhawatirkan, pemerintah malah mengambil kebijakan yang berlawanan. Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah sangat agresif memberikan insentif fiskal dan stimulus pengurangan pajak guna menarik investasi.
Kebijakan-kebijakan ini tentunya akan menurunkan penerimaan pajak dan memperburuk perekonomian, khususnya jika insentif fiskal tersebut gagal meningkatkan investasi secara signifikan seperti yang terjadi sejak 2015.(el)