Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Beritaneka.com—Judul di atas bukan pertanyaan kepada DPR atau BPK. Karena pertanyaan-pertanyaan publik melalui surat terbuka kepada “perwakilan rakyat” tersebut nampaknya tidak pernah dilayani. Mungkin pertanyaan harus diajukan secara langsung melalui tatap muka, baru bisa ada jawaban.
Judul dengan tanda tanya di atas hanya sebagai keyakinan penulis saja, bahwa pengelolaan dana haji melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang dibentuk melalui undang-undang tentang Pengelolaan Keuangan Haji bertentangan dengan undang-undang tentang Keuangan Negara. Semoga para ahli hukum dapat dan mau mengkonfirmasi atau membantah pendapat di atas.
Tulisan ini saya mulai dengan mengajukan dua pertanyaan. Pertama, apakah dana haji yang dikumpulkan dan dikelola oleh BPKH merupakan milik swasta atau milik negara? Pertanyaan kedua, apakah BPKH adalah sebuah badan atau organisasi swasta atau negara (publik)?
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen: Antara Mimpi dan Ilusi
Kedua pertanyaan ini sangat penting sebagai dasar hukum pengelolaan keuangan haji yang diperoleh dari calon jemaah haji.
Saya asumsikan, dan dalam hal ini banyak pihak yang setuju, bahwa dana haji yang dihimpun dari calon jemaah haji adalah dana swasta. Untuk pertanyaan kedua, saya juga asumsikan bahwa BPKH adalah sebuah badan yang merupakan bagian dari pemerintah, atau badan pemerintah.
Karena BPKH yang didirikan berdasarkan undang-undang (UU) No 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji merupakan sebuah badan hukum publik (pasal 20 ayat 2) yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri (pasal 20 ayat 3). Yang dimaksud dengan Menteri adalah Menteri Agama. Artinya, BPKH adalah badan pemerintah di bawah Kementerian Agama.
Kalau kondisi di atas benar, yaitu dana haji adalah dana swasta dan BPKH adalah badan pemerintah, maka pengelolaan dana haji oleh BPKH seharusnya bertentangan dengan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Karena pemerintah, termasuk pemerintah daerah, lembaga / lembaga tinggi negara, kementerian, badan, dan lainnya yang termasuk unsur pemerintah hanya boleh memungut pendapatan negara yang telah ditetapkan oleh undang-undang (Pasal 8 huruf e), dan yang hanya terdiri dari tiga jenis. Yaitu 1. pendapatan pajak, pendapatan bukan pajak dan 3. hibah.
Sedangkan dana haji bukan merupakan ketiganya. Sehingga pemerintah yang diwakilkan oleh BPKH seharusnya tidak boleh memungut, tidak boleh menerima atau bahkan menampung dana haji di rekening atas nama badan pemerintah, dan, oleh karena itu, tidak boleh mengelola dana haji yang merupakan dana swasta.
Sehingga penunjukkan BPKH sebagai badan untuk mengelola keuangan haji bertentangan dengan UU Keuangan negara.
Yang lebih keliru lagi, pertanggungjawaban pengelolaan dana (keuangan) haji harus dilaporkan kepada Presiden dan DPR melalui Menteri (Agama) setiap 6 bulan (Pasal 52 ayat 5). Dan harus diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 52 ayat 6): BPK.
Keliru karena Presiden, DPR dan BPK seharusnya tidak ada urusan dengan, dan tidak boleh mengurusi dana haji yang merupakan dana (keuangan) swasta. Presiden, DPR dan BPK seharusnya hanya boleh mengurusi keuangan negara yang pengelolaannya memang harus dipertanggungjawaban kepada publik. Karena, merugikan keuangan negara bisa dianggap sebagai tindak pidana korupsi.
Baca juga: Meluruskan Makna Utang Pemerintah: Terobos Lampu Merah
Hal ini tidak berlaku bagi pengelolaan keuangan swasta. Karena, kerugian keuangan swasta bukan termasuk kerugian negara. Misalnya, kalau terjadi kerugian dalam pengelolaan dana haji, baik disengaja maupun tidak sengaja, tidak menjadi temuan sebagai kerugian negara karena memang dana haji bukan keuangan negara. Bukankah seperti itu?
Sehingga pengelola keuangan dana haji, dalam hal ini BPKH, tidak bisa diminta pertanggungjawabannya sebagai pejabat publik atas kerugian yang terjadi, sehingga tidak bisa dituntut sebagai tindak pidana korupsi. Bukankah begitu?
Oleh karena itu, UU tentang Pengelolaan Keuangan Haji seharusnya batal demi hukum.