Oleh : Salamuddin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Beritaneka
Beritaneka.com—Bayangkan saja ditengah pandemi Covid 19 Pertamina digenjet berbagai pungutan oleh pemerintah. Lebih dari Rp. 110 triliun yagg harus dibayar Pertamina kepada pemerintah dalam semester I tahun 2021. Dua pertiga dari yang dibayar Pertamina tersebut adalah pajak dan pungutan yang harus dipungut kepada rakyat, sepertiga adalah bagi hasil atas minyak mentah yang digali Pertamina.
Sementara keuantungan Pertamina makin menipis, pada saat yang sama pajak pungutan penerintah makin menebal. Tidak ada ruang bagi Pertamina untuk lebih fleksibel dalam menghadapi badai Covid-19. Pada tahun lalu penjualan BBM Pertamina menurun drastis lebih dari 25 persen. Penurunan terbesar sepanjang sejarah Pertamina.
Keuntungan Pertamina sendiri hanya hitungan ratusan juta dolar. Untuk sebuah perusahaan dengan belanja atau pengeluaran lebih dari Rp. 1200 triliun keuntungan sebesar itu sangatlah minim. Tidak sebanding dengan keuntungan para penyumplai minyak impor.
Baca juga: Mengapa Jokowi Gagal Meraih Prestasi dalam Isu Perubahan Iklim?
Beban pungutan yang begitu besar, PPN, PPH, PBBKB, dan berbagai pungutan lainnya, termasuk bagi hasil grossplit yang dibebankan kepada Pertamina membuat perusahaan ini meradang. Kondisi keuangan perusahaan memaksa memotong belanja hingga Rp80 triliun di tahun 2021. Disaat yang sama beban operasional meningkat, beban bunga meningkat.
Berbagai kecelakaan kerja yang dialami Pertamina yang begitu banyak belakangan ini, mulai dari kebakaran 3 kilang berturut-turut yakni Balikpapan, Balongan dan Cilacap. Kebocoran ONWJ yang berlanjut dan kebocoran Rokan setelah beberapa hari Pertamina mengambil rokan dari Chevron. Kesemua itu patut dilihat sebagai hukum sebab akibat. Belanja kurang onderdil bisa jadi dikorbankan. Morgan indeks mengeluarkan Pertamina dari perusahaan yang aman untuk investasi.
Baca juga: Penghianatan Menteri, Jokowi Harus Belajar dari Soeharto
Terlebih rakyat yang harus menerima dampak dari pungutan yang melewati Pertamina, para kosumen BBM, konsumen gas, dll, harus membayar setiap tetes konsumsi mereka atas kebutuhan dasar karena dipungut pada saat mereka membeli bahan bakar. Pajak dan pungutan yang tidak kembali kepada Pertamina apalagi kepada rakyat. Pajak dan pungutan yang habis buat bayar utang luar negeri.
Kata Sri Mulyani utang pemerintah bisa dibayar asalkan rakyat bayar pajak. Sedap sekali jadi menteri keuangan ini.
Seharusnya di tengah pandemi ini pemerintah berhenti memungut pajak dan pungutan seabrek atas barang barang publik, barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak, barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dasar rakyat. Pajak dan pungutan semacam itu adalah berwatak kolonial yang bertentangan semangat kemerdekaan dan keadilan soaial.