Beritaneka.com, Jakarta —Pemerintah telah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertalite bersubsidi dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10 ribu per liter, Solar subsidi dari Rp5.150 per liter jadi Rp6.800 per liter, Pertamax nonsubsidi naik dari Rp12.500 jadi Rp14.500 per liter berlaku pada Sabtu 3 September 2022.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan kenaikan harga BBM akan memicu inflasi secara langsung pada bulan September, bahkan dapat membuat inflasi secara tahunan (year-on-year/yoy) naik hingga 7,7 persen.
Baca Juga:
- Anies Izinkan Warga Jakarta Bangun Rumah 4 Lantai
- Industri Baterai Listrik Indonesia Siap Produksi Massal Mulai Tahun 2025
- Kenaikan Harga BBM, Kebijakan Blunder Nan Fatal
- Pemerintah Bisa Alihkan Subsidi BBM untuk Kendaraan Listrik
- Bank Indonesia Siapkan Rupiah Digital
- Pembangunan PLTU Baru Dilarang, Ini Kata Pengusaha Batu Bara
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment INDEF Ahmad Heri Firdaus mengungkapkan berdasarkan perhitungannya, kenaikan harga BBM tetap akan meningkatkan inflasi. Meskipun terdapat penyaluran bantuan sosial senilai Rp24,7 triliun, lonjakan inflasi tetap tidak terhindarkan.
“Inflasi tahunan (2022) bisa mencapai 7,7 persen,” kata Ahmad dalam diskusi publik Indef bertema Dampak Kenaikan Harga BBM dan Isu Penghapusan Daya Listrik 450 VA, Rabu (21/9/2022).
INDEF memperkirakan akan terjadi kenaikan inflasi 1,86 persen pada September 2022, bulan terjadinya kenaikan harga BBM. Dampaknya akan tetap terasa dalam beberapa bulan setelahnya, yakni penambahan inflasi 1,2 persen pada Oktober 2022, 0,8 persen pada November 2022, dan 0,9 persen pada Desember 2022.
Ahmad mengatakan lonjakan inflasi mulai dari September 2022 bukan hanya memengaruhi inflasi tahunan secara signifikan, tetapi juga berpotensi pada inflasi bulan-bulan awal 2023. “Hal tersebut perlu diwaspadai oleh pemerintah,” katanya.
INDEF menilai dampak inflasi dari kenaikan harga BBM tidak boleh dipandang remeh. Apalagi, lanjutnya, garis kemiskinan dapat meningkat jika laju inflasi naik tinggi. Dengan demikian, terdapat risiko tingkat kemiskinan akan kembali meningkat pasca pemerintah menaikkan harga BBM subsidi pada 3 September 2022. “Tingkat kemiskinan akan meningkat lagi pada September 2022, bahkan berpotensi melebihi tingkat kemiskinan waktu pandemi Covid-19,” kata Ahmad.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Beritaneka.com, Jakarta —Pemerintah menaikkan harga pertalite dan solar, masing-masing lebih dari 30 persen, pada 3 September yang lalu. Pertalite naik dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter, atau naik Rp2.350 per liter. Solar naik dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter, atau naik Rp1.650 per liter.
Kenaikan harga BBM yang sangat tinggi ini diperkirakan hanya membuat pendapatan negara naik Rp31,75 triliun, sampai akhir tahun ini. Dengan asumsi, sisa konsumsi pertalite 10 juta KL dan solar 5 juta KL.
Kenaikan pendapatan negara yang hanya Rp31,75 triliun tersebut sangat tidak berarti bagi pemerintah. Nilainya sangat rendah, jauh di bawah anggaran subsidi, yang menurut pengakuan pemerintah, mencapai Rp502 triliun, dan yang akan membengkak menjadi Rp700 triliun, katanya. Jumlah Rp31,75 triliun ini tidak signifikan, dan tidak berarti, untuk dapat menambal APBN yang akan ‘jebol’.
Di lain sisi, biaya sosial akibat kenaikan harga BBM yang harus ditanggung oleh semua elemen bangsa ini sangat mahal. Demo terjadi di mana-mana, di kota-kota besar di seluruh Indonesia, sangat buruk.
Rp31,75 triliun sangat kecil bagi pemerintah, tetapi sangat besar bagi masyarakat kelompok bawah, atau masyarakat miskin pengguna pertalite dan solar. Apalagi, di tengah kesulitan ekonomi dan inflasi pangan yang sangat tinggi, mencapai lebih dari 10 persen, serta kenaikan pajak PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April yang lalu.
Kemudian, dampak kenaikan harga BBM juga akan membuat inflasi naik lebih tinggi lagi. Sedangkan gaji buruh relatif tidak naik. Daya beli anjlok, khususnya daya beli kelompok masyarakat menengah bawah, termasuk petani, nelayan, usaha mikro dan kecil, dan sektor informal. Tingkat kemiskinan nasional pasti naik.
Dalam kondisi daya beli masyarakat terpuruk, pemerintah seharusnya mengambil kebijakan fiskal ekspansif, defisit APBN meningkat, dan belanja negara dan subsidi naik.
Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, kebijakan fiskal kontraktif, APBN sampai dengan Juli 2022 surplus Rp106 triliun. Dan, belanja negara (riil) mengalami kontraksi, atau minus 6,27 persen, pada semester pertama 2022.
Padahal, penerimaan negara naik sangat tinggi, Rp519 triliun selama 7 bulan pertama 2022, atau naik 50,3 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Kenaikan pendapatan negara yang sangat tinggi tersebut disebabkan karena kenaikan harga komoditas dunia yang melonjak tajam. Indonesia sebagai produsen komoditas mendapat berkah besar dari ‘durian runtuh’ ini. Tetapi, rejeki tersebut tidak terdistribusi dengan baik dan adil kepada rakyat. Yang malah terjadi, rakyat mendapat musibah, dibebani kenaikan harga pangan dan harga BBM.
Betapa malang nasib rakyat kecil Indonesia.
Beritaneka.com, Jakarta —Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyatakan pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM) bisa dialihkan untuk biaya konversi ke kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB).
Hal ini dilakukan untuk mendorong percepatan penggunaan KBLBB secara massal di Indonesia. Menhub Budi menyebutkan, saat ini tengah berdiskusi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk memberikan insentif pada program konversi motor listrik, baik untuk Kementerian/Lembaga (K/L) atau masyarakat secara umum.
“Kami bersama Kementerian/Lembaga dan unsur terkait, tengah berdiskusi mengupayakan ada subsidi untuk melakukan konversi dari kendaraan BBM ke kendaraan listrik. Khususnya untuk sepeda motor,” kata Budi Karya saat menghadiri program konversi sepeda motor BBM ke listrik yang diinisiasi oleh Kementerian ESDM, dikutip Selasa (20/9/2022).
Menhub menjelaskan, subsidi konversi kendaraan listrik dapat dilakukan dari pengalihan alokasi anggaran subsidi BBM.
“Dari pemerintah daerah juga bisa menginisiasi untuk mengalihkan anggaran yang kurang produktif, agar dialihkan untuk memberikan subsidi biaya konversi ke kendaraan listrik,” kata dia.
Dia menyebut, saat ini biaya untuk konversi sepeda motor BBM ke listrik masih cukup tinggi, yaitu sekitar Rp15 juta. Namun demikian, jika permintaan kian meningkat, dan bengkel-bengkel yang mampu melayani konversi sudah semakin banyak, diharapkan harganya akan semakin kompetitif.
Selain itu, Budi menyampaikan, Kemenhub mempercepat hadirnya KBLBB secara massal di Indonesia yaitu dengan menerapkan biaya uji tipe yang lebih murah untuk kendaraan listrik dibandingkan dengan kendaraan konvensional (BBM).
Misalnya, untuk biaya uji tipe sepeda motor listrik sebesar Rp4,5 juta, dibandingkan sepeda motor konvensional sebesar Rp9,5 juta. “Ke depan kita upayakan uji tipe digratiskan. Lalu, kita upayakan juga uji tipe tidak hanya dilakukan oleh Kemenhub, tetapi bisa dilakukan di bengkel umum yang sudah tersertifikasi. Saat ini sudah berjalan untuk mendidik bengkel-bengkel tertentu untuk melakukan uji tipe,” ucapnya.
Sementara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, pihaknya tengah menggencarkan program konversi sepeda motor BBM ke listrik, berupa pembuatan komponen utama sampai ke bentuk produk jadi sepeda motor.
“Pada tahun 2022 ini dilakukan pilot project dengan target 120 unit sepeda motor listrik dan akan semakin massif di tahun 2023,” tuturnya.
Selain itu, pihaknya juga tengah melakukan pembinaan kepada para pelaku usaha bengkel, agar semakin banyak bengkel yang bisa melakukan konversi sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurutnya, sejumlah manfaat yang didapatkan dari penggunaan KBLBB ini diantaranya yaitu: secara biaya lebih hemat, lebih ramah lingkungan, dan mengurangi ketergantungan BBM yang harganya terus meningkat.
“Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) menjadi salah satu upaya pemerintah guna menghadapi perubahan iklim serta mewujudkan transisi energi bersih,” katanya.
Upaya percepatan juga dilakukan pemerintah, melalui Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah pada tanggal 13 September 2022.
Oleh Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Beritaneka.com, Jakarta —Bahan Bakar Minyak, BBM, merupakan barang kebutuhan (necessity goods) yang menguasai hajat hidup orang banyak. BBM dikonsumsi masyarakat luas, dari kendaraan pribadi hingga transportasi umum dan taksi, dari pertanian hingga nelayan, dan lain-lainnya.
BBM juga merupakan komponen biaya produksi dan distribusi yang cukup signifikan. Kalau harga BBM naik, biaya produksi dan distribusi juga akan naik, menyebabkan inflasi, membuat daya beli masyarakat tergerus. Di negara berkembang seperti Indonesia, kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan tingkat kemiskinan.
Di tengah kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah menaikkan harga pertalite dan solar pada 3 September lalu. Sangat tinggi, lebih dari 30 persen. Alasannya, untuk mengurangi subsidi BBM. Kalau tidak, APBN akan jebol, demikian alasan horor yang dikemukakan.
Apa benar APBN akan jebol? Tidak ada yang tahu. Lagi pula, apa artinya ‘jebol’? Pemerintah tidak transparan dalam menghitung neraca keuangan BBM. Berapa pendapatan dan subsidi BBM akibat kenaikan harga minyak mentah? Tidak jelas!
Kenaikan harga BBM ini langsung menuai protes dari masyarakat luas. Tentu saja ada juga yang mendukung.
Protes umumnya berasal dari kelompok bawah. Kenaikan harga BBM akan berakibat buruk bagi mereka. Jumlah kelompok bawah ini sangat besar, merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia.
Kelompok pendukung terkesan sangat liberal, harga BBM harus merujuk harga internasional, untuk mengurangi atau bahkan menghapus subsidi BBM. Selain itu mereka juga beralasan subsidi BBM tidak tepat sasaran, jadi harus dicabut. Tetapi dampaknya terhadap masyarakat miskin sepertinya kurang dipedulikan.
Jadi, berapa harga BBM yang pantas di Indonesia?
Apakah harus mengikuti harga internasional dengan mencabut subsidi, seperti yang dilakukan banyak negara maju antara lain Amerika Serikat, Eropa, Jepang, bahkan Singapore, Hong Kong atau Korea Selatan?
Atau sebaiknya meniru Malaysia, yang memberlakukan harga BBM (tertentu) cukup rendah bagi warganya?
Jawaban untuk itu, harusnya cukup sederhana. BBM adalah barang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Maka itu harga BBM wajib terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Terjangkau, artinya relatif dibandingkan dengan penghasilan masyarakat.
Kalau harga BBM di Indonesia setinggi di Singapore, sekitar Rp30.000 – Rp40.000 per liter, maka sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan BBM-nya untuk aktivitas sehari-hari. Karena penghasilan masyarakat Indonesia jauh lebih rendah dari masyarakat Singapore dan negara maju lainnya. Pendapatan per kapita Indonesia tahun 2021 hanya 4.292 dolar AS, sedangkan Singapore sudah mencapai 72.794 dolar AS, atau 17 kali lipat dari Indonesia.
Selain itu, menurut data Bank Dunia, jumlah rakyat miskin Indonesia mencapai 50,3 persen dari jumlah penduduk pada 2021, setara 138,9 juta orang, dengan pendapatan di bawah Rp1 juta per orang per bulan (atau 5,5 dolar AS, kurs PPP 2011). Sedangkan Singapore dan negara maju lainnya tidak ada penduduk miskin dengan pendapatan sebesar itu.
Dengan pendapatan per kapita yang sangat rendah, ditambah jumlah penduduk miskin yang sangat besar, mayoritas masyarakat Indonesia tidak mampu membeli BBM dengan harga internasional.
Meskipun harga BBM di Indonesia lebih rendah dari negara maju, tetapi rasio atau persentase pengeluaran BBM terhadap penghasilan bersih (disposable income) di Indonesia lebih tinggi dari negara maju.
Yang lebih memprihatinkan, kelompok masyarakat bawah menanggung beban kenaikan harga BBM jauh lebih berat dari kelompok atas. Menurut salah satu studi di Amerika Serikat, rasio pengeluaran BBM terhadap penghasilan masyarakat berpendapatan rendah bisa capai 11 sampai 38 persen dari penghasilan bersihnya. Sedangkan kelompok menengah atas hanya 2,8 hingga 4,9 persen saja.
Maka itu, kenaikan harga BBM akan membuat masyarakat miskin semakin bertambah miskin. Belum memperhitungkan inflasi yang akan melonjak akibat kenaikan harga BBM.
Bagi Indonesia dengan jumlah penduduk miskin sangat besar, kenaikan harga BBM dan pengurangan subsidi jelas akan membuat jumlah penduduk miskin meningkat.
Di samping itu, masyarakat pedesaan akan menanggung beban kenaikan harga BBM lebih besar dibandingkan masyarakat perkotaan. Kemiskinan pedesaan akan melonjak.
Maka itu, kenaikan harga BBM di tengah inflasi yang tinggi saat ini sangat tidak tepat. Mencabut subsidi BBM akan membuat masyarakat miskin menjadi lebih miskin, dan membuat jumlah penduduk miskin meningkat. Maka itu, mereka masih sangat perlu dibantu.
Artinya, menentukan harga BBM, barang yang menguasai hajat hidup orang banyak, wajib memperhatikan penghasilan masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan BBM untuk aktivitas sehari-hari, dan mempertahankan ekonomi sosial masyarakat agar tidak bertambah miskin.
Beritaneka.com, Jakarta —Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) harusnya tidak lebih dari 5 persen, sebagai bentuk pertimbangan kemampuan bayar masyarakat. Kenaikan lebih dari 5 persen dinilai akan memberatkan masyarakat. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad.
Menurut Tauhid, harga BBM memiliki peran penting karena akan berpengaruh terhadap semua lini. Kenaikan BBM sebesar apapun akan memberi pengaruh terhadap inflasi dan daya beli masyarakat, akibat harga yang terus naik.
“Solusinya, kalaupun ada kenaikan mestinya disesuaikan dengan daya beli masyarakat, misalnya kenaikan maksimal 5 persen, disesuaikan dengan GDP (gross domestik product),” kata Tauhid dalam rilis survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) secara virtual, Minggu (24/7/2022).
Baca Juga:
- Kabar Gembira! Pemerintah Perpanjang Insentif Pajak Lagi
- Mengukur Kebijakan “Spekulatif” BI Pertahankan Suku Bunga
- Wagub DKI Batasi Waktu Citayam Fashion Week sampai Jam 10 Malam
- Semester I-2022, Realisasi Investasi Capai Rp584,6 Triliun
- Integrasi KTP Jadi NPWP Resmi Berjalan
- Mendagri Dorong Kepala Daerah Dukung UMKM
Selain itu, pemerintah dan Pertamina mesti memaksimalkan sistem subsidi agar tepat sasaran. Sistem subsidi bisa diberikan berbasis orang, sehingga penerima subsidi jelas dan terukur. Jangan sampai subsidi pemerintah terhadap BBM jebol lebih dari Rp500 triliun.
“Program alokasi subsidi melalui My Pertamina harus efektif, kalau tidak nanti subsidi Rp500 triliun bisa jebol,” ujarnya.
Kendati begitu, dia pun menyoroti harga keekonomian BBM produksi Pertamina yang dinilai terlalu tinggi. Dia membanding dengan harga keekonomian BBM negara lain yang bisa ditekan sekecil mungkin.
“Kenapa harga keekonomian BBM di Indonesia ini sangat tinggi. Padahal ada beberapa negara bisa rendah. Jadi apakah program BBM kita belum efisien atau kurang tepat sasaran. Ini menjadi problem kita,” tutur dia. Terkait survei yang menyimpulkan susbidi BBM masih dibutuhkan masyarakat, dia menilai subsidi penting bagi warga miskin. Namun jangan sampai tidak tepat sasaran dan melemahkan masyarakat.