Opini Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Sistem ekonomi pasar murni yang dianut oleh negara barat seperti Amerika Serikat, terutama para penganut mahzab neo-classic, telah menghasilkan akumulasi kekayaan di negara-negara tersebut. Melalui sistem ini, pertumbuhan ekonomi negara dipacu dengan pesat.
Jika kita melihat lebih jauh, sistem ekonomi pasar bukannya tidak membawa korban. Aturan main dalam sistem ekonomi pasar adalah “survival of the fittest“, artinya yang kuatlah yang bisa bertahan. Yang menjadi faktor utama dalam sistem ekonomi pasar adalah kekuatan modal, dalam segala bentuknya. Korban dalam sistem ini tentunya pihak-pihak yang lemah dalam permodalan. Mereka tidak memiliki peluang untuk mengambil manfaat ekonomi dalam permainan itu, sehingga terjadi konsentrasi kekayaan yang tidak merata yang menghasilkan kesenjangan ekonomi yang lebar. Ini sudah terjadi di Indonesia. Keberadaan kelompok oligarki dan kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin merupakan wujud nyata dari hasil sistem ekonomi pasar murni yang diterapkan di Indonesia.
Lain lagi ceritanya di negara Jerman. Negara ini menerapkan sistem ekonomi pasar yang disebut dengan social market economy. Melalui sistem ini, ekonomi tetap bisa tumbuh pesat, tetapi dampak kesenjangan sosial bisa ditekan sejauh mungkin. Social market economy memungkinkan untuk ditekannya perbedaan pendapatan, kekayaan dan perbedaan status sosial di masyarakat. Sangat sulit ditemukan perbedaan antara kaya dan miskin di Jerman. Bahkan jika kita menelusuri kota-kota di sana, kesenjangan dalam kemajuan kota pun tidak terlihat. Sistem social market economy ini diterapkan setelah perang dunia kedua usai, setelah Jerman hancur lebur akibat perang. Semua kebijakan pemerintah Jerman yang menyangkut sistem ini, diarahkan untuk menekan kesenjangan ekonomi dan sosial di masyarakat. Usaha Kecil Menengah dan Koperasi merupakan pelaku usaha yang didorong betul dalam sistem ekonomi ini. Bahkan, rekanan utama pada industri otomotif di sana, seperti Mercedes-Benz dan BMW, adalah usaha kecil dan menengah.
Mercedes-Benz misalnya, punya program kerja sama dengan start-up atau usaha kecil. Pelaku usaha koperasi di sektor pertanian dan perbankan merupakan pelaku yang diperhitungkan kontribusinya terhadap perekonomian Jerman. Kebijakan “solidaritätszuchlag“, yaitu kontribusi masyarakat untuk menekan kesenjangan (berbagi untuk solidaritas), merupakan kebijakan yang sudah lumrah diterima oleh masyarakat Jerman.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita sudah mempunyai filosofi negara yang mengamanatkan keadilan sosial. Pada kenyataannya, sistem ekonomi kita menganut sistem ekonomi pasar murni, yang mengandalkan kekuatan modal. Sebagai akibatnya, tumbuhlah dengan subur para oligarki yang memiliki modal kuat, sehingga pelaku ekonomi seperti Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Koperasi menjadi tidak signifikan dalam perhelatan ekonomi di negeri ini. Pasal 33 UUD 1945 merupakan fondasi hukum bagi pelaku bisnis seperti UMKM dan Koperasi untuk berperan dalam perekonomian Indonesia. Tinggal sekarang kita mendorong realisasinya dalam praktek.
Kesenjangan antara kaya dan miskin, konsentrasi ekonomi yang berada pada kelompok minoritas serta penguasaan asset negara oleh sekelompok kecil masyarakat, merupakan sederetan masalah yang kita hadapi saat ini.
Masalah kesenjangan ekonomi lambat laun bisa merambat kepada masalah sosial dan politik. Jurang antara kaya dan miskin perlu dipersempit, sehingga kesetaraan dan keadilan di masyarakat bisa ditegakkan. Apa solusi yang tepat untuk masalah ini? Apakah social market economy merupakan model yang tepat untuk Indonesia?
Kementerian Koperasi dan UMKM mencatat, jumlah UMKM di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu. Jumlahnya setara dengan 99,99% dari total pelaku usaha. Sementara, usaha berskala besar hanya sebanyak 5.637 unit atau setara 0,01%. Angka ini menunjukkan bagaimana signifikannya UMKM dari sisi jumlah. Angka ini juga menunjukkan kesenjangan antara pelaku usaha di Indonesia. Koperasi juga tidak kalah pentingnya sebagai pelaku usaha. Di Bandung saja dikabarkan ada satu koperasi susu yang beranggotakan 9.000 UMKM. Ini menunjukkan bahwa koperasi adalah wadah untuk menghimpun jumlah yang banyak guna membangun perekonomian. Tetapi pada kenyataannya kontribusi koperasi pada perekonomian Indonesia pada tahun 2021 tercatat hanya 5,1%.
Jika kita pelajari koperasi di negara maju seperti di Jerman, Spanyol, Jepang maupun New Zealand, koperasi di sana termasuk pelaku usaha yang merupakan penyangga perekonomian negara. Bahkan, di New Zealand dikabarkan ada satu koperasi susu “Fonterra” yang menguasai 30% ekspor susu dunia. Koperasi ini adalah pelaku usaha terbesar di sana dan jelas merupakan tulang punggung perekonomian New Zealand.
Jika kita mengacu kepada konsep social market economy, kita bisa menarik pembelajaran. Sistem ini mengutamakan “kesetaraan”, sehingga jarak antara kaya dan miskin bisa diperkecil. Untuk kasus Indonesia, kesetaraan ini bisa diciptakan dengan mengangkat “produktivitas” ekonomi UMKM dan Koperasi, sehingga perannya dalam ekonomi menjadi signifikan. Perlu ditinjau kembali penyebab “stagnasi” perkembangan kedua jenis pelaku usaha ini. Koperasi dengan fungsinya sebagai instrumen efisiensi, bisa menciptakan “economic of scale” bagi UMKM.
Koperasi juga bisa menjadi alat bagi UMKM untuk menekan biaya produksi maupun kendaraan untuk meningkatkan posisi tawar UMKM di pasar. Mengadopsi kembali konsep “bapak angkat-anak angkat” atau model “plasma-inti”, bisa menjadi pertimbangan untuk “menarik” posisi UMKM dan Koperasi oleh Usaha Besar ke level ekonomi yang lebih tinggi, sebagaimana kasus Mercedes-Benz yang melibatkan start-up atau UKM dalam proses produksinya. Pemerintah bisa membuka jalan ke arah ini dengan memperkenalkan kebijakan dan regulasi yang pas untuk itu. Dengan demikian, posisi UMKM dan Koperasi bisa menjadi penyumbang yang berarti bagi perekonomian Indonesia, sekaligus sebagai pelaku penting untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan.