Beritaneka.com—Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengungkapkan, tes wawasan kebangsaan (TWK) mendadak muncul dalam rangkaian proses peralihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Kami dari wadah pegawai juga mendapatkan banyak informasi dan beberapa kali dilibatkan dalam pembahasan dikatakan bahwa semangatnya adalah peralihan dilakukan segera mungkin, secepat mungkin, dan tidak merugikan hak pegawai. Semuanya selaras. Tapi di penghujung peraturan komisi itu akan disahkan, tiba-tiba ada yang menyelipkan norma tentang adanya tes wawasan kebangsaan,” kata Novel Baswedan dalam video wawancara yang diunggah di media sosial Youtube, akun Karni Ilyas Club berjudul Novel Baswedan “Siapa Dibalik Tes Wawasan Kebangsaan KPK, pada hari Sabtu (22/5/2021), kemarin.
Baca Juga: Penonaktifan 75 Pegawai KPK Tindakan Sewenang-wenang
Dalam wawancara dengan wartawan senior, Karni Ilyas tersebut Novel menyebutkan, peralihan pegawai KPK menjadi ASN merupakan amanat dari UU Nomor 19 Tahun 2019 dan PP 41 Tahun 2020. Dalam aturan tersebut, proses peralihan tidak boleh merugikan hak pegawai KPK. Hal ini juga diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Karni Ilyas dalam pengantar acara menjelaskan Novel Baswedan adalah salah satu dari 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus dalam TWK. Padahal, Novel adalah lulusan Akpol. Novel dan pegawai KPK yang tidak lulus sudah melaporkan kasus ini ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Menurut Novel, norma tes ini diselipkan Ketua KPK Firli Bahuri dalam peraturan komisi secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi sebelum disahkan.
Baca Juga: Bertentangan dengan UUD 1945, Koalisi Kebebasan Beragama Desak Dewas Periksa Pimpinan KPK
“Informasi yang kami peroleh, yang memasukkan adanya tes wawasan kebangsaan dalam proses ini adalah Pak Ketua sendiri, Firli Bahuri. Saya tanya kepada Pak Firli, ini kepentingannya apa? Dijawab Pak Firli ini hanya memastikan pegawai KPK tidak ada yang terlibat organisasi terlarang, dipastikan cinta Pancasila dan UU 45,” kata Novel Baswedan.
Menurut Novel jawaban tersebut janggal. Sebab, jika pegawai KPK terindikasi hal yang terlarang maka bisa langsung diperiksa kapan saja dan tidak perlu dilakukan dalam proses peralihan menjadi ASN yang merugikan pegawai KPK.
Kemudian, ada pertanyaan-pertanyaan aneh menurut Novel, seperti ada pertanyaan bagi pegawai perempuan, bagaimana kalau melepas jilbab, dan apakah lebih memilih Kitab Suci atau Pancasila. “Kami sudah melaporkan hal tersebut juga kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk di-investigasi adanya pertanyaan semacam itu. Pertanyaan seperti apakah lebih memilih Kitab Suci atau Pancasila, menurut kami itu bukan suatu dikotomi yang harus dipertentangkan,” kata Novel.
Baca Juga: TWK KPK Memiliki Dasar Hukum Lemah, Ray Rangkuti Nilai Seluruh Pegawai Otomatis ASN
Novel Baswedan merasa arah pertanyaan tersebut adalah framing dan untuk menyudutkan. Padahal, banyak kerja pegawai KPK yang bagus dan benar yang semestinya dinilai sebagai perbuatan baik yang layak mendapat apresiasi. Seharusnya KPK lebih melakukan pembelaan terhadap pegawai-pegawai yang berintegritas dan konsisten bekerja untuk KPK.
Karni Ilyas bertanya, ini kepentingan siapa? “Itulah yang harus diusut. Saya tidak tahu. Proses yang terlalu banyak kejanggalan ini idealnya harus diaudit, harus dilakukan investigasi dengan serius, pemeriksaan yang mendalam. Untuk itu, kami juga melaporkan kepada Ombudsman. Ada tindakan sewenang-wenang, mencampuradukan kewenangan agar hal-hal semacam itu tidak terjadi lagi,” jawab Novel.
Baca Juga: 75 Pegawai KPK Laporkan Dugaan Maladministrasi TWK ke Ombudsman
Menurut Novel Baswedan, sikap Presiden (Jokowi) jelas dan terang bahwa tidak boleh ada peralihan pegawai KPK menjadi ASN yang merugikan para pegawai KPK. “Saya berharap, ke depan Pak Presiden bisa memberikan perhatian yang lebih dalam upaya pemberantasan korupsi,” kata Novel.