Beritaneka.com—Pengurus Pusat Ikatan Alumni (IA) Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan Ketua Umum Akhmad Syarbini dan Sekretaris Jenderal Hairul Anas Suaidi menyampaikan Surat Terbuka IA ITB menyikapi Situasi ITB Hari Ini.
Berikut ini isinya;
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam Ganeca!!
Bulan ini, Maret tahun 2022 adalah bulan yang bersejarah. Pada tanggal 2 Maret 1959, Presiden RI Ir. Soekarno menggabungkan dua fakultas dalam lingkungan Universitas Indonesia, Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam menjadi Institut Teknologi Bandung atau ITB. Seminggu lalu, ITB merayakan dies natalis ke-63 dengan tema ‘a locally relevant, a globally respected university’, semakin bermanfaat untuk kemajuan bangsa dan dihormati masyarakat dunia.
Dalam pidato memperingati hari ulang tahun almamater kita, Rektor Prof. Reini Wirahadikusumah, Ph.D mengajak seluruh sivitas akademika ITB untuk menjaga kekompakan dan kebersamaan guna memantapkan langkah melewati krisis akibat pandemi Covid-19, turut berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional demi kemajuan ITB, bangsa Indonesia dan kebaikan masyarakat dunia.
Ajakan mulia dalam pidato Rektor ITB tersebut disampaikan saat bangsa kita sedang berada dalam situasi ketidakpastian (uncertainty) tentang masa depan pasca wabah Covid-19. Namun, publik dikejutkan dengan pernyataan Forum Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen (FD-SBM) ITB yang menghentikan seluruh proses perkuliahan mahasiswa, serta menunda proses ujian seleksi masuk bagi mahasiswa baru angkatan 2022. Sebuah ironi saat ITB mengumumkan ajakan mulia untuk menjaga kekompakan dan kebersamaan, sebagian sivitas akademikanya justru memulai konflik yang tak perlu.
Merenungkan Kembali Sejarah
Presiden RI Soekarno, alumni ITB pada masa bernama Technische Hoogeschool (TH) pernah berpidato pada hari kemerdekaan RI 17 Agustus 1966 berjudul ‘Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah’. Para aktivis mahasiswa ITB yang sedang menggulirkan gerakan mendukung Orde Baru dan meruntuhkan Orde Lama Demokrasi Terpimpinnya Bung Karno menyingkat judul pidato itu menjadi Jasmerah, dalam rangka menyindir sikap simpati dan keberpihakan Bung Karno terhadap ideologi yang berwarna Merah, alih-alih mengutamakan Merah Putih.
Sindiran para mahasiswa tersebut kemudian diwujudkan dalam karikatur di Mingguan Mahasiswa Indonesia terbitan Bandung. Sindiran tersebut merupakan pesan tersirat bahwa kita bangsa Indonesia memang sering melupakan sejarah, termasuk Bung Karno yang mengajak mengingat sejarah. Sindiran tersebut jika dikontekstualisasikan ke hari ini juga benar, kealpaan kita dalam mengingat dan mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah menyebabkan kita menemui konflik yang berulang dan seharusnya bisa dihindari.
Seperti misalnya sejarah bagaimana ITB berdiri. Pada saat perguruan tinggi teknik ini didirikan pada 3 Juli 1920 dengan nama TH Bandoeng, kita melupakan sebuah fakta sejarah bahwa tujuan pendidikan TH adalah menghasilkan insinyur-insinyur dengan upah kerja lebih murah ketimbang harus membawa insinyur lulusan TH Delft yang lebih bergengsi. Insinyur-insinyur tersebut diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja sektor perkebunan, pertanian dan pertambangan yang sedang tumbuh dan berkembang di Hindia Belanda.
Oleh karena itu tidak heran, pendirian TH Bandung didukung oleh pengusaha perkebunan dari bangsa Eropa dan Tionghoa. Karena memang merekalah yang saat itu berkepentingan mengambil keuntungan besar dengan faktor produksi tenaga kerja terdidik berupah murah. Kaum bumiputera yang berkesempatan mendapatkan pendidikan teknik pun hanya segelintir, itu pun dari kalangan priyayi yang bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial serta pengusaha Eropa dan Tionghoa.
Padahal, sejatinya pendirian perguruan tinggi di Hindia adalah bagian dari pelaksanaan politik etis yang digagas kaum Sosialis Demokrat di negeri Belanda yang marah dengan eksploitasi kekayaan alam dan tenaga kerja pribumi akibat kebijakan Cultuurstelsel pasca Perang Diponegoro dan liberalisasi penanaman modal setelah berlakunya UU Agrarische Wet 1870.
Akibat Cultuurstelsel (kemudian diberi nama Sistem Tanam Paksa oleh Bung Karno) dan liberalisasi modal, kaum petani melakukan pemberontakan di mana-mana seperti di Banten, Cirebon, Lampung hingga gerakan Sedulur Sikep di kaki pegunungan Kendeng yang masih berlanjut hingga hari ini.
Kaum Sosialis Belanda ini kemudian mendesak Pemerintah Kerajaan untuk menghentikan eksploitasi besar-besaran ini dengan mendorong politik balas budi kepada rakyat Hindia. Kebijakan ini didukung lebih lanjut oleh Sarekat Islam dengan pemimpinnya Abdul Muis yang pada tahun 1917 mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda agar mendirikan perguruan tinggi teknik untuk kepentingan Pertahanan Hindia (Indie Weerbaar) di tengah berkecamuknya Perang Dunia Pertama.
Kemudian kita mafhum, cita-cita sedemikian besar itu mengalami distorsi. Kepentingan besar agar Hindia mampu mempertahankan tanah air dari invasi negara luar, disempitkan menjadi kemakmuran kaum pengusaha keturunan Eropa dan Tionghoa. Hindia Belanda kemudian menjadi wilayah koloni makmur, orang-orang tua mengingat masa itu dengan sebutan Zaman Normal.
Lalu datanglah Balatentara Dai Nippon menyerbu Asia Tenggara. Hanya kurang dari 3 bulan, seluruh Hindia Belanda jatuh tanpa perlawanan berarti pasukan kolonial KNIL yang dibantu milisi-milisi rakyat dengan persiapan minim. Rakyat pribumi justru menyambut Jepang sebagai pembebas mereka dari penjajah Belanda.
Merancang Masa Depan Bersama
L’histoire se répète, sejarah mengulang dirinya sendiri. Sejarah bangsa kita yang dibangun dengan cita-cita besar kemudian mengalami distorsi akibat kepentingan jangka pendek hanya untuk kelompok sendiri.
Demikian juga sejarah almamater kita. Pada saat guru-guru besar ITB berjibaku menggagas kemandirian perguruan tinggi agar dapat lebih independen dalam menjalankan misi pendidikan untuk anak bangsanya, terutama saat berhadapan dengan birokrasi negara yang tends to corrupt, upaya tersebut kemudian mengalami distorsi menjadikan almamater sebagai faktor produksi berupa entitas bisnis.
Pada awalnya, kemandirian finansial ITB sebagai Badan Hukum Milik Negara bertujuan agar sivitas akademiknya berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang ditopang hasil-hasil riset bernilai bisnis, sehingga keuntungan yang dihasilkan dapat digunakan untuk kepentingan Tridarma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Namun kemandirian finansial ini mengalami distorsi dengan pendirian program-program studi yang berorientasi komersil semata dengan biaya pendidikan yang fantastis untuk ukuran perguruan tinggi negeri.
Menurut kami, implementasi yang melenceng dari cita-cita para guru besar tentang kemandirian perguruan tinggi inilah yang hendak diperbaiki oleh pihak Rektorat ITB. Pihak Rektorat dalam pernyataan medianya menyatakan hendak mentransformasi ITB menjadi institusi pendidikan yang makin lincah, berkualitas, akuntabel, transparan dan tertib. Dengan segala keragaman rumpun keilmuan ITB, integrasi sistem menjadi mutlak diperlukan agar transformasi tersebut dapat diwujudkan bersama.
Dengan demikian, kami Pengurus Pusat Ikatan Alumni ITB memandang sivitas akademika ITB perlu duduk bersama menyelesaikan persoalan internal tersebut agar tidak berlarut-larut dan mengorbankan marwah ITB serta kepentingan mahasiswa sebagai agen perubahan bangsa ini di masa depan.
Pengurus Pusat IA-ITB juga mengajak seluruh alumni ITB untuk memahami persoalan ini dengan kepala dingin, mengedepankan prinsip kejujuran , kebenaran serta bersikap adil dalam menilai permasalahan yang terjadi dan menindaklanjutinya dengan sebuah langkah urun rembug agar para alumni dan almamater dapat merumuskan langkah bersama demi kebaikan bangsa.
Pengurus Pusat IA-ITB mengajak kita semua bersatu merancang masa depan bangsa ini secara bersama-sama agar bangsa ini semakin demokratis, semakin berkemajuan dan semakin terbuka dengan ide-ide pembaharuan.
Untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater
Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh
Tertera tanggal surat terbuka adalah hari ini, 10 Maret 2022.