Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah cabang produksi yang diperlukan oleh “semua” rakyat Indonesia. Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak di antaranya adalah air, energi, sumber daya alam dan pangan.
Menurut amanat pasal 33 ayat 2 UUD 1945, “Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dalam implementasinya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditugaskan untuk mengelola cabang produksi yang menguasasi hajat hidup orang banyak tersebut.
Melalui BUMN, negara menjalankan amanat UUD 1945. Contoh BUMN yang ditugaskan untuk menjalankan amanat ini di antaranya adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN), Pertamina, Aneka Tambang dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Namun, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 mengenai BUMN, status BUMN berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Salah satu perubahan yang signifikan yang ditetapkan dalam undang-undang ini adalah perubahan terhadap tujuan yang dimandatkan kepada BUMN.
Perubahan status ini memberikan peluang kepada pihak swasta untuk menanamkan modalnya di BUMN. Dengan demikian BUMN sekarang menjadi entitas usaha yang tugasnya mencari keuntungan atau Profit. Keuntungan BUMN digunakan sebagai sumber untuk menambah pemasukan negara. Perubahan ini tentu akan berdampak pula kepada misi BUMN yang semula, yaitu untuk memenuhi “hajat hidup orang banyak”. Sekarang BUMN diamanatkan untuk mencari keuntungan. Apakah mandat untuk mencari keuntungan bisa sejalan dengan misi untuk memenuhi “hajat hidup orang banyak”?
Pemahaman kita mengenai “hajat hidup orang banyak” yang disebutkan dalam pasal 33 UUD 1945 itu adalah hajat hidup “seluruh” rakyat Indonesia. Artinya, jelas misi negara adalah untuk “melayani” seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk mencari “keuntungan” “dari” seluruh rakyat Indonesia. Jika BUMN yang ditugaskan untuk memenuhi hajat hidup “seluruh” rakyat Indonesia ditugaskan untuk mencari “keuntungan”, apa dampaknya terhadap fungsi pelayanan BUMN?
Untuk melayani hajat hidup orang banyak, BUMN menerapkan tarif yang dibayar oleh masyarakat guna mendapatkan pelayanan tersebut. Karena misinya adalah “melayani”, maka tarif yang dibayar oleh masyarakat adalah tarif yang memang “terjangkau” oleh masyarakat. Alasannya, supaya BUMN dapat melayani sebanyak mungkin masyarakat. Seperti yang kita ketahui, pemerintah memberikan subsidi untuk menekan tarif. Dengan tarif rendah masyarakat akan mudah dilayani, termasuk masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Jika BUMN dibebankan untuk mengejar profit, maka tarif yang harus dibayar masyarakat untuk mendapatkan pelayanan akan lebih tinggi, karena ada komponen profit yang ditambahkan ke dalam struktur tarif tersebut. Salah satu mandat penting BUMN sekarang adalah menjadi sumber pendapatan negara, maka tidak masuk akal bila pemerintah mensubsidi tarif, karena subsidi itu akan mengikis kembali pendapatan negara.
Sebagai akibatnya, tarif yang merupakan imbalan pelayanan BUMN akan menjadi lebih tinggi, sehingga hanya kelompok masyarakat yang mampu yang bisa menikmati pelayanan BUMN. Hal ini menunjukkan bahwa BUMN yang tadinya merupakan “alat” pemerintah untuk mengemban tugas yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD 1945 sudah tidak pada tempatnya lagi. Dalam hal ini barang dan jasa yang diproduksi oleh BUMN akan dibatasi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak.
Bagaimana sebaiknya supaya cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak ini bisa bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia? Jawabannya ada pada KOPERASI. Mengapa Koperasi? Karena hanya badan usaha koperasi satu-satunya badan usaha, di mana pemilik dan pengguna barang dan jasa koperasi merupakan orang yang sama, yaitu anggotanya.
Konsep ini dikenal dengan istilah “identitas ganda” koperasi. Artinya, koperasi yang menguasai cabang produksi yang bermanfaat untuk orang banyak, maka “orang banyak” yang menjadi anggota koperasi itu adalah juga pemilik cabang produksi tersebut. Jika pemilik koperasi sekaligus pengguna barang dan jasa yang dihasilkan oleh koperasi (layaknya BUMN tadi), maka tidak mungkin komponen “profit” akan ditambahkan kedalam struktur “tarif” barang dan jasa koperasi. Karena tidak mungkin pemilik usaha akan membebankan keuntungan kepada dirinya sendiri. Sehingga koperasi akan beroperasi “at cost” dalam mengelola cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut. Dengan demikian, tarif yang akan ditetapkan untuk anggota akan menjadi lebih rendah.
Selain itu, koperasi juga mempunyai prinsip “open membership” yang artinya keanggotaan koperasi bisa bertambah terus jumlahnya. Dengan penambahan jumlah, maka akan terbentuk “economic of scale”, yang akan meningkatkan efisiensi koperasi. Dengan alasan efisiensi ini, koperasi akan terus mengembangkan jumlah anggotanya. Peningkatan efisiensi akan menguntungkan anggota, karena barang dan jasa yang diproduksi koperasi akan bisa dibayar oleh anggota dengan tarif (atau harga) yang lebih rendah.
Koperasi juga menjalankan prinsip transparansi. Dengan adanya transparansi, penyelewengan bisa ditekan sejauh mungkin. Rapat Anggota Tahunan (RAT) merupakan kekuasaan tertinggi pada koperasi. Tidak mungkin operasi maupun transaksi dalam koperasi tidak dilakukan dan dibuka secara transparan. Karena transparansi koperasi merupakan instrumen bagi RAT untuk mengambil keputusan yang berpihak kepada kepentingan anggota.
Dengan menyatunya anggota sebagai “pemilik” cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak sekaligus sebagai “pengguna” barang dan jasa sebagai hasil olahan cabang produksi tersebut, maka akan bisa dipastikan bagi masyarakat untuk mempunyai akses kepada hasil produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut.
Kekuatan RAT sebagai kekuasaan tertinggi dalam koperasi akan mengarahkan kualitas dan kuantitas produksi yang mewakili kepentingan orang banyak tersebut. Skala ekonomi yang dapat diciptakan oleh koperasi akan menurunkan tarif atau harga yang harus dibayar untuk mendapatkan hasil produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Itu sebabnya koperasi merupakan bangun usaha yang sesuai untuk mendapatkan mandat dalam mengelola cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Opini Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com —Sistem politik Indonesia saat ini berbasis oligarki. Ini yang sering dilontarkan oleh berbagai pihak di Indonesia. Apa itu oligarki? Mengutip penjelasan harian KOMPAS, “Oligarki adalah struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara atau organisasi.” (Kompas.com, 24 September 2021).
Selanjutnya, “Semua bentuk pemerintahan, seperti demokrasi, teokrasi, dan monarki dapat dikendalikan oleh oligarki.” Dalam hal ini termasuk Indonesia, walaupun bentuk pemerintahannya demokrasi, tapi negara kita dikendalikan oleh para kelompok oligarki.
Ini merupakan sesuatu yang ironis. Negara demokrasi yang pemilihan pimpinannya berdasarkan suara terbanyak, bisa didikte oleh kelompok elit yang minoritas. Bukankah dalam demokrasi “majority rules?” Bukankah kalau demikian, yang harus mengendalikan jalannya negara juga atas kehendak kelompok mayoritas?
Kelompok elit yang disebut kelompok oligarki ini adalah para pemodal yang mendanai proses politik di Indonesia. Mereka merupakan kelompok pengusaha besar yang menguasi berbagai sektor perekomomian di negara ini. Bahkan, kekuatan pemodal atau yang lazim dikenal dengan istilah “cukong politik” ini, juga merambah kekuasaan mereka ke dalam arena legislatif di negeri ini. Apa yang membuat kita yakin bahwa oligarki menguasai kebijakan Indonesia? Kita lihat beberapa fenomena.
Beberapa kebijakan yang dibuat pemerintah saat ini dikatakan kurang berpihak kepada rakyat, bahkan sering dituduhkan banyak berpihak kepada pengusaha. Contoh kebijakan yang dituding menguntungkan pengusaha di antaranya adalah kebijakan penetapan harga test PCR, kebijakan ekspor batubara dan kebijakan HET minyak goreng. Digulirkannya Perppu undang-undang cipta kerja juga mengundang protes para pekerja, karena aturan main dalam undang-undang tersebut disinyalir banyak merugikan para pekerja. Bahkan Perppu ini juga bakal melegitimasi privatisasi perikanan (Muhammad Karim, Kompas, 16 Januari 2023). Masuknya investasi China yang “menggendong” buruh China juga mengundang “gaduh” masyarakat, padahal tingkat pengangguran di Indonesia masih tinggi.
Sudah seyogyanya kebijakan pemerintah tersebut akan menguntungkan pengusaha, karena dukungan oligarki tentu harus menghasilkan keuntungan buat oligarki pula. Umumnya para oligarki adalah pengusaha kelas kakap yang mampu mengeluarkan uang triliunan rupiah guna mendukung pelaku politik untuk mencapai kekuasaan.
Melalui pengaruh oligarki ini, tentu akan memengaruhi pemerintah pula untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada oligarki. Beberapa contoh kebijakan yang “tidak” menguntungkan rakyat ini adalah dicabutnya subsidi BBM.
Keputusan pemerintah untuk mencabut subsidi bahan bakar cukup merepotkan masyarakat, yang mengakibatkan naiknya harga-harga kebutuhan pokok di pasar. Badan Pusat Statistik bahkan menyatakan adanya kenaikan angka kemiskinan yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM (Republika, 17 Januari 2023). Laporan Kementerian Keuangan RI menyebutkan bahwa dari tahun 2014 sampai tahun 2019 saja subsidi publik turun sebesar 49%. Hal ini menunjukkan makin sulitnya menciptakan keadilan sosial, karena komponen subsidi merupakan komponen penting dalam menekan kesenjangan sosial di masyarakat. Di negara-negara yang keadilan sosialnya relatif baik, menunjukkan bahwa komponen subsidi adalah penting untuk mendukung kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan dan keamanan, guna menekan ketimpangan sosial.
Sistem pemerintahan yang demokratis seharusnya bisa menciptakan keadilan sosial, karena penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat, sehingga kebijakan pemerintah juga akan berpihak kepada mayoritas kepentingan rakyat.
Kepentingan mayoritas rakyat adalah terciptanya keadilan sosial untuk setiap orang. Seharusnya, oligarki tidak mempunyai tempat di negara demokrasi, karena akan mencederai kepentingan mayoritas rakyat. Dengan berkuasanya sistem politik oligarki di Indonesia, sulit bagi pemerintah untuk berpihak kepada mayoritas rakyatnya. Dengan demikian, akan sulit pula diciptakan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD ’45. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya bisa terlaksana melalui sistem politik demokrasi murni.
Selama pemerintahan dikendalikan oleh kelompok oligarki, selama itu pula demokrasi akan terhambat perkembangannya.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
(Ketua Koperasi Aliansi Rakyat Indonesia Makmur)
Beritaneka.com, Jakarta —Pasal 33 UUD 45 mengamanatkan kepada kita bahwa ekonomi Indonesia dibangun berdasarkan azas kekeluargaan. Bung Hatta menyebutkan, KOPERASI adalah bangun usaha yang sesuai untuk menerjemahkan amanat UUD ini. Koperasi sudah sejak lama didorong untuk berperan dalam perekonomian Indonesia, bahkan sudah dinobatkan sebagai sokoguru ekonomi Indonesia.
Walaupun peran koperasi sudah diamanatkan oleh konstitusi, namun kontribusi koperasi terhadap perekonomian nasional masih kecil. Di tahun 2021 saja kontribusi koperasi terhadap perekonomian Nasional masih 5,1%, sedangkan presentase masyarakat Indonesia yang menjadi anggota koperasi masih berkisar di angka 8,41%. Apa yang membuat peran koperasi tertinggal jauh dibandingkan dengan pelaku usaha lainnya? Padahal, koperasi yang terdiri dari kumpulan orang-orang, dapat menjadi satu kekuatan ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia.
Ada tiga persyaratan dasar yang perlu dipenuhi sehingga koperasi dapat berperan penuh dalam perekonomian Indonesia. Yang pertama adalah, koperasi harus “diperbolehkan” atau “diizinkan” untuk berperan. Syarat ini sudah terpenuhi melalui amanat yang diberikan UUD maupun melalui undang-undang turunannya. Undang-undang maupun bentuk peraturan lainnya sudah memberikan “level playing field” dan lingkungan yang kondusif bagi koperasi untuk berperan.
Persyaratan kedua yang harus dipenuhi adalah bahwa koperasi harus “mau” berperan dalam perekonomian Indonesia. Karena koperasi merupakan kumpulan orang, maka orang-orang harus “mau” menjadi anggota koperasi dan “mau” mengambil manfaat dari nilai tambah yang diberikan oleh koperasi.
Selain itu, anggota juga harus “mau” berkontribusi modal, pikiran dan keahlian pada koperasi, sehingga koperasi dapat berperan dalam kegiatan ekonomi dan memberikan sumbangan kepada perekonomian nasional.
Persyaratan yang ketiga adalah, koperasi harus “mampu” memainkan perannya dalam perekonomian nasional. Kemampuan ini tidak saja harus dimiliki oleh anggota dalam memenuhi hak dan kewajibannya, tetapi juga harus dimiliki oleh koperasi sebagai organisasi pelaku usaha. Kemampuan ini termasuk kemampuan untuk bersaing, mencari peluang usaha maupun kemampuan untuk mengembangkan inovasi, sehingga koperasi dapat memberikan nilai tambah ekonomi dan nilai tambah sosial kepada anggotanya.
Pemerintah berperan sangat penting dalam mewujudkan ketiga persyaratan ini. Disamping menelorkan undang-undang dan peraturan untuk membentuk “level playing field”, pemerintah perlu memberikan peluang dan ruang gerak kepada koperasi dan masyarakat untuk “mau” berkoperasi.
Program insentif seperti keringanan pajak atau pemberian prioritas kepada sektor koperasi untuk berkiprah merupakan bentuk insentif yang bisa dikembangkan oleh pemerintah. Kemudahan untuk mengakses pelayanan publik bagi masyarakat anggota koperasi merupakan instrumen lain untuk menciptakan insentif. Kemudahan pemberian izin untuk berusaha bisa juga merupakan jenis insentif bagi masyarakat yang terdaftar sebagai anggota koperasi.
Untuk “memampukan” koperasi maupun anggotanya, pemerintah bisa membuat program pengembangan kapasitas. Program ini bisa berbentuk pelatihan atau pendampingan yang dilakukan oleh para ahli di bidangnya. Penugasan manajer profesional pada koperasi oleh pemerintah merupakan cara lain sebagai upaya untuk mendukung “kemampuan” koperasi.
Di sini kita lihat bahwa peran pemerintah untuk membangun koperasi sehingga bisa berperan dalam perekonomian nasional sangatlah penting. Dengan meningkatnya kontribusi koperasi pada perekonomian nasional, maka akan lebih sejahtera pula masyarakat anggota koperasi. Masyarakat sejahtera merupakan fondasi untuk membangun negara yang kuat.
Opini Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta —Kesetaraan dan keadilan secara sederhana dapat diartikan sebagai: tersedianya “peluang” dan “kesempatan” yang sama bagi setiap rakyat Indonesia untuk meraih kehidupan yang layak, baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun politik. Dari pemahaman yang sederhana itu, dapat kita simpulkan bahwa jika setiap warga negara Indonesia mempunyai “peluang”, atau “kesempatan” yang sama, maka kesetaraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia akan tercipta.
Peluang yang sama bagi seluruh rakyat Indonesia di bidang ekonomi berarti, tersedianya kesempatan dan peluang yang sama bagi rakyat Indonesia untuk bekerja dan berusaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika masih ada pengangguran di Indonesia, itu berarti masih belum terbuka peluang yang sama bagi rakyat Indonesia. Begitu juga halnya jika kesempatan berusaha bagi rakyat Indonesia dihambat oleh berbagai faktor seperti kesulitan mendapatkan izin usaha, monopoli usaha besar, sulitnya untuk mendapatkan modal usaha, lemahnya kemampuan untuk memulai usaha baru, adalah bentuk-bentuk hambatan untuk memperoleh peluang dan kesempatan yang sama guna mencapai kesetaraan dan keadilan di bidang ekonomi.
Begitu pula halnya dengan kesetaraan dan keadilan di bidang sosial. Apakah masyarakat punya peluang yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan dasar lainnya? Masih sering kita dengar bahwa banyak sekali masyarakat yang belum tersentuh oleh pelayanan kesehatan.
Kesulitan untuk membayar premi asuransi kesehatan BPJS bagi sebagian besar masyarakat merupakan salah satu bentuk lemahnya peluang masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Begitu banyaknya masyarakat yang masih buta huruf menunjukkan rendahnya peluang mereka untuk memperoleh pendidikan.
Privatisasi lembaga pendidikan yang mengakibatkan biaya tinggi juga menghilangkan kesempatan sebagian kelompok masyarakat untuk mengecap pendidikan. Masih luasnya wilayah pemukiman yang belum tersentuh pelayanan dasar, seperti air bersih dan listrik, merupakan indikasi lemahnya kesetaraan dan keadilan di bidang sosial.
Peluang yang sama bagi masyarakat untuk berkiprah di bidang politik juga menentukan kesetaraan dan keadilan. Kesamaan hak bagi warga negara untuk memilih dan dipilih secara demokratis merupakan bentuk kesetaraan dan keadilan itu. Persyaratan “presidential threshold” 20% yang harus dipenuhi untuk bisa mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia adalah salah satu bentuk “pembatasan” peluang dalam proses politik yang demokratis. Praktek politik uang dalam proses pemilihan umum di semua level merupakan bentuk lain yang “mencederai” kesetaraan dan keadilan di bidang perpolitikan Indonesia.
Peran pemerintah untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan untuk rakyatnya sangatlah besar. Ketersediaan peluang dan kesempatan yang sama bagi seluruh rakyat Indonesia sangat ditentukan oleh intervensi pemerintah dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan maupun program. Kadang-kadang peluang sudah terbuka lebar, tetapi ada sekelompok masyarakat yang tidak mampu memanfaatkannya. Ketidakmampuan ini umumnya disebabkan oleh keterbatasan yang ada pada kelompok masyarakat tersebut. Di sinilah pemerintah perlu memainkan perannya untuk “membantu” dan “mengangkat” masyarakat dalam memanfaatkan peluang itu. Melalui peran ini, pemerintah akan berpeluang untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan bagi rakyatnya. Tapi dengan melihat kondisi Indonesia saat ini, masih banyak tugas pemerintah ke depan untuk menghasilkan kesetaraan dan keadilan di Indonesia.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Ketua Koperasi Aliansi Rakyat Indonesia Makmur (Karima)
Makin sempitnya lapangan pekerjaan, akan memengaruhi pendapatan. Keterbatasan untuk memperoleh pendapatan akan meningkatkan pula angka kemiskinan.
Beritaneka.com, Jakarta —Gonjang ganjing masuknya tenaga kerja China kelas buruh ke Indonesia cukup membuat keresahan di kalangan masyarakat bawah di beberapa daerah di Indonesia. Paling tidak inilah berita yang banyak beredar di media sosial. Angka pasti jumlah buruh China yang masuk ke Indonesia juga tidak pernah diketahui. Namun keresahan masyarakat akan kepastian masa depan mereka, terutama yang menyangkut dengan peluang bekerja sebagai buruh kasar, merupakan salah satu ancaman sebagai akibat dari kehadiran buruh China di Indonesia.
Bisa diperkirakan, jika arus investasi China yang masuk ke Indonesia di masa depan akan meningkat, maka jumlah buruh China yang masuk ke Indonesia, sebagai akibat dari investasi tersebut, akan meningkat pula. Tenaga buruh China akan mendominasi kesempatan kerja di level bawah, sehingga peluang bekerja bagi masyarakat Indonesia kelas bawah akan semakin sempit pula. Ini merupakan kegelisahan masyarakat di beberapa tempat di Indonesia saat ini. Apa konsekuensinya jika hal ini terjadi?
Baca Juga:
- Sebanyak 25.700 Karyawan Pabrik Sepatu Kena PHK
- KTT G20, Presiden Jokowi Serukan Penghentian Perang
- Pemilik Kendaraan Bisa Manfaatkan Pemutihan Pajak Kendaraan hingga Akhir Tahun Ini
Makin sempitnya lapangan pekerjaan, akan memengaruhi pendapatan. Keterbatasan untuk memperoleh pendapatan akan meningkatkan pula angka kemiskinan. Kemiskinan akan membatasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder mereka. Bagaimana jalan keluarnya untuk mengantisipasi kemiskinan di masa depan?
Koperasi yang merupakan wadah tempat berkumpulnya orang-orang, dapat menjadi sarana untuk mengatasi kemiskinan. Kumpulan orang yang tergabung dalam koperasi dapat membentuk kumpulan modal, sehingga usaha bersama dapat dimulai. Dengan berkembangnya jumlah keanggotaan koperasi, pembelian barang-barang konsumsi maupun produksi dapat diperoleh dengan harga yang lebih rendah. Jumlah anggota koperasi yang besar, akan menciptakan skala ekonomi.
Melalui koperasi, anggota juga lebih mudah untuk memperoleh pinjaman dari pihak ketiga, karena prinsip tanggung renteng yang berlaku di koperasi. Saling menjamin antara anggota adalah praktek yang lazim dilakukan oleh koperasi yang bergerak di sektor jasa keuangan di Indonesia.
Prinsip penting yang berlaku di koperasi adalah edukasi anggota. Disamping edukasi untuk mengenal hak dan kewajiban anggota koperasi, banyak jenis edukasi yang bisa dilakukan oleh koperasi kepada anggotanya. Mulai dari peningkatan keahlian anggota untuk berusaha, peningkatan keterampilan anggota dalam berbagai bidang, seperti bertani, berdagang, pemasaran, manajemen, bertukang, dan sebagainya. Dengan meningkatnya keterampilan anggota, akan tercipta pula peluang untuk berusaha atau untuk mendapatkan pekerjaan baru.
Pemupukan modal bersama, terciptanya kesempatan berusaha, peningkatan keterampilan dan terbentuknya skala ekonomi, merupakan nilai tambah yang diciptakan oleh koperasi untuk masyarakat yang tergabung dalam koperasi. Dengan sendirinya, melalui nilai tambah yang diciptakan akan menjauhkan anggota dari kemiskinan, terutama masyarakat yang menjadi korban kebijakan investasi dari China.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Ketua Koperasi Aliansi Rakyat Indonesia Makmur (Karima)
Beritaneka.com, Jakarta —Pemerintah baru saja mengeluarkan angka pertumbuhan ekonomi. World Inequality Report 2022 menyebutkan, bahwa “Sejak tahun 1999 tingkat kekayaan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan signifikan. Namun, pertumbuhan ini meninggalkan ketimpangan kekayaan yang hampir tidak berubah”.
Dari data agregat, memang Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat sejak 20 tahun terakhir ini, tapi pertumbuhan itu tidak memberikan manfaat kepada mayoritas masyarakat, karena distribusi kekayaan akibat petumbuhan itu tidak terbagi secara merata. Dengan kata lain, hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menikmati pertumbuhan ini.
Baca Juga:
- Presiden Jokowi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Lima Tokoh
- Ekonomi Diproyeksikan Tumbuh 5,2 Persen, Menko Airlangga: Optimistis Indonesia Terhindar Resesi
- Hadapi Resesi Global, Kemnaker Dorong Perusahaan Pilih Efisiensi Daripada PHK
- Koperasi dan Oligarki
Koperasi sebagai badan usaha yang menghimpun manusia sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi dapat menjadi “wadah” untuk menyalurkan delta pertumbuhan kepada masyarakat banyak.
Koperasi dapat ikut serta menikmati “kue” pertumbuhan yang dapat dibagikan kepada anggotanya. Kontribusi pertumbuhan ekonomi di Indonesia didominasi oleh sektor manufaktur, yang berupa kegiatan pertambangan dan pengolahan sumber daya alam.
Sektor ini berada di “hulu” dari serangkaian kegiatan ekonomi, sebelum barang dan jasa yang diperdagangkan sampai ke pasar. Sampai saat ini memang penguasaan konsesi pertambangan dan sektor manufaktur lainnya masih dikuasai oleh segelintir orang yang biasanya mempunyai “hubungan khusus” dengan para penguasa.
Pembagian konsesi ini seharusnya dilakukan melalui proses yang transparan, sehingga semua pihak termasuk koperasi dapat “bertanding” dalam mengolah dan memperoleh keuntungan dari sektor hulu tersebut. Dengan demikian koperasi juga diberikan peluang untuk menikmati “kue” kekayaan negara.
Dengan terbukanya peluang koperasi untuk dapat terlibat di sektor hulu, terutama di sektor manufaktur sebagai kontributor terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka pembagian pertumbuhan ekonomi Ini akan bisa dinikmati oleh masyarakat yang bergabung dalam wadah koperasi.
Kesenjagan ekonomi akibat tidak terdistribusinya “kue” pertumbuhan dengan baik, akan dapat ditekan melalui keikutsertaan koperasi. Makin besar keterlibatan koperasi yang beroperasi di sektor hulu, maka makin rata pula pembagian “kue” pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di sini dituntut kearifan pemerintah dalam memberikan peluang kepada koperasi untuk ikut serta dalam mengolah kekayaan alam Indonesia.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Ketua Koperasi Aliansi Rakyat Indonesia Makmur (Karima)
Beritaneka.com, Jakarta —Gelombang arus menentang oligarki beberapa tahun terakhir ini sangat kuat. Oligarki yang dikenal sebagai “kembar siam”, merupakan sistem hubungan “simbiose mutualisme” antara penguasa dan pengusaha.
Pengusaha oligarki adalah pemilik modal yang punya andil dalam mendudukkan penguasa dalam kekuasaan. Hal ini tentu membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi mayoritas rakyat.
Kebijakan penguasa cenderung menguntungkan pengusaha. Fenomena “ketimpangan” ini yang dirasakan masyarakat.
Kebijakan pemerintah yang pro pengusaha itu biasanya semua jenis kebijakan yang berdampak untuk meningkatkan keuntungan usaha, menekan “cost” dan yang memberi ruang untuk membangun peluang usaha baru, baik melalui eskpor maupun impor.
Baca Juga:
- Kendalikan Bahaya Merokok, Pemerintah Naikkan Cukai Hasil Tembakau
- Resiliensi Ekonomi Indonesia Siap Hadapi Krisis Global Tahun Depan
- Migrasi Siaran TV Digital, Mahfud MD: Kualitas Siaran Lebih Baik
- Ekonomi Indonesia Tahan Resesi, JK: Jangan Pesimis!
Bagaimana nasib kepentingan rakyat yang tidak masuk kedalam kategori pengusaha? Rakyat yang mayoritas adalah golongan pencari kerja otomatis akan menjadi korban.
Pemenuhan semua jenis hak pegawai akan meningkatkan biaya perusahaan, seperti tuntutan kenaikan gaji, hak cuti, hak protes, dan sebagainya. Pengurangan hak ini akan berdampak kepada kesejahteraan masyarakat pencari kerja.
Koperasi dalam hal ini akan menjadi penting. Identitas koperasi, di mana pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi, merupakan wadah ideal bagi pegawai untuk lepas dari dominasi pemberi kerja dalam menentukan nasibnya.
Pegawai perusahaan otomotif bisa sekaligus sebagai pemilik perusahaan itu. Pegawai perusahaan asuransi bisa sekaligus sebagai pemilik perusahaan asuransi. Artinya, pegawai yang memerlukan pekerjaan adalah sekaligus sebagai pemberi kerja.
Koperasi tersebut yang bernama “Mondragon” sudah berkembang dengan baik di Spanyol sejak permulaan abad yang lalu.
Dengan dikembangtumbuhkannya koperasi pegawai yang sekaligus pemilik perusahaan, akan lambat laun melunturkan dominasi oligarki. Kebijakan yang semula menguntungkan pemilik modal pada akhirnya akan menguntungkan pegawai pemilik perusahaan.
Pertumbuhan koperasi jenis ini juga akan meningkatkan nilai tawar pegawai sebagai pemilik perusahaan. Nilai tawar tersebut akan memengaruhi kebijakan pemerintah yang pada akhirnya menguntungkan pegawai, juga menguntungkan pegawai lain yang bekerja untuk oligarki.