Opini Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Pada 30 November 2022 dalam acara Rapat Koordinasi Nasional Investasi 2022 di Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku Utara (Malut) mencapai 27%, merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Pertumbuhan ekonomi yang dialami Malut tersebut merupakan pertumbuhan pada kuartal II tahun 2022, berkat industri smelter yang ada di sana sebagai wujud hilirisasi yang dijalankan pemerintah beberapa tahun terakhir. Presiden melihat ini sebagai satu prestasi program hilirisasi pemerintah untuk menciptakan nilai tambah pada komoditas yang dimiliki Indonesia.
Sebaliknya, Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba berpendapat lain. Sanggahan terhadap pernyataan presiden ini disampaikan bahwa, “pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berpengaruh kepada masyarakat Malut” (detikFinance, 21 Desember 2022).
Gubernur Malut tentu punya alasan atas pernyataan ini, karena sebagai gubernur beliau tentu tahu benar akan kenyataan di lapangan. Pertanyaannya adalah, mengapa pertumbuhan ekonomi Malut yang dikatakan “tertinggi di dunia” itu tidak berpengaruh terhadap masyarakat Malut? Bagaimana seharusnya supaya pertumbuhan ekonomi suatu wilayah bisa dinikmati oleh rakyatnya?
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator “peningkatan” kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan barang dan jasa ekonomi. Ini berarti ada kegiatan produksi yang cukup intens di wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi dipicu oleh investasi. Investasi selanjutnya akan menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga memicu kenaikan pendapatan bagi masyarakat di wilayah tersebut. Selain itu, investasi juga akan menghasilkan “arus pendapatan” bagi para investornya.
Seperti yang disampaikan oleh Gubernur Malut, pertumbuhan Malut tidak berdampak kepada masyarakatnya. Artinya, investasi yang membawa pertumbuhan itu tidak berdampak kepada peningkatan pendapatan masyarakat setempat. Ada dua kemungkinan hal ini bisa terjadi, investasinya merupakan investasi padat modal (capital intensive), sehingga memang tidak banyak membutuhkan tenaga kerja. Atau investasi yang memang banyak membutuhkan tenaga kerja tapi tidak melibatkan tenaga kerja yang berasal dari wilayah tersebut. Artinya, lapangan pekerjaan tidak terbuka untuk penduduk lokal.
Industri smelter merupakan industri yang juga bersifat padat karya, disamping membutuhkan modal yang cukup besar. Dikabarkan untuk membangun industri smelter, tenaga kerja yang dibutuhkan bisa mencapai 9.000 orang. Ini hanya pada masa konstruksi. Jika sudah beroperasi, tenaga kerja yang dibutuhkan bisa mencapai 45.000 orang. Total nilai investasi pabrik smelter di Malut sekitar Rp39 triliun. Khusus untuk Malut, pemodal industri smelter di sana berasal dari China dan saat ini dikabarkan mayoritas masih menggunakan tenaga kerja China. Bisa dimengerti mengapa pertumbuhan Malut tidak dinikmati oleh masyarakat setempat, karena lapangan pekerjaan dan “cash flow” dari hasil investasi tersebut dinikmati oleh tenaga kerja dan pemodal China.
Untuk menjawab pertanyaan, bagaimana seharusnya supaya pertumbuhan ekonomi Malut bisa dinikmati oleh rakyatnya? Jawabannya adalah, pemerintah perlu mengubah kebijakan hilirisasinya, terutama dalam menarik investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Permodalan dan tenaga kerja untuk kebutuhan industri smelter harus diberikan porsi kepada pemodal dan tenaga kerja lokal, sehingga “cash flow” dari investasi dan lapangan pekejaan akan diisi dan dinikmati oleh penduduk lokal.
Diasumsikan, jika setengah dari kebutuhan modal dan setengah dari kebutuhan tenaga kerja industri smelter di Malut berasal dari Malut, maka investasi yang berasal dari Malut adalah sekitar Rp19,5 triliun, dan ada sekitar 22.000 tenaga kerja lokal yang bisa dipekerjakan. Jika setiap warga Malut berinvestasi sebesar Rp. 1.000.000,-, maka ada sebanyak 19.500.000 penduduk yang bisa menikmati “cash flow” investasi tersebut. Selanjutnya ada 22.500 tenaga kerja lokal Malut yang akan menikmati pendapatan dari hasil investasi tersebut.
Simulasi ini hanya menunjukkan bagaimana perubahan kebijakan hilirisasi pemerintah dapat membawa manfaat ekonomi kepada masyarakat. Model simulasi ini bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan setempat, sehingga mencapai jumlah yang optimal untuk nilai investasi per warga maupun kebutuhan tenaga kerja. Model ini hanya ingin menunjukkan bahwa melalui dua pendekatan itu, kemakmuran ekonomi daerah bisa “ditangkap” oleh masyarakat lokal.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana bisa melibatkan begitu banyak masyarakat untuk berinvestasi dalam jumlah yang kecil? Investasi semacam ini akan melibatkan pekerjaan adminstrasi yang tidak sederhana, karena banyak urusan administrasi yang harus dituntaskan yang melibatkan banyak orang. Sedangkan untuk melibatkan tenaga kerja lokal, pemerintah cukup menegosiasikan syarat-syaratnya dengan pemodal asing yang akan mengisi sebagian porsi investasi lainnya. Di sini koperasi sangat berperan untuk melibatkan masyarakat yang berminat untuk berinvestasi dalam jumlah kecil. Sebelumnya pemerintah perlu memberikan ruang kepada koperasi untuk “berperan” dengan menetapkan kebijakan dan aturan main bahwa investasi untuk mensukseskan program hilirisasi perlu melibatkan koperasi.
Pengorganisasian investasi yang bernilai kecil akan mudah dilakukan melalui koperasi. Masyarakat yang berminat untuk berinvestasi akan menjadi anggota koperasi dan menyetorkan “modal penyertaan” sebesar satu juta rupiah (misalnya, untuk kasus industri smelter di Malut). Total modal penyertaan anggota ini (Rp19,5 triliun) akan menjadi porsi investasi koperasi pada industri smelter tersebut. “Cash flow” investasi setelah smelter beroperasi akan dinikmati pula oleh anggota koperasi yang sudah menyetorkan modal penyertaan tersebut. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi bisa dinikmati oleh masyarakat setempat melalui investasi mereka.
Koperasi dikenal dengan “dual identity”nya, di mana anggota koperasi sebagai “penikmat” jasa koperasi sekaligus “pemilik” koperasi itu. Sebagai pemilik, anggota ikut mengawasi dan “mengendalikan” jalannya koperasi. Sebagai “penikmat” jasa koperasi, anggota ikut menikmati “cash flow” sebagai imbalan dari investasi mereka. Di sini perbedaan mendasar antara koperasi dan badan hukum usaha lainnya.
Pengguna jasa atau pelanggan sebuah Perseroan Terbatas (PT) belum tentu juga sebagai pemilik PT tersebut. Sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa (atau pelanggan), koperasi bisa mengendalikan jenis dan jumlah investasinya. Jadi masyarakat yang menjadi anggota koperasi benar-benar mempunyai kendali atas keberuntungan ekonominya.
Model keterlibatan koperasi dalam berinvestasi bukan saja bisa diterapkan dalam program hilirisasi pemerintah, tapi juga bisa dilibatkan dalam banyak skema investasi di Indonesia. Melalui koperasi akan banyak masyarakat terlibat dalam investasi jumlah kecil, sehingga masyarakat juga bisa menikmati pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini.
Opini Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Jika kita berbicara tentang keadilan sosial, apa artinya? Lebih mudah untuk melihat “tidak” hadirnya keadilan sosial dalam suatu masyarakat dengan melihat gajalanya. Misalnya, adanya kesenjangan pendapatan, konsentrasi kekayaan pada kelompok kecil masyarakat, kesenjangan status sosial atau kemiskinan yang masih merajalela.
Untuk Indonesia, ukuran ketimpangan pendapatan diukur melalui Rasio Gini, yang saat ini adalah sebesar 0,384 (BPS, Maret 2022). Ukuran rasio gini menggunakan angka nol dan satu. Jika rasio gini berada di angka nol, maka pendapatan didistribusikan secara sempurna. Jika nilainya satu, maka konsentrasi pendapatan di negara itu hanya pada satu orang. Angka rasio gini Indonesia menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat.
Kembali kepada definisi “keadilan sosial”, menurut saya, keadilan sosial itu akan tercipta jika terpenuhinya minimal dua persyaratan, yaitu adanya “kesempatan yang sama” bagi seluruh masyarakat untuk membangun kesejahteraan hidupnya dan adanya jaminan untuk “mendapatkan hasil” yang sesuai dengan “usaha” yang diupayakan oleh mereka untuk meraih kesejahteraan itu.
Sedangkan untuk membangun kesejahteraan hidup tergantung juga kepada dua hal, yaitu kesempatan untuk “bekerja” atau “berusaha”. Artinya, jika kesempatan yang sama terbuka bagi semua orang untuk bekerja dan berusaha, dan mendapatkan imbalan yang sesuai dengan upayanya, maka jaminan untuk terciptanya keadilan sosial juga akan terpenuhi, tentunya harus didukung oleh semua kebijakan makro dan mikro yang relevan.
Apa yang dibutuhkan untuk mendapatkan kesempatan yang sama bagi semua orang? Kesempatan yang sama bisa diperoleh jika “aturan main” untuk mendapatkan kesempatan itu diberlakukan sama untuk semua orang. Antara lain, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan atau untuk membuka usaha tidak dibatasi oleh jenis kelamin, umur, ras, suku atau agama. Kesempatan berusaha juga tidak boleh dibatasi oleh jenis usaha (kecuali jenis yang dilarang oleh undang-undang atau agama), pemilihan tempat berusaha atau pemberian hak monopoli kepada pengusaha tertentu. “Aturan main” yang berlaku umum untuk semua orang ini adalah aturan yang harus dijamin oleh pemerintah, sehingga semua orang mempunyai peluang yang sama untuk berusaha atau untuk mendapatkan pekerjaan.
Unsur lain untuk menciptakan keadilan sosial adalah “jaminan” bahwa setiap orang akan menikmati “hasil” usahanya sesuai dengan upaya yang dikeluarkannya untuk mencapai hasil itu. Jaminan ini juga perlu diatur melalui aturan yang pelaksanaannya dijamin oleh pemerintah. Melalui jaminan peraturan tersebut, baik melalui undang-undang maupun peraturan yang lebih rendah, akan memicu motivasi pegawai maupun pengusaha untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Bagaimana peran koperasi dalam membentuk keadilan sosial?
Jika kita mempelajari tujuan didirikannya koperasi dan meninjau sejarah berdirinya koperasi diseluruh dunia, maka tujuan berdirinya koperasi adalah untuk mengangkat “keterpurukan” masyarakat dari kesenjangan ekonomi maupun sosial. Begitu pula halnya di Indonesia. Tujuan seseorang untuk bergabung dalam koperasi adalah untuk mengangkat posisi ekonominya, sehingga bisa memperbaiki status sosialnya. Jika kita mengacu kepada definisi International Cooperative Alliance (ICA) yang menyebutkan bahwa, “cooperatives are people-centered enterprises… to relise their common economic, social and cultural needs“. ICA, dalam hal ini, lebih jauh menekankan tujuan koperasi selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, juga kebutuhan sosial dan budaya anggotanya.
Menurut undang-undang Koperasi yang saat ini berlaku yaitu UU Koperasi no 25 tahun 1992 pasal 3 menyebutkan, “koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota…”. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa koperasi sebagai bangun organisasi memang diciptakan sebagai “kendaraan” untuk menciptakan “kesejahteraan”.
Jika koperasi berkembang dengan baik di Indonesia, maka kesejahteraan masyarakat yang bergabung sebagai anggotanya akan berkembang pula. Peningkatan kesejahteraan ini akan menekan lebih jauh “kesenjangan” ekonomi yang terjadi di masyarakat, sehingga bisa menciptakan keadilan sosial di Indonesia.
Koperasi juga menciptakan kesempatan yang sama untuk setiap anggotanya. Salah satu prinsip koperasi ICA yaitu, “voluntary and open membership”, menjamin kesamaan dan kesetaraan di antara anggotanya. Lebih jauh pasal 5a UU 25/92 menyebutkan bahwa “keaggotaan bersifat sukarela dan terbuka”.
Penjelasan pasal ini diuraikan lebih lanjut melalui penjelasannya bahwa, “keanggotaan tidak dilakukan pembatasan atau diskriminasi dalam bentuk apapun”. Prinsip “voluntary and open membership” ini membuka “kesempatan yang sama” bagi setiap orang. Dengan demikian, melalui koperasi, anggota bisa memiliki kesempatan yang sama untuk mewujudkan kesejahteraan ekonominya.
Prinsip koperasi, baik menurut ICA maupun menurut undang-undang yang berlaku, sudah menunjukkan bahwa syarat untuk mencapai tujuan kesejahteraan sosial sudah dipenuhi oleh koperasi.
Persyaratan yang kedua untuk mencapai kesejahteraan sosial adalah “imbalan” atas “upaya”. Dalam prakter koperasi ada yang dikenal dengan konsep “Sisa Hasil Usaha” atau yang lazim disebut sebagai SHU.
SHU ini adalah “imbalan” yang diterima oleh anggota sebagai akibat dari “interaksinya” dengan koperasi. Imbalan ini diterima oleh amggota sesuai dengan intensitas anggota dalam menggunakan jasa yang disediakan oleh koperasi. Setiap anggota akan menerima SHU yang berbeda dari satu sama lainnya, tergantung kepada “keaktifan” masing-masing anggota untuk memanfaatkan jasa koperasinya.
Di dalam koperasi, pembagian pembagian SHU ini juga dijamin oleh UU 25/1992. Bab IX, pasal 45 pada undang-undang ini menyebutkan, “Sisa Hasil Usaha …, dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh, masing-masing anggota dengan Koperasi,…”.
Seperti yang sudah kita lihat di atas, koperasi sebagai suatu organisasi memang sudah dilengkapi dengan “perangkat” untuk mewujudkan keadilan sosial. Aturan main yang menjamin terwujudnya kedua persyaratan tersebut juga sudah jelas dijamin oleh undang-undang yang belaku. Mereplikasi keberadaan koperasi di seluruh wilayah Indonesia akan mereplikasi pula persyaratan untuk mencapai keadilan sosial. Berkembang tumbuhnya koperasi di Indonesia akan membuka “jalan” untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
(Ketua Koperasi Aliansi Rakyat Indonesia Makmur)
Beritaneka.com, Jakarta —Pasal 33 UUD 45 mengamanatkan kepada kita bahwa ekonomi Indonesia dibangun berdasarkan azas kekeluargaan. Bung Hatta menyebutkan, KOPERASI adalah bangun usaha yang sesuai untuk menerjemahkan amanat UUD ini. Koperasi sudah sejak lama didorong untuk berperan dalam perekonomian Indonesia, bahkan sudah dinobatkan sebagai sokoguru ekonomi Indonesia.
Walaupun peran koperasi sudah diamanatkan oleh konstitusi, namun kontribusi koperasi terhadap perekonomian nasional masih kecil. Di tahun 2021 saja kontribusi koperasi terhadap perekonomian Nasional masih 5,1%, sedangkan presentase masyarakat Indonesia yang menjadi anggota koperasi masih berkisar di angka 8,41%. Apa yang membuat peran koperasi tertinggal jauh dibandingkan dengan pelaku usaha lainnya? Padahal, koperasi yang terdiri dari kumpulan orang-orang, dapat menjadi satu kekuatan ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia.
Ada tiga persyaratan dasar yang perlu dipenuhi sehingga koperasi dapat berperan penuh dalam perekonomian Indonesia. Yang pertama adalah, koperasi harus “diperbolehkan” atau “diizinkan” untuk berperan. Syarat ini sudah terpenuhi melalui amanat yang diberikan UUD maupun melalui undang-undang turunannya. Undang-undang maupun bentuk peraturan lainnya sudah memberikan “level playing field” dan lingkungan yang kondusif bagi koperasi untuk berperan.
Persyaratan kedua yang harus dipenuhi adalah bahwa koperasi harus “mau” berperan dalam perekonomian Indonesia. Karena koperasi merupakan kumpulan orang, maka orang-orang harus “mau” menjadi anggota koperasi dan “mau” mengambil manfaat dari nilai tambah yang diberikan oleh koperasi.
Selain itu, anggota juga harus “mau” berkontribusi modal, pikiran dan keahlian pada koperasi, sehingga koperasi dapat berperan dalam kegiatan ekonomi dan memberikan sumbangan kepada perekonomian nasional.
Persyaratan yang ketiga adalah, koperasi harus “mampu” memainkan perannya dalam perekonomian nasional. Kemampuan ini tidak saja harus dimiliki oleh anggota dalam memenuhi hak dan kewajibannya, tetapi juga harus dimiliki oleh koperasi sebagai organisasi pelaku usaha. Kemampuan ini termasuk kemampuan untuk bersaing, mencari peluang usaha maupun kemampuan untuk mengembangkan inovasi, sehingga koperasi dapat memberikan nilai tambah ekonomi dan nilai tambah sosial kepada anggotanya.
Pemerintah berperan sangat penting dalam mewujudkan ketiga persyaratan ini. Disamping menelorkan undang-undang dan peraturan untuk membentuk “level playing field”, pemerintah perlu memberikan peluang dan ruang gerak kepada koperasi dan masyarakat untuk “mau” berkoperasi.
Program insentif seperti keringanan pajak atau pemberian prioritas kepada sektor koperasi untuk berkiprah merupakan bentuk insentif yang bisa dikembangkan oleh pemerintah. Kemudahan untuk mengakses pelayanan publik bagi masyarakat anggota koperasi merupakan instrumen lain untuk menciptakan insentif. Kemudahan pemberian izin untuk berusaha bisa juga merupakan jenis insentif bagi masyarakat yang terdaftar sebagai anggota koperasi.
Untuk “memampukan” koperasi maupun anggotanya, pemerintah bisa membuat program pengembangan kapasitas. Program ini bisa berbentuk pelatihan atau pendampingan yang dilakukan oleh para ahli di bidangnya. Penugasan manajer profesional pada koperasi oleh pemerintah merupakan cara lain sebagai upaya untuk mendukung “kemampuan” koperasi.
Di sini kita lihat bahwa peran pemerintah untuk membangun koperasi sehingga bisa berperan dalam perekonomian nasional sangatlah penting. Dengan meningkatnya kontribusi koperasi pada perekonomian nasional, maka akan lebih sejahtera pula masyarakat anggota koperasi. Masyarakat sejahtera merupakan fondasi untuk membangun negara yang kuat.
Opini
Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Pemahaman yang berkembang di masyarakat saat ini adalah bahwa Indonesia berada dalam politik kenegaraan berbasis oligarki. Jika memang demikian adanya, maka wajar jika perjuangan rakyat Indonesia adalah untuk mengembalikan Indonesia sebagai “rumah” rakyat, bukan menjadikan Indonesia sebagai “rumah” para cukong pendukung penguasa.
Rakyat tentu berharap tampilnya pemimpin yang bisa membawa Indonesia kembali ke pangkuan rakyatnya. Apakah anti oligarki berarti anti investasi? Tidak sama sekali! Selama investasi itu membawa keadilan, kesejahteraan dan kesamarataan bagi rakyat Indonesia. Selama investasi itu tidak semata-mata demi kepentingan negara asing, atau negara manapun di dunia, atau demi kepentingan penguasa dan kroni-kroninya.
Baca Juga:
Indonesia Food Share Bantu Korban Gempa Cianjur
Ridwan Kamil: Korban Gempa Butuh Makanan, Kebutuhan Bayi dan Selimut
Presiden Jokowi Kunjungi Tenda Pengungsi Korban Gempa di Cianjur
Perjuangan rakyat melawan oligarki bukan karena semata-mata alergi terhadap kapital. Kapital justru diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi negara. Kita melawan oligarki karena kapital dan investasi yang masuk ke Indonesia digunakan untuk mengeruk kekayaan negara demi kepentingan segelintir orang. Bagaimana caranya supaya kapital tidak hanya menguntungkan segelintir orang saja? Jawabannya adalah, kapital perlu dimiliki oleh mayoritas rakyat, sehingga hasil investasi bisa dinikmati oleh rakyat pula. Pemilikan kapital oleh rakyat akan berdampak kepada kesejahteraan.
Indonesia sudah memiliki “kendaraan” yang bisa menjadikan rakyat Indonesia sebagai pemilik kapital, yaitu KOPERASI. Disamping koperasi sebagai badan usaha yang merupakan kumpulan orang, koperasi juga merupakan kumpulan modal, yang dihimpun melalui anggotanya.
Kumpulan modal yang terhimpun pada badan usaha koperasi, merupakan kekuatan investasi ekonomi Indonesia. Kekuatan investasi ini akan menghasilkan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat yang tergabung dalam koperasi. Kapital yang terbentuk juga merupakan akumulasi kekuatan ekonomi rakyat.
Selain pemilikan kapital, prinsip koperasi yang mencerminkan demokrasi melalui prinsip “one man one vote”, menciptakan kesamarataan dan keadilan bagi anggota koperasi. Pengalaman anggota menjalankan demokrasi di koperasi, akan memberikan edukasi politik kepada rakyat.
Masyarakat akan lebih peka akan hak dan kewajiban politiknya. Sistem oligarki politik tidak akan mudah diterima oleh masyarakat. Kepekaan politik dan kemampuan untuk menghimpun modal oleh anggota koperasi, akan memberikan pengaruh yang signifikan kepada praktek politik yang berlangsung saat ini.
Secara sistematis sistem politik oligarki akan pudar, karena koperasi merupakan wadah kesamarataan, keadilan dan kesejahteraan, sekaligus merupakan kekuatan modal bagi rakyat Indonesia.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Ketua Koperasi Aliansi Rakyat Indonesia Makmur (Karima)
Makin sempitnya lapangan pekerjaan, akan memengaruhi pendapatan. Keterbatasan untuk memperoleh pendapatan akan meningkatkan pula angka kemiskinan.
Beritaneka.com, Jakarta —Gonjang ganjing masuknya tenaga kerja China kelas buruh ke Indonesia cukup membuat keresahan di kalangan masyarakat bawah di beberapa daerah di Indonesia. Paling tidak inilah berita yang banyak beredar di media sosial. Angka pasti jumlah buruh China yang masuk ke Indonesia juga tidak pernah diketahui. Namun keresahan masyarakat akan kepastian masa depan mereka, terutama yang menyangkut dengan peluang bekerja sebagai buruh kasar, merupakan salah satu ancaman sebagai akibat dari kehadiran buruh China di Indonesia.
Bisa diperkirakan, jika arus investasi China yang masuk ke Indonesia di masa depan akan meningkat, maka jumlah buruh China yang masuk ke Indonesia, sebagai akibat dari investasi tersebut, akan meningkat pula. Tenaga buruh China akan mendominasi kesempatan kerja di level bawah, sehingga peluang bekerja bagi masyarakat Indonesia kelas bawah akan semakin sempit pula. Ini merupakan kegelisahan masyarakat di beberapa tempat di Indonesia saat ini. Apa konsekuensinya jika hal ini terjadi?
Baca Juga:
- Sebanyak 25.700 Karyawan Pabrik Sepatu Kena PHK
- KTT G20, Presiden Jokowi Serukan Penghentian Perang
- Pemilik Kendaraan Bisa Manfaatkan Pemutihan Pajak Kendaraan hingga Akhir Tahun Ini
Makin sempitnya lapangan pekerjaan, akan memengaruhi pendapatan. Keterbatasan untuk memperoleh pendapatan akan meningkatkan pula angka kemiskinan. Kemiskinan akan membatasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder mereka. Bagaimana jalan keluarnya untuk mengantisipasi kemiskinan di masa depan?
Koperasi yang merupakan wadah tempat berkumpulnya orang-orang, dapat menjadi sarana untuk mengatasi kemiskinan. Kumpulan orang yang tergabung dalam koperasi dapat membentuk kumpulan modal, sehingga usaha bersama dapat dimulai. Dengan berkembangnya jumlah keanggotaan koperasi, pembelian barang-barang konsumsi maupun produksi dapat diperoleh dengan harga yang lebih rendah. Jumlah anggota koperasi yang besar, akan menciptakan skala ekonomi.
Melalui koperasi, anggota juga lebih mudah untuk memperoleh pinjaman dari pihak ketiga, karena prinsip tanggung renteng yang berlaku di koperasi. Saling menjamin antara anggota adalah praktek yang lazim dilakukan oleh koperasi yang bergerak di sektor jasa keuangan di Indonesia.
Prinsip penting yang berlaku di koperasi adalah edukasi anggota. Disamping edukasi untuk mengenal hak dan kewajiban anggota koperasi, banyak jenis edukasi yang bisa dilakukan oleh koperasi kepada anggotanya. Mulai dari peningkatan keahlian anggota untuk berusaha, peningkatan keterampilan anggota dalam berbagai bidang, seperti bertani, berdagang, pemasaran, manajemen, bertukang, dan sebagainya. Dengan meningkatnya keterampilan anggota, akan tercipta pula peluang untuk berusaha atau untuk mendapatkan pekerjaan baru.
Pemupukan modal bersama, terciptanya kesempatan berusaha, peningkatan keterampilan dan terbentuknya skala ekonomi, merupakan nilai tambah yang diciptakan oleh koperasi untuk masyarakat yang tergabung dalam koperasi. Dengan sendirinya, melalui nilai tambah yang diciptakan akan menjauhkan anggota dari kemiskinan, terutama masyarakat yang menjadi korban kebijakan investasi dari China.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Ketua Koperasi Aliansi Rakyat Indonesia Makmur (Karima)
Beritaneka.com, Jakarta —Pemerintah baru saja mengeluarkan angka pertumbuhan ekonomi. World Inequality Report 2022 menyebutkan, bahwa “Sejak tahun 1999 tingkat kekayaan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan signifikan. Namun, pertumbuhan ini meninggalkan ketimpangan kekayaan yang hampir tidak berubah”.
Dari data agregat, memang Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat sejak 20 tahun terakhir ini, tapi pertumbuhan itu tidak memberikan manfaat kepada mayoritas masyarakat, karena distribusi kekayaan akibat petumbuhan itu tidak terbagi secara merata. Dengan kata lain, hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menikmati pertumbuhan ini.
Baca Juga:
- Presiden Jokowi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Lima Tokoh
- Ekonomi Diproyeksikan Tumbuh 5,2 Persen, Menko Airlangga: Optimistis Indonesia Terhindar Resesi
- Hadapi Resesi Global, Kemnaker Dorong Perusahaan Pilih Efisiensi Daripada PHK
- Koperasi dan Oligarki
Koperasi sebagai badan usaha yang menghimpun manusia sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi dapat menjadi “wadah” untuk menyalurkan delta pertumbuhan kepada masyarakat banyak.
Koperasi dapat ikut serta menikmati “kue” pertumbuhan yang dapat dibagikan kepada anggotanya. Kontribusi pertumbuhan ekonomi di Indonesia didominasi oleh sektor manufaktur, yang berupa kegiatan pertambangan dan pengolahan sumber daya alam.
Sektor ini berada di “hulu” dari serangkaian kegiatan ekonomi, sebelum barang dan jasa yang diperdagangkan sampai ke pasar. Sampai saat ini memang penguasaan konsesi pertambangan dan sektor manufaktur lainnya masih dikuasai oleh segelintir orang yang biasanya mempunyai “hubungan khusus” dengan para penguasa.
Pembagian konsesi ini seharusnya dilakukan melalui proses yang transparan, sehingga semua pihak termasuk koperasi dapat “bertanding” dalam mengolah dan memperoleh keuntungan dari sektor hulu tersebut. Dengan demikian koperasi juga diberikan peluang untuk menikmati “kue” kekayaan negara.
Dengan terbukanya peluang koperasi untuk dapat terlibat di sektor hulu, terutama di sektor manufaktur sebagai kontributor terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka pembagian pertumbuhan ekonomi Ini akan bisa dinikmati oleh masyarakat yang bergabung dalam wadah koperasi.
Kesenjagan ekonomi akibat tidak terdistribusinya “kue” pertumbuhan dengan baik, akan dapat ditekan melalui keikutsertaan koperasi. Makin besar keterlibatan koperasi yang beroperasi di sektor hulu, maka makin rata pula pembagian “kue” pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di sini dituntut kearifan pemerintah dalam memberikan peluang kepada koperasi untuk ikut serta dalam mengolah kekayaan alam Indonesia.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Ketua Koperasi Aliansi Rakyat Indonesia Makmur (Karima)
Beritaneka.com, Jakarta —Gelombang arus menentang oligarki beberapa tahun terakhir ini sangat kuat. Oligarki yang dikenal sebagai “kembar siam”, merupakan sistem hubungan “simbiose mutualisme” antara penguasa dan pengusaha.
Pengusaha oligarki adalah pemilik modal yang punya andil dalam mendudukkan penguasa dalam kekuasaan. Hal ini tentu membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi mayoritas rakyat.
Kebijakan penguasa cenderung menguntungkan pengusaha. Fenomena “ketimpangan” ini yang dirasakan masyarakat.
Kebijakan pemerintah yang pro pengusaha itu biasanya semua jenis kebijakan yang berdampak untuk meningkatkan keuntungan usaha, menekan “cost” dan yang memberi ruang untuk membangun peluang usaha baru, baik melalui eskpor maupun impor.
Baca Juga:
- Kendalikan Bahaya Merokok, Pemerintah Naikkan Cukai Hasil Tembakau
- Resiliensi Ekonomi Indonesia Siap Hadapi Krisis Global Tahun Depan
- Migrasi Siaran TV Digital, Mahfud MD: Kualitas Siaran Lebih Baik
- Ekonomi Indonesia Tahan Resesi, JK: Jangan Pesimis!
Bagaimana nasib kepentingan rakyat yang tidak masuk kedalam kategori pengusaha? Rakyat yang mayoritas adalah golongan pencari kerja otomatis akan menjadi korban.
Pemenuhan semua jenis hak pegawai akan meningkatkan biaya perusahaan, seperti tuntutan kenaikan gaji, hak cuti, hak protes, dan sebagainya. Pengurangan hak ini akan berdampak kepada kesejahteraan masyarakat pencari kerja.
Koperasi dalam hal ini akan menjadi penting. Identitas koperasi, di mana pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi, merupakan wadah ideal bagi pegawai untuk lepas dari dominasi pemberi kerja dalam menentukan nasibnya.
Pegawai perusahaan otomotif bisa sekaligus sebagai pemilik perusahaan itu. Pegawai perusahaan asuransi bisa sekaligus sebagai pemilik perusahaan asuransi. Artinya, pegawai yang memerlukan pekerjaan adalah sekaligus sebagai pemberi kerja.
Koperasi tersebut yang bernama “Mondragon” sudah berkembang dengan baik di Spanyol sejak permulaan abad yang lalu.
Dengan dikembangtumbuhkannya koperasi pegawai yang sekaligus pemilik perusahaan, akan lambat laun melunturkan dominasi oligarki. Kebijakan yang semula menguntungkan pemilik modal pada akhirnya akan menguntungkan pegawai pemilik perusahaan.
Pertumbuhan koperasi jenis ini juga akan meningkatkan nilai tawar pegawai sebagai pemilik perusahaan. Nilai tawar tersebut akan memengaruhi kebijakan pemerintah yang pada akhirnya menguntungkan pegawai, juga menguntungkan pegawai lain yang bekerja untuk oligarki.
Beritaneka.com, Sumedang —Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki menyebut kesadaran masyarakat Indonesia untuk berkoperasi masih sangat rendah. Hal itu diungkapkan Teten saat kunjungan kerja dalam rangka Peringatan ke-75 Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) di Kampus IKOPIN University, Kabupaten Sumedang, beberapa waktu lalu.
Menurut Teten, dengan masih sangat rendahnya tingkat kesadaran berkoperasi masyarakat Indonesia, maka diperlukan upaya untuk menjadikan koperasi sebagai pilihan utama masyarakat dalam mengembangkan perekonomian.
Agar hal itu terwujud, kata Teten, koperasi perlu membenahi dan memperkuat ekosistem kelembagaannya. Sehingga, koperasi akan mampu mengembangkan potensinya. Selain itu, koperasi juga harus memperbaiki akuntabilitas dan tata kelola.
Baca Juga:
- Bayar Pajak Kendaraan Dapat Asuransi Kecelakaan Lalu-Lintas
- Produk Kesehatan, Makanan-Minuman dan Otomotif Paling Banyak Dibeli Konsumen
- Pemerintah Siapkan Super Apps Layanan Publik
- Era Digital, Menkeu Sri Mulyani: Banyak Urusan Bisa Diselesaikan secara Online
- Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 36 Resmi Dibuka Hari Ini, Perhatikan Syaratnya
- Aturan Terbaru Perjalanan Luar Negeri dan Domestik, Berlaku Mulai 17 Juli
“Memang kalau dilihat dari rata-rata orang Indonesia berkoperasi ini baru 8 persen, di dunia 16 persen. Ini perlu kita terus upayakan bagaimana koperasi menjadi pilihan rasional masyarakat ketika mereka ingin berusaha,” kata Menteri Teten dalam keterangan resminya dikutip hari ini.
“Yang harus dibenahi itu adalah ekosistem kelembagaan koperasi harus diperkuat supaya koperasi bisa terus mengembangkan modal bisnisnya, akuntabilitasnya juga membaik, termasuk tata kelolanya,” kata Teten.
Sementara itu, Pelaksana Harian (Plh) Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Barat Yerry Yanuar yang mendampingi Menteri Teten dalam kunjungan kerjanya itu menyatakan, Pemprov Jabar melalui Dinas Koperasi dan Usaha Kecil (KUK) terus mendorong penguatan kelembagaan koperasi, mulai dari sumber daya manusia (SDM) hingga kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan terkait.
“Di Jabar sendiri pada dasarnya koperasi dari dulu jadi sokoguru ekonomi, maka dalam memperkuat kelembagaan koperasi ini, Dinas KUK melakukan upaya-upaya terhadap penguatan kelembagaan tersebut, termasuk SDM yang ada, bahkan seperti apa sistem dari mulai produksi sampai pemasarannya,” tutur Yerry.
Yerry menilai, pengembangan koperasi tidak hanya dapat mengandalkan pemerintah dan pengusaha, tetapi juga membutuhkan peran serta masyarakat, terutama para pelaku usaha kecil menengah (UKM).
Menurut Yerry, tantangan ekonomi ke depan membutuhkan kolaborasi dari masyarakat dan koperasi mampu menjadi jawaban sekaligus peluang bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat.
“Kolaborasi masyarakat sendiri dapat membangun koperasi karena tampaknya secara tantangan ke depan tidak bisa (dihadapi) secara individu, tapi bisa dijawab melalui kolaborasi dalam bentuk koperasi,” kata Yerry.
“Koperasi inilah yang menjadi tampungan dari berbagai macam produksi yang bisa dikembangkan sekaligus juga bisa memiliki akses terhadap offtaker yang ada, bahkan bisa sampai ke tingkat internasional, apalagi dengan (era) digitalisasi saat ini,” katanya.