Beritaneka.com—Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin menilai ancaman intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme masih terus dihadapi bangsa Indonesia. Hal ini mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, potensi tersebut sudah mengalami penurunan. Wapres mengutip hasil survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyebutkan indeks potensi radikalisme pada tahun 2020 mencapai 14,0 (pada skala 0 s/d. 100).
“Jumlah penurunan dibanding tahun 2019 yang mencapai 38,4%. Capaian ini tentu saja menggembirakan bagi kita semua. Untuk itu saya sampaikan apresiasi kepada semua pihak terkait,” kata Wapres Ma’ruf Amin dalam konferensi virtual hari ini.
Baca Juga: Gotong Royong Hadapi Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme
“Munculnya berbagai kejadian berbasis kekerasan. Hal ini secara nyata merupakan gangguan. Kita harus selalu waspada dan tetap berusaha mencegah dan menanggulanginya,” kata Ma’ruf Amin.
Namun demikian, Ma’ruf berharap masyarakat Indonesia tidak boleh berpuas diri. Sebab, ke depan masih dihadapkan pada ancaman ekstremisme dan radikal terorisme yang selalu bermetamorfosis dalam banyak pola dengan mengusung isu-isu yang tidak sejalan dengan ideologi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Ancaman ini, lanjut Ma’ruf, telah menciptakan kondisi rawan serta gangguan atas stabilitas dan keamanan nasional.
Beritaneka.com—Anggota DPR RI Evita Nursanty mengutuk keras aksi terorisme yang terjadi dalam beberapa hari terakhir. Ia mendukung langkah-langkah Polri untuk mengusut tuntas jaringan-jaringan pelaku dan membongkar serta menindak jaringan itu sampai ke akar-akarnya.
Hal ini ini diungkapkan Evita dalam siaran persnya, Kamis (1/4/2021), menanggapi aksi terorisme yang terjadi di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), dan penyerangan yang dilakukan perempuan bersenjata di Mabes Polri, Jakarta.
“Kami mengutuk keras aksi aksi yang tidak berperikemanusiaan ini, dan mendukung langkah Kapolri dan jajarannya membongkar dan menindak jaringan teror ini. Kami juga berharap Polri tetap mawas diri dan meningkatkan kewaspadaan dalam bertugas meskipun tanpa mengurangi kinerja pelayanan kepada masyarakat,” ucap Ketua Umum Keluarga Besar Putra Putri Polri (KBPP Polri) itu.
Menurut Evita, sebagai bentuk dukungan kepada Polri, dirinya telah memerintahkan seluruh jajaran organisasi KBPP Polri dari pusat sampai tingkat paling bawah atau pimpinan sektor dan subsektor di daerah untuk waspada dan terus membantu tugas-tugas kepolisian terutama dalam rangka antisipasi dini kegiatan yang berhubungan dengan intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Dia juga mengimbau agar masyarakat semakin menyadari bahaya terorisme masih belum habis di Indonesia dan para pelaku masih terus aktif melakukan rekrutmen terutama kepada generasi muda usia 17 tahun sampai 35 tahun, termasuk menyasar dunia pendidikan. Apalagi dalam peristiwa terakhir ini, termasuk yang terjadi di Surabaya dan daerah lainnya beberapa tahun lalu, melibatkan kaum perempuan.
Evita mengutip survei sebelumnya yang menurutnya sangat memprihatinkan, misalnya hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) yang menyatakan 52 persen pelajar setuju dengan aksi radikalisme. Kemudian survei PPIM UIN belum lama ini menyebut sebanyak 30 persen mahasiswa memiliki sikap intoleran terhadap agama yang berbeda.
Selain itu penelitian PPIM UIN juga mendapatkan data bahwa radikalisme di lingkungan pendidikan sudah berkembang ke arah yang harus diwaspadai secara serius,apalagi ditemukan sebanyak 23 persen guru dan dosen memiliki opini yang radikal. Di antaranya 8,4 persen sudah diwijudkan dalam aksi-aksi radikal.
“Ini menjadi warning bagi para orang tua untuk mengawasi anak-anak jangan sampai terpapar radikalisme dan terorisme apalagi mereka sangat aktif menyasar anak-anak kita dari semua sisi termasuk di lingkungan pendidikan yang makin mudah berkat adanya sosial media. Ini harus jadi problem bersama. Kita memang sangat membutuhkan pembangunan ekonomi dan infrastruktur tapi jangan lupa membangun suprastruktur,” ucapnya.
Para orang tua perlu mencermati ciri-ciri orang yang terpapar paham radikal, yaitu menutup diri dan menghabiskan waktu dengan komunitas yang dirahasiakan, merasa diri paling benar, serta mengajarkan kekerasan, kebencian, dan intoleransi. “Orangtua harus mencermati itu, dan jika ditemukan ciri-ciri itu harus diarahkan dengan benar,” kata Evita lagi.
Di pihak lain, Evita berpendapat, intoleransi, radikalisme dan terorisme harus dilawan secara bersama sama atau bergotong royong semua komponen bangsa Indonesia. Semangat gotong royong harus dibangun demi menciptakan Indonesia yang bersatu, damai, dan sejahtera.
“Sikap gotong royong adalah karakter dan kepribadian masyarakat Indonesia, dan merupakan wujud pengalaman Pancasila. Kita tidak bisa sendiri sendiri tapi harus bergotong royong melawan intoleransi, radikalisme dan terorisme. Kita punya nilai nilai itu dalam darah kita,” pungkas politisi PDI-Perjuangan itu.