Oleh: Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch
Beritaneka.com—Kebocoran data penduduk Indonesia menjadi berita hangat saat ini. Ada pihak luar yang mengkaim memiliki 279 juta penduduk Indonesia. Atas klaim tersebut Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan investigasi sumber kebocoran data tersebut. Berdasarkan hasil investigasi terbaru yang dilakukan terhadap dugaan kebocoran data penduduk, diduga kuat identik dengan data BPJS Kesehatan.
Hal tersebut didasarkan pada data Noka (Nomor Kartu), Kode Kantor, Data Keluarga/Data Tanggungan, dan status pembayaran yang identik dengan data BPJS Kesehatan. Data sampel yang ditemukan tidak berjumlah 1 juta seperti klaim penjual, tetapi sebanyak 100.002 data.
Tentunya kebocoran data ini menjadi hal yang sangat serius karena akan memiliki dampak bagi banyak hal. Keseriusan masalah ini segera ditindaklanjuti oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan memanggil Direksi BPJS Kesehatan.
Baca juga: 279 Juta Data Penduduk Bocor, Ini Penjelasan BPJS Kesehatan, Kominfo, dan Kemendagri
Sebagai institusi public BPJS Kesehatan memang mengelola data yang sangat besar dan relatif rinci. Hal ini tentunya terkait dengan tugas pelayanan BPJS Kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia. Menurut Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018, seluruh rakyat Indonesia diwajibkan ikut program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Jumlah peserta JKN terkini sekitar 222,4 juta orang atau sekitar 82,37 persen dari total rakyat Indonesia.
Data-data yang dikelola oleh BPJS Kesehatan sangat beragam dan rinci. Terkait dengan data pribadi, data tersebut antara lain nama, alamat, tempat tanggal lahir, NIK, nama keluarga dalam satu KK, upah bagi peserta Penerima Upah, nomor rekening bagi peserta Bukan Penerima Upah, hingga sidik jari.
Tidak hanya itu, BPJS Kesehatan pun mengelola data kesehatan peserta JKN maupun fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, dari masyarakat sipil maupun militer. Data-data tersebut tentunya sangat confidential, yang harus dijaga agar tidak berpindah ke pihak lain.
Untuk mendukung pengelolaan seluruh hal di atas, kerja-kerja BPJS Kesehatan didukung teknologi infomasi, untuk lebih efisien dan efektif. BPJS Kesehatan memiliki banyak aplikasi seperti Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Kepesertaan, Aplikasi Sistem Informasi Layanan Publik, Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Penjaminan Pelayanan Kesehatan.
Untuk mendukung Sistem Informasi Manajemen Kepesertaan, BPJS Kesehatan memiliki 6 Aplikasi yaitu :
1. Mobile JKN, dengan jenis aplikasi Mobile Android dan IOS. Fitur dan manfaat aplikasi ini dipergunakan untuk pendaftaran peserta baru PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah), pindaf Fasilitas Kesehatan, Cek Tagihan, Riwayat pembayaran, Pencaian Fasilitas Kesehatan, Skrining Riwayat Kesehatan, Pendaftaran Antrian Faskes, Ketersediaan Tempat Tidur dan Jadwal Operasi, dan informasi lainnya. Pengguna aplikasi ini adalah public dan internal BPJS Kesehatan.
2. Aplikasi BPJS Checking, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini digunakan untuk cek tagihan iuran peserta via website BPJS Kesehatan. Pengguna aplikasi ini adalah peserta BPJS Kesehatan.
3. Aplikasi e-Dabu, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini dipergunakan untuk peserta segmen Badan Usaha untuk dapat melakukan pendaftaran karyawan, mutasi karyawan,informasi tagihan, dsb. Pengguna aplikasi ini adalah Badan Usaha.
4. Aplikasi BPJS Admin, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini untuk mencetak e-ID peserta pekerja penerima upah Badan Usaha. Pengguna aplikasi ini adalah Badan Usaha.
5. Aplikasi Registrasi Badan Usaha, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini untuk pendaftaran Badan Usaha menjadi peserta BPJS Kesehatan via website BPJS Kesehatan. Pengguna aplikasi ini adalah Badan Usaha.
6. Portal Bersama, dengan jenis aplikasi Web Based. Fitur dan manfaat aplikasi ini adalah portal pendaftaran Badan Usaha untuk mendaftar peserta BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Pengguna aplikasi ini adalah Badan Usaha.
Untuk mendukung Sistem Informasi Layanan Publik, BPJS Kesehatan memiliki 6 Aplikasi yaitu Website BPJS Kesehatan, Aplikasi Mudik BPJS Kesehatan, Portal Jamkesnews, Aplikasi Aplicares, dan Web Skrining (skrining Kesehatan peserta).
BPJS Kesehatan pun memiliki Sistem Informasi Manajemen Penjaminan Pelayanan Kesehatan yang terdiri dari 8 Aplikasi yaitu Aplikasi Health Facilities Information System (HFIS), Aplikasi Pcare-Eclaim, Aplikasi vClaim, Aplikasi Sidik Jari BPJS Kesehatan, Aplikasi Antrean Faskes, Aplikasi Luar paket INACBGs (LUPIS), Aplikasi Apotek Online, dan Aplikasi Klaim Covid-19.
Ketentuan tentang tata Kelola Teknologi Informasi (TI) ini diatur dalam Peraturan Direksi BPJS Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Panduan Umum Pengelolaan Teknologi Informasi BPJS Kesehatan.
Baca juga: Investigasi Data Pribadi yang Bocor, Kemkominfo Panggil Direksi BPJS Kesehatan
Beberapa framework dan standar tata Kelola TI yang diimplementasikan BPJS Kesehatan antara lain:
1. Control Objectives for Information and Related Technology (COBIT) yang dikembangkan oleh IT Governance Institute untuk membantu BPJS Kesehatan dalam melakukan penilaian tata Kelola atas proses TI yang dimiliki. Tahun 2020 telah dilakukan assessment tingkat kapabilitas tata Kelola TI BPJS Kesehatan menggunakan standar COBIT 5.
2. The IT Infrastucture Library (ITIL) yang dikembangkan oleh office of government Commerce untuk membantu suatu organisasi dalam menyediakan tata Kelola atas layanan operasional TI yang baik dan memenuhi harapan pengguna.
3. The ISO/IEC 27001:2013 (ISO 27001) yang merupakan standarisasi penerapan Sistem Manajemen Keamanan Informasi (SMKI) atau Information Security Management System (ISMS) yang memenuhi standar internasioal.
4. The ISO/IEC 20000:2011 (ISO 20000) yang merupakan standarisasi yang dikembangkan oleh ISO untuk membantu suatu organisasi daam hal penerapan Sistem Manajemen Layanan TI (SMLTI) atau Information Technology Service Management (ITSM) yang memenuhi standar internasioal.
Saat ini BPJS Kesehatan telah berhasil memperoleh sertifikasi untuk The ISO/IEC 27001:2013 (ISO 27001) dan The ISO/IEC 20000:2011 (ISO 20000) dari Lembaga Sertifikasi International British Standars Intitution (BSI).
Tentunya dugaan kebocoran data yang diduga dari BPJS Kesehatan tersebut, bila dikaitkan dengan banyaknya aplikasi di BPJS Kesehatan, maka kebocoran data tersebut kemungkinan bisa disebabkan diretasnya aplikasi-aplikasi tersebut khususnya Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Kepesertaan dan Aplikasi pelayanan Kesehatan, dan kemungkinan kedua adalah adanya orang dalam yang membocorkan data-data tersebut. Namun saya cenderung menilai kemungkinan pertama yang terjadi, walaupun tentunya penyelidikan atas kemungkinan kedua pun harus dilakukan.
Bila memang karena diretas maka pengamanan aplikasi TI yang dimiliki BPJS Kesehatan relatif rendah. BPJS Kesehatan tidak bisa memastikan beberapa framework dan standar tata Kelola TI yang diimplementasikan BPJS Kesehatan untuk menjamin keamanan aplikasi-aplikasi di BPJS Kesehatan. Sebaiknya memang aplikasi yang ada di BPJS Kesehatan juga bisa disederhanakan jumlahnya sehingga bisa lebih efektif dan efisien dalam mengalola program JKN.
Kebocoran data ini harus dituntaskan oleh Pemerintah. Kebocoran data kepesertaan ini juga akan berdampak pada kebocoran data medis rakyat Indonesia yang dikelola BPJS Kesehatan. Ini sangat berbahaya bagi Indonesia bila data rakyat Indonesia dan data medis bisa dimiliki pihak lain.
Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch
Beritaneka.com—Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh pada tanggal 4 Maret 2021.
Kehadiran PP No 53 ini adalah pelaksanaan amanat Pasal 65 Ayat (3) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 65 ayat (3) ini merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 64-nya yang menyatakan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan salah satunya dengan Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh.
Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. Organ dan Jaringan Tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Tentunya kehadiran PP No 53 Tahun 2021 ini yang telah dinanti selama 12 tahun oleh masyarakat Indonesia, harus kita apresiasi bersama.
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir memberikan apresiasi kepada Presiden Joko Widodo yang telah menerbitkan PP No 53 ini. KPCDI menilai PP ini menjadi kabar baik bagi seluruh pasien yang membutuhkan transplantasi organ dan jaringan di Indonesia, khususnya bagi penderita gagal ginjal.
Dalam Penjelasan PP 53 ini disebutkan transplantasi sebagai temuan hebat di dunia kedokteran yang berhasil memperpanjang dan memperbaiki kualitas hidup ribuan pasien di seluruh dunia. Transplantasi organ, khususnya ginjal, di luar negeri diperkirakan lebih banyak dibandingkan dengan di dalam negeri karena berbagai faktor seperti sumber pendonor lebih banyak berasal dari pendonor hidup, belum adanya aturan yang memberikan kepastian hukum untuk transplantasi yang berasal dari pendonor mati batang otak/mati otak, faktor biaya, faktor budaya, dan rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya transplantasi organ.
Dengan lahirnya PP No 53 ini diharapkan kendala-kendala tersebut dapat diatasi sehingga proses Tranplantasi Organ dan Jaringan Tubuh menjadi lebih berkembang lagi membantu rakyat Indonesia.
Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda) pun diatur dalam PP, baik dari peran meningkatkan donasi dan ketersediaan Organ dan Jaringan, sisi pendanaan (alokasi APBN dan APBD), sosialisasi, pembinaan RS yang menyelenggarakan Transplantasi, membuat Bank Mata dan Bank jaringan lainnya, dan membangun Sisitem Informasi Transplantasi. Seluruh fasilitas Kesehatan pun diharapkan mendukung upaya meningkatkan donasi dan ketersediaan Organ dan Jaringan melalui kegiatan pengerahan Pendonor.
Transplantasi Organ memang diidentikan dengan biaya mahal. Paket Biaya Tranplantasi Organ terdiri dari biaya pemeriksaan kelayakan dan kecocokan antara Resipein dan Pendonor; Biaya operasi Transplantasi organ bagi Pendonor dan Resipien, Biaya Perawatan paska operasi transplantasi organ bagi Pendonor dan Resipien, dan Iuran atau dana jaminan Kesehatan dan jaminan kematian bagi Pendonor.
Kabar gembira bagi masyarakat miskin, Pasal 15 ayat (3) PP No. 53 mengamanatkan bagi Resipien (pasien penerima donor) yang tidak mampu maka paket Biaya Transplantasi Organ diberikan bantuan sesuai dengan mekanisme jaminan Kesehatan nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Tentunya dengan Pasal 15 ayat (3) ini pelayanan Transplantasi Organ bisa diakses masyarakat miskin kita. Tidak hanya itu Pemerintah Pusat atau Pemda pun membantu Resipien dari masyarakat miskin untuk membayarkan penghargaan kepada pendonor yang tidak bisa menjalankan aktivitas atau pekerjaan secara optimal selama proses transplantasi dan pemulihan kesehatannya.
Bila Pemerintah membantu Biaya Transplantasi Organ dan Penghargaan bagi masyarakat miskin, tidak halnya dengan Transplantasi Jaringan (yang meliputi Transplantasi Jaringan Mata dan Jaringan Tubuh lainnya) bagi masyarakat miskin. Dalam PP No 53 ini tidak disebutkan tentang bantuan biaya Transplantasi Jaringan dari Pemerintah Pusat maupun Pemda kepada masyarakat miskin, sehingga peluang masyarakat miskin mengakses Transplantasi Jaringan sangat kecil mengingat biaya Transplantasi Jaringan tidak akan terjangkau oleh masyarakat miskin.
Seharusnya Pemerintah juga membantu membiayai Transplantasi Jaringan ini, mengingat ketidakmampuan masyarakat miskin membiayainya sendiri. Pemerintah harus memberikan keadilan bagi masyarakat miskin untuk mengakses Transplantasi Jaringan.
Saya menilai Pemerintah harus merujuk pada Pasal 5 ayat (3) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai dasar membiayai Transplantasi Jaringan bagi masyarakat miskin. Pasal 5 ayat (3) ini mengamanatkan setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Penjelasannya disebutkan yang dimaksud dengan “kelompok masyarakat yang rentan” antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Dengan Pasal 5 ayat (3) UU HAM ini Pemerintah seharusnya membiayai Tranplantasi Jaringan kepada masyarakat miskin sehingga Negara benar-benar mampu memperpanjang dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat miskin yang membutuhkan Transplantasi Jaringan.
Kehadiran PP No 53 Tahun 2021 ini sudah baik, namun demikian ke depannya kita berharap bersama Pemerintah mau juga membiayai Transplantasi Jaringan bagi masyarakat miskin kita.
Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch
Beritaneka.com—Adanya rencana Pemerintah menerapkan kelas standar di ruang perawatan Rumah Sakit (RS), sesuai pasal 54A Perpres Nomor 64 Tahun 2020, tentunya akan berdampak pada dua hal yaitu mengkaji ulang iuran peserta dan nilai INA CBGS.
DJSN yang diberi tugas untuk mengkaji penerapan klas standard ini sudah menginformasikan bahwa akan ada dua kelas standar yaitu kelas PBI dan Kelas Non PBI.
Dengan adanya dua kelas standard ini maka akan ada dua jenis iuran dan dua jenis INA CBGS di satu RS, yang tergantung tipe RS nya.
Terkait iuran, tentunya sebagai konsekuensi adanya kelas standar maka akan ada iuran baru.
DJSN akan menghitung ulang iuran JKN untuk kedua kelas tersebut, khususnya kelas non PBI yaitu dari iuran PPU (pekerja penerima upah) yang iurannya berdasarkan persentase tertentu dari upah dan iuran dari PBPU dan BP yang iurannya sebesar nominal tertentu.
Kalau iuran untuk PBI tentunya akan relatif lebih mudah karena hanya satu kelompok saja yang iurannya dibayar full pemerintah. Kemungkinan Pemerintah tetap memberlakukan iuran sebesar Rp42.000 per orang per bulan.
Sementara kelas non PBI harus dihitung lebih cermat karena melingkupi PPU dan PBPU dan BP. Harus dihitung berapa persen dari upah untuk PPU dan berapa nilai nominalnya untuk PBPU dan BP.
Untuk PPU Pemerintah dan Badan Usaha/BUMN, iurannya nanti hanya satu. Tidak ada lagi pembagian kelas 2 dan kelas 1, yaitu berdasarkan upah yang diterima. Untuk PPU Badan Usaha/BUMN, ketentuan upah Rp4 juta dan di bawah Rp4 juta akan mendapat kelas 2, sementara di atas Rp4 juta dapat kelas 1, tidak akan berlaku lagi karena semua PPU Badan Usaha/BUMN akan dapat klas non PBI. Demikian juga PPU Pemerintah, tidak akan ada lagi pembagian kelas perawatan berdasarkan golongannya, semuanya akan dapat kelas non PBI.
Demikian juga dengan PBPU dan BP (keduanya biasa disebut peserta mandiri), tentunya tidak ada lagi iuran kelas 1 (Rp150 ribu), kelas 2 (Rp100 ribu) dan kelas 3 (Rp42.000 dengan subsidi).
Semuanya akan satu nilai iuran.
DJSN akan menghitung ulang iuran berdasarkan hitungan aktuaria sehingga iuran nantinya akan bisa memastikan keberlangsungan program, yaitu tidak lagi menyebabkan defisit.
Untuk PPU (Pemerintah dan Badan Usaha/BUMN) yang iurannya secara persentase, relatif lebih mudah, dan bisa saja tetap diberlakukan 5 persen dari upah. Saya berharap iuran 5 persen tetap diberlakukan, jadi tidak ada perubahan persentasenya lagi, yang dihitung berdasarkan besaran upah (gaji pokok tambah tunjangan tetap), dengan batas maksimal upah Rp12 juta.
Untuk PBPU dan BP relatif sulit karena iuran kelas 3, 2 dan 1 akan dicampur dan dihitung ulang sehingga nilai iurannya akan lebih rendah dari kelas 1 dan 2, tetapi akan lebih tinggi dari kelas 3. Ini artinya iuran kelas 3 peserta mandiri akan naik lagi, walaupun kelas 1 dan 2 akan turun.
Menurut saya, dalam proses penghitungan iuran, khususnya untuk peserta mandiri harus bisa melihat kondisi daya beli peserta kelas 3 mandiri yang kemungkinan iurannya akan naik. Saya berharap Pemerintah menerapkan iuran Rp42.000 untuk seluruh peserta mandiri dengan adanya kelas standar ini.
Bila harus ada kenaikan iuran untuk peserta mandiri kelas 3 akibat adanya kelas standar ini maka paling tidak ada dua mitigasi yang bisa dilakukan oleh pemerintah yaitu :
a.Peserta klas 3 mandiri saat ini yang memang tidak mampu dimasukkan ke PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang iurannya dibayar pemerintah, dan nanti masuk kelas standar PBI.
b.Pemerintah tetap memberikan subsidi iuran kepada peserta kelas 3 yang ada saat ini sehingga mereka tetap bisa menjadi peserta aktif, walaupun ada kenaikan iuran lagi sebagai konsekuensi penerapan kelas standar.