Beritaneka.com, Jakarta — Bank Indonesia (BI) optimistis pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang tahun 2022 ini akan lebih tinggi dari pertumbuhan pada tahun sebelumnya yang sebesar 3,69% yoy.
Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini berada di kisaran 4,5% yoy hingga 5,3% yoy, atau tak berubah dari perkiraan BI pada bulan lalu.
“Perekonomian dalam negeri ini terus membaik seiring dengan meningkatnya permintaan domestik dan juga peningkatan kinerja ekspor,” kata Perry dalam pembacaan hasil rapat Dewan Gubernur BI Juni 2022, belum lama ini.
Perkembangan tersebut tercermin dari berbagai indikator dini pada Mei 2022 dan hasil survei BI terakhir yang menunjukkan berlanjutnya perbaikan permintaan domestik seperti keyakinan konsumen, penjualan eceran, dan ekspansi Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur, seiring dengan peningkatan mobilitas dan pembiayaan dari perbankan.
Baca Juga:
Hari Ini Uji Coba Rekayasa Lalin di Bundaran HI
MUI Fatwakan Haram Vaksin Cansino China
Kinerja ekspor juga tetap kuat, khususnya pada komoditas batu bara, besi baja, dan bijih logam, di tengah risiko tertahannya permintaan akibat perlambatan perekonomian global.
“Secara spasial, kinerja positif ekspor terjadi di seluruh wilayah, terutama Kalimantan dan Sumatera. Perbaikan ekonomi juga tercermin pada kinerja beberapa sektor utama, seperti Industri Pengolahan, Perdagangan, dan Konstruksi yang terus membaik.
Ke depan, perbaikan perekonomian domestik diprakirakan terus berlanjut didukung oleh peningkatan mobilitas, sumber pembiayaan, dan aktivitas dunia usaha, di tengah tetap positifnya kinerja ekspor,” jelas Perry.
Dia menyebutkan, perekonomian global terus diwarnai dengan meningkatnya inflasi di tengah pertumbuhan yang diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Berlanjutnya ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina, yang disertai dengan pengenaan sanksi yang lebih luas dan kebijakan Zero Covid-19 di China, menahan perbaikan gangguan rantai pasokan.
“Gangguan dari sisi suplai tersebut disertai dengan meluasnya kebijakan proteksionisme terutama pangan oleh berbagai negara, mendorong tingginya harga komoditas global yang berdampak pada peningkatan tekanan inflasi global.
Berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS), merespons kenaikan inflasi tersebut dengan menempuh pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif sehingga berpotensi menahan pemulihan perekonomian global dan mendorong peningkatan risiko stagflasi,” paparnya.
Pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti AS, Eropa, Jepang, China, dan India diperkirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Volume perdagangan dunia juga diperkirakan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
“Perkembangan tersebut berdampak pada ketidakpastian pasar keuangan global yang masih akan tetap tinggi sehingga mendorong terbatasnya aliran modal asing dan menekan nilai tukar di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.” pungkas Perry.