Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta—Sejarah berdirinya koperasi di Eropa pada abad ke-19 merupakan satu bentuk perlawanan kaum buruh dan petani yang tertindas oleh sistem kapitalis pada masa itu. Akibat proses industrialisasi, kapital menjadi kekuatan dalam kehidupan ekonomi. Berkembangnya kekuatan kapitalis dalam perekonomian, menyisakan kemiskinan, terutama di daerah pedesaan. Di perkotaan, kaum buruh yang menjadi korban industrialisasi, merupakan kelompok yang terpinggirkan. Polarisasi antara pemilik modal dan pekerja, merupakan realitas saat itu.
Koperasi merupakan alat bagi kaum buruh dan petani di Eropa untuk mengangkat kesejahteraan mereka. Hasilnya, koperasi di beberapa negara Eropa saat ini merupakan pelaku usaha yang diperhitungkan dalam sistem kapitalisme. Koperasi di berbagai bidang dan industri yang bergerak di bidang ritel, pertanian, keuangan, manufaktur, merupakan pemain yang menentukan dalam perekonomian nasional.
Kontribusi koperasi terhadap perekonomian menjadi signifikan. Di Jerman misalnya, 60% pangsa pasar kredit di negara berpenduduk sekitar 85 juta jiwa itu dikuasai oleh koperasi. Di Norwegia, koperasi susu berkontribusi 99% dari total produksi susu.
Di Denmark, hampir semua pertokoan dan bank milik koperasi. Di Swedia, koperasi konsumennya mampu mendirikan pabrik sendiri. Di Italia, koperasi juga bergerak di bidang industri, selain di bidang pertanian, perbankan dan ritel. Koperasi yang sukses bukanlah sesuatu hal yang langka ditemukan di negara-negara Eropa saat ini.
Ada kesamaan situasi Eropa pada abad ke-19 dengan situasi Indonesia saat ini. Penguasaan Oligarki di bidang ekonomi dan politik di Indonesia saat ini bisa disamakan saat awal berkembangnya kapitalisme di Eropa. Ada dua kelompok saat itu di Eropa, kaum minoritas yang menguasai kapital dan kelompok masyarakat miskin dari golongan buruh dan petani. Begitu juga halnya di Indonesia.
Ada segelintir masyarakat oligarki yang menguasai mayoritas kekayaan negara dan selebihnya masyarakat pekerja, petani dan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Di Eropa ada ketidakpuasan terhadap kaum kapitalis pada masa itu.
Di Indonesia, ketidakpuasan disuarakan kepada kaum oligarki, yaitu segelintir orang yang mega kaya. Di Eropa, ada ketimpangan ekonomi dan sosial pada masa itu.
Di negeri ini, ketimpangan ekonomi juga terlihat jelas, yang ditunjukkan oleh angka ratio Gini sebesar 0,77 (Suissie Credit, 2022). Ketidakpuasan terhadap kelompok oligarki bukan saja ditunjukkan oleh petani dan kaum buruh, tetapi juga oleh masyarakat kelas menengah di Indonesia, baik dari golongan pekerja maupun kelompok pengusaha. Mereka mengharapkan keadilan dalam pembagian kekayaan negara.
Di Eropa, tuntutan perubahan nasib diwujudkan melalui prinsip “menentukan nasib sendiri, bertanggungjawab atas diri sendiri, mengatur diri sendiri”. Dalam dunia koperasi, pendekatan ini dikenal dengan “pendekatan arus bawah” (bottom-up approach).
Kaum buruh dan perani di Eropa saat itu menggunakan koperasi sebagai kendaraan mereka untuk bangkit dari keterpurukan sosial dan ekonomi. Koperasi waktu itu memang tumbuh dari masyarakat. Koperasi di Eropa ditujukan untuk merubah nasib rakyat. Tujuan koperasi memang benar-benar untuk kesejahteraan anggotanya. Bantuan pemerintah untuk membangun gerakan koperasi boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Gerakan koperasi di Eropa sepenuhnya gerakan swadaya masyarakat.
Berbeda dengan perkembangan koperasi di Indonesia. Pendirian dan pertumbuhan koperasi banyak melibatkan campur tangan pemerintah. Hal ini sangat nyata terlihat pada masa pemerintahan orde baru. Koperasi, terutama Koperasi Unit Desa (KUD), digunakan untuk mensukseskan program-program pemerintah. Semangat swadaya anggota saat itu sangat lemah. Koperasi lebih banyak mengurus kepentingan pemerintah, sehingga kesadaran akan manfaat koperasi sebagai kendaraan masyarakat untuk mengubah kondisi sosial dan ekonomi juga rendah.
Sekaranglah saatnya bagi masyarakat Indonesia yang berada di luar lingkaran kaum oligarki untuk bangkit menentukan nasibnya sendiri. Masyarakat perlu meninggalkan mentalitas “ketergantungan”. Meniru pengalaman di Eropa, masyarakat harus berani untuk bangkit. Kondisi yang tidak puas terhadap sistem oligarki bisa diatasi dengan menggunakan koperasi sebagai kendaraannya untuk mengangkat kesejahteraan.
Pemerintah harus memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menggunakan koperasi dalam mengambil peluang-peluang ekonomi di negara ini. Koperasi juga perlu diberikan ruang untuk masuk ke semua sektor produksi di negara ini.
Koperasi harus dibudayakan sebagai “gerakan” masyarakat untuk menentukan nasib sendiri. Dengan demikian, kecemburuan sosial terhadap kelompok oligarki akan bisa dihindari, sehingga tercipta keadilan yang sebenarnya di Tanah Air Indonesia tercinta. Belajar dari pengalaman di Eropa, bukannya tidak mungkin Koperasi di Indonesia duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan kelompok Oligarki yang saat ini menguasai negeri ini.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Ketergantungan masyarakat kepada pihak ketiga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dapat berujung pada “eksploitasi”. Makna ketergantungan di sini adalah, masyarakat tidak bisa “bebas” menentukan pilihannya untuk memenuhi kebutuhannya. Keterbatasan kebebasan akan mudah menciptakan eksploitasi. Kebutuhan akhirnya tidak bisa selalu dipenuhi sesuai dengan keinginan semula. Pihak yang dieksploitasi berada pada posisi yang lemah, sedangkan pihak ketiga tersebut berada pada posisi yang menentukan. Dengan demikian kepentingan pihak ketiga akan selalu menjadi prioritas dalam hubungan yang eksploitatif.
Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat oleh pihak ketiga bisa dilakukan melalui sektor swasta atau pemerintah. Pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui pemerintah seyogyanya berpihak kepada kepentingan orang banyak, sehingga kemungkinan besar tidak mengarah kepada eksploitasi. Bagaimana jika pemenuhan kebutuhan itu dilakukan oleh pihak swasta? Ini yang ingin kita tinjau lebih jauh. Bagaimana dampaknya terhadap keadilan sosial?
Pemenuhan kebutuhan oleh pihak swasta lazimnya melalui transaksi jual beli dengan tujuan untuk mendapatkan “profit” atau keuntungan bagi pengusaha tersebut. Komponen “profit” dalam struktur harga akan menyebabkan harga jual berada di atas biaya produksi barang dan jasa yang diperjualbelikan. Produsen barang dan jasa akan selalu berusaha untuk memaksimalkan komponen “profit” ini.
Masyarakat sebagai konsumen tidak mempunyai kendali untuk menetukan harga barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhannya. Akhirnya harga akan ditentukan sepihak yang belum tentu sesuai dengan daya beli masyarakat. Sebagai akibatnya tidak semua masyarakat akan terpenuhi kebutuhannya, sehingga terjadi seleksi atau “diskriminasi” terhadap masyarakat yang harus dilayani.
Ada kalanya keuntungan perusahaan terbatas besarannya sebagai akibat dari persaingan ketat antar produsen. Sebagai jalan keluar, produsen bersekongkol untuk menetapkan harga, yang mana hal ini juga berada di luar kendali konsumen. Dengan demikian akan terjadi kembali pembatasan terhadap masyarakat yang bisa dilayani kebutuhannya. Di sini keadilan sosial bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemenuhan kebutuhannya akan terkorbankan.
Selain “harga” yang bisa menjadi faktor pembatas dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, “kualitas” barang dan jasa juga berada di luar kendali konsumen. Tinggi rendahnya kualitas barang dan jasa bisa tidak merefleksikan harga barang dan jasa yang dibayar oleh konsumen. Kualitas barang dan jasa bisa dikorbankan guna menekan biaya produksi, sehingga komponen “profit” bisa diperbesar. Rendahnya kualitas barang dan jasa akan berdampak pula kepada “kualitas” pemenuhan kebutuhan konsumen. Kebutuhan masyarakat belum tentu bisa sepenuhnya terpenuhi, karena kualitas barang dan jasa untuk itu tidak memadai. Di sini masyarakat juga tidak mendapatkan keadilan, karena kebutuhannya tidak terlayani sesuai dengan kualitas yang sepatutnya dia dapatkan.
Posisi tawar masyarakat sebagai konsumen menjadi lemah. Harga barang dan jasa berperan untuk “membatasi” jumlah masyarakat yang bisa dilayani. Tingkat kualitas barang dan jasa juga berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kebutuhan.
Supaya masyarakat dapat dilayani kebutuhannya, melalui harga dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhannya, maka masyarakat perlu secara “swadaya” memenuhi kebutuhannya tersebut. Swadaya berarti, penentuan harga serta kualitas barang dan jasa sepenuhnya dalam kendali konsumen.
Untuk bisa memperoleh kendali penuh, konsumen atau masyarakat harus bertindak sebagai “produsen” sekaligus juga sebagai “konsumen”. Posisi sebagai produsen sekaligus konsumen ini hanya bisa tercipta melalui KOPERASI. Dalam hal ini koperasi dikenal dengan “identitas ganda”nya itu, yaitu produsen dan konsumen berada dalam satu entitas koperasi.
Di sini konsumen akan secara “swadaya” dapat memenuhi kebutuhannya, tanpa bergantung kepada pihak ketiga. Keswadayaan ini mencerminkan keadilan sosial, karena harga dan kualitas barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya bisa disesuaikan dengan kemampuan masyarakat, sehingga semua bisa mempunyai akses kepada barang dan jasa secara proporsional.
Bagaimana bisa diwujudkan keadilan sosial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui koperasi? Minimal harus ada dua syarat yang harus dipenuhi: masyarakat MAU menggunakan koperasi guna memenuhi kebutuhan hidupnya, dan koperasi MAMPU melakukannya.
Supaya masyarakat MAU menggunakan koperasi, maka masyarakat harus TAHU apa manfaat koperasi dalam kehidupan mereka. Untuk tahu, diperlukan edukasi. Edukasi kepada masyarakat dilakukan melalui jalur formal maupun jalur informal. Untuk jalur formal, perlu dimulai dari usia sekolah dini, sedangkan untuk jalur informal dilakukan secara “terus-menerus” oleh gerakan koperasi maupun oleh unsur yang berperan di dalam masyarakat itu sendiri.
Untuk membangun KEMAMPUAN koperasi dalam memainkan fungsinya, maka pengelolaan koperasi perlu dibangun secara “profesional”. Profesionalisme dalam mengelola koperasi tidak beda dengan pengelolaan jenis usaha lainnya. Artinya, diperlukan sumber daya yang dibutuhkan koperasi guna memproduksi barang dan jasa secara profesional.
Dengan digunakannya koperasi sebagai kendaraan, maka “diskriminasi” terhadap masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya bisa dihindari, sehingga pemenuhan kebutuhan masyarakat bisa dilakukan sesuai porsinya. Dengan demikian akan tercipta keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com —Pengelolaan kekayaan sumber daya alam oleh negara sebaiknya melibatkan masyarakat banyak atau rakyat. Sebab, pengelolaan tersebut menguntungkan negara dan rakyat. Pengelolaan oleh negara jelas dilakukan melalui pelibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bagaimana pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan melalui keterlibatan masyarakat banyak? Bagaimana caranya?
Pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan orang banyak adalah memberikan hak konsesi pengelolaan kepada orang banyak, bukan hanya kepada beberapa individu seperti yang terjadi saat ini.
Pemberian hak kepada individu, terutama kepada orang-orang yang dekat dengan penguasa, cenderung menghasilkan “kebocoran”. Hanya sebagian orang atau oligarki, lingkaran dekat dengan penguasa yang dapat menikmati keuntungan. Pengelolaan yang melibatkan orang banyak seyogyanya akan menguntungkan banyak orang pula.
Baca tulisan Dr. Rino sebelumnya:
Pemberian hak konsesi kepada orang banyak sangat tepat jika melibatkan KOPERASI. Koperasi merupakan “alat” yang bisa menghimpun banyak orang. Pemberian konsesi kepada individu bisa mensyaratkan jika mereka bergabung dalam koperasi.
Koperasi merupakan “agregasi” anggota perorangan yang jumlahnya bisa tidak terbatas. Makin besar keanggotaan koperasi, maka makin besar pula jumlah orang yang diuntungkan oleh pengelolaan sumber daya alam melalui koperasi itu.
Koperasi juga menjamin transparansi, karena individu yang memiliki konsesi yang merupakan anggota koperasi sekaligus pemilik koperasi, akan melakukan kontrol terhadap operasi pengelolaan oleh koperasi.
Pengelolaan oleh koperasi akan menciptakan efisiensi, karena individu bisa secara bersama-sama “menyerahkan” upaya orang per orang kepada koperasi. Selanjutnya, koperasi bisa menghimpun modal pengelolaan dari individu menjadi modal bersama. Dengan demikian agregasi modal bisa diciptakan.
Pemerintah juga akan lebih mudah melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan hak konsesi yang diberikan, sehingga penyelewengan dan kebocoran devisa negara bisa lebih baik dipantau. Melalui koperasi, investasi peralatan untuk pengelohan sumber daya bisa ditekan, karena peralatan digunakan bersama oleh pemilik konsesi. Melalui koperasi, juga lebih mudah pula dihimpun keahlian yang dibutuhkan untuk mengelola sumber daya.
Melalui koperasi, pemberian hak konsesi pengelolaan sumber daya alam bisa disebar kepada masyarakat. Dengan berkembangnya keanggotaan koperasi, maka akan lebih banyak pula keuntungan hasil sumber daya alam yang dinikmati oleh banyak orang. Kebocoran devisa negara akan kebih mudah dicegah. Kekayaan alam Indonesia akan lebih banyak diakses oleh masyrakat luas, sehingga kesejahteraan yang lebih merata bisa diciptakan.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—“Scarcity” atau “kelangkaan” adalah puncak dari perebutan umat manusia terdahap sumber daya dunia guna memenuhi hasrat hidupnya. Kelangkaan terjadi bila hasrat duniawi melebihi sumber daya yang tersedia untuk memenuhinya, paling tidak ini yang dikatakan oleh para ekonom itu.
Dua kubu “extreme” saling bertanding menawarkan solusi untuk mengatasi kelangkaan tadi, sehingga hasrat kebutuhan hidup, baik primer maupun sekunder, bisa terpenuhi dengan baik. “Komunisme” dan “kapitalisme”, merupakan dua kubu yang cukup lama saling berseteru, yang akhirnya dimenangkan oleh kapitalisme dengan sistem ekonomi pasar sebagai cara untuk memenuhi birahi materialisme masyarakat dunia. Bisakah ekonomi pasar menciptakan keadilan sosial?
Mekanisme ekonomi pasar merupakan proses untuk mencapai “keseimbangan” antara penawaran dan permintaan atas barang dan jasa yang kita perlukan. Pada titik “keseimbangan” itu harga barang dan jasa ditentukan.
Dalam mekanisme pasar, persaingan juga merupakan sesuatu yang lumrah. Persaingan menciptakan effisiensi dalam penggunaan sumber daya tadi. Dalam ekonomi pasar, ada istilah-istilah baku yang digunakan.
“Produsen” adalah pihak yang menyediakan barang dan jasa, “konsumen” adalah pihak yang mengonsumsi barang dan jasa. “Persaingan” antara produsen merupakan hal yang biasa dalam praktik ekonomi pasar. Akibat persaingan ini, yang kuat akan menang, yang lemah ada kalanya tersisihkan.
Dalam persaingan ekonomi pasar, yang kuat yang akan bertahan, sehingga menjadi kuat dan bertahan untuk tetap kuat adalah tujuan bagi setiap pelaku pasar. Ada kalanya pelaku pasar bersekongkol dengan kekuasaan untuk bertahan dalam persaingan. Tidak jarang eksploitasi merupakan jalan untuk bertahan.
Korban eksploitasi bisa pengusaha lain (yang lemah), pekerja atau konsumen. Bentuk eksploitasi bisa bermacam-macam. Pengusaha yang lemah akan didikte oleh pengusaha bermodal kuat, atau tersingkir dari persaingan.
Eksploitasi terhadap konsumen juga terjadi apabila konsumen membeli barang dengan harga di luar kewajaran. Konsumen tidak memiliki pilihan selain tunduk kepada ketentuan harga yg ditetapkan oleh produsen. Eksploitasi terhadap pekerja juga sering terjadi, yaitu apabila mereka diberi upah secara tidak wajar. Umumnya terjadi pada buruh di luar lingkaran manajemen suatu perusahaan.
Dalam sistem ekonomi pasar, yang lemah jarang menikmati keadilan sosial. Dalam posisi ini mereka kehilangan kesempatan yang proprosional untuk menghasilkan “income” yang layak. Perbedaan kesenjangan pendapatan yang mecolok, lemahnya distribusi pendapatan yang merata dan merajalelanya kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi di negara yang menerapkan sistem
ekonomi pasar.
Tetapi apapun akses negatif sistem ekonomi pasar, sistem ini tetap merupakan yang terbaik untuk menghasilkan efisiensi penggunaan sumber daya alam. Yang diperlukan hanyalah seperangkat kebijakan dan tindakan yang akan mengurangi akses negatif sistem ekonomi pasar, sehingga keadilan sosial bisa tercapai.
Untuk mengatasi akses negatif sistem ekonomi pasar, seperangkat sistem sosial dan etika perlu diperkenalkan kepada dunia bisnis. Di negara Jerman misalnya, pemerintahnya memperkenalkan sistem sosial dan etika dalam sistem ekonomi pasarnya, sehingga kesenjangan pendapatan dan perbedaan antara kaya dan miskin bisa ditekan.
Porsi masyarakat kelas menengah menjadi besar. Intervensi pemerintah untuk menolong orang miskin dan yang tidak mampu menjadi kebijakan yang pasti dalam pemerintahannya. Distribusi pendapatan yang merata sangat jelas terlihat dimasysrakatnya.
Kebebasan berserikat dijamin oleh undang-undang, sehingga kelompok masyarakat yang lemah bisa diperkuat posisi tawarnya. Bahkan penentuan upah buruh adalah berdasarkan negosiasi antara serikat pekerja dan pemberi kerja. Lembaga konsumen Jerman merupakan lembaga yang sangat kuat yang dijamin keberadaannya oleh undang-undang. Melalui lembaga konsumen, produsen tidak berani memproduksi produk yang tidak berkualitas yang bisa merusak kesehatan maupun lingkungan.
Secara alami, memang sistem ekonomi pasar akan menghasilkan kelompok yang kuat dan selebihnya akan menyisakan masyrakat yang lemah dari sisi modal dan posisi tawar. Untuk Indonesia, penguasaan oligarki terhadap kehidupan ekonomi dan sosial, bahkan juga politik, merupakan bukti nyata produk sistem ekonomi pasar murni.
Kebijakan pemerintah yang bermuatan etika dan moral perlu diperkenalkan dalam sistem perekonomian Indonesia, sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa diwujudkan, sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, membangun kekuatan serta posisi tawar kelompok yang lemah perlu digalakkan. Posisi tawar konsumen bisa diwujudkan melalui lembaga konsumen yang kuat. Koperasi merupakan pilihan bagi masyarakat dan UMKM untuk membangun posisi tawar di pasar. Subsidi pemerintah merupakan instrumen yang penting untuk mengangkat masyarakat yang “tersisihkan” sehingga bisa menikmati keadilan sosial. Serikat buruh juga merupakan alat untuk membangun posisi tawar para pekerja.
Jika kita melihat kembali kepada pengalaman di Jerman, prinsip rezim yang berkuasa di sana adalah menelorkan kebijakan maupun peraturan untuk menciptakan kesejahteraan mayoritas rakyatnya. Ini mungkin prinsip yang bisa kita tiru dan terapkan untuk menciptakan keadilan sosial, terutama keadilan sosial dalam sistem ekonomi pasar.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Ketua Koperasi Aliansi Rakyat Indonesia Makmur (Karima)
Makin sempitnya lapangan pekerjaan, akan memengaruhi pendapatan. Keterbatasan untuk memperoleh pendapatan akan meningkatkan pula angka kemiskinan.
Beritaneka.com, Jakarta —Gonjang ganjing masuknya tenaga kerja China kelas buruh ke Indonesia cukup membuat keresahan di kalangan masyarakat bawah di beberapa daerah di Indonesia. Paling tidak inilah berita yang banyak beredar di media sosial. Angka pasti jumlah buruh China yang masuk ke Indonesia juga tidak pernah diketahui. Namun keresahan masyarakat akan kepastian masa depan mereka, terutama yang menyangkut dengan peluang bekerja sebagai buruh kasar, merupakan salah satu ancaman sebagai akibat dari kehadiran buruh China di Indonesia.
Bisa diperkirakan, jika arus investasi China yang masuk ke Indonesia di masa depan akan meningkat, maka jumlah buruh China yang masuk ke Indonesia, sebagai akibat dari investasi tersebut, akan meningkat pula. Tenaga buruh China akan mendominasi kesempatan kerja di level bawah, sehingga peluang bekerja bagi masyarakat Indonesia kelas bawah akan semakin sempit pula. Ini merupakan kegelisahan masyarakat di beberapa tempat di Indonesia saat ini. Apa konsekuensinya jika hal ini terjadi?
Baca Juga:
- Sebanyak 25.700 Karyawan Pabrik Sepatu Kena PHK
- KTT G20, Presiden Jokowi Serukan Penghentian Perang
- Pemilik Kendaraan Bisa Manfaatkan Pemutihan Pajak Kendaraan hingga Akhir Tahun Ini
Makin sempitnya lapangan pekerjaan, akan memengaruhi pendapatan. Keterbatasan untuk memperoleh pendapatan akan meningkatkan pula angka kemiskinan. Kemiskinan akan membatasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder mereka. Bagaimana jalan keluarnya untuk mengantisipasi kemiskinan di masa depan?
Koperasi yang merupakan wadah tempat berkumpulnya orang-orang, dapat menjadi sarana untuk mengatasi kemiskinan. Kumpulan orang yang tergabung dalam koperasi dapat membentuk kumpulan modal, sehingga usaha bersama dapat dimulai. Dengan berkembangnya jumlah keanggotaan koperasi, pembelian barang-barang konsumsi maupun produksi dapat diperoleh dengan harga yang lebih rendah. Jumlah anggota koperasi yang besar, akan menciptakan skala ekonomi.
Melalui koperasi, anggota juga lebih mudah untuk memperoleh pinjaman dari pihak ketiga, karena prinsip tanggung renteng yang berlaku di koperasi. Saling menjamin antara anggota adalah praktek yang lazim dilakukan oleh koperasi yang bergerak di sektor jasa keuangan di Indonesia.
Prinsip penting yang berlaku di koperasi adalah edukasi anggota. Disamping edukasi untuk mengenal hak dan kewajiban anggota koperasi, banyak jenis edukasi yang bisa dilakukan oleh koperasi kepada anggotanya. Mulai dari peningkatan keahlian anggota untuk berusaha, peningkatan keterampilan anggota dalam berbagai bidang, seperti bertani, berdagang, pemasaran, manajemen, bertukang, dan sebagainya. Dengan meningkatnya keterampilan anggota, akan tercipta pula peluang untuk berusaha atau untuk mendapatkan pekerjaan baru.
Pemupukan modal bersama, terciptanya kesempatan berusaha, peningkatan keterampilan dan terbentuknya skala ekonomi, merupakan nilai tambah yang diciptakan oleh koperasi untuk masyarakat yang tergabung dalam koperasi. Dengan sendirinya, melalui nilai tambah yang diciptakan akan menjauhkan anggota dari kemiskinan, terutama masyarakat yang menjadi korban kebijakan investasi dari China.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Ketua Koperasi Aliansi Rakyat Indonesia Makmur (Karima)
Beritaneka.com, Jakarta —Pemerintah baru saja mengeluarkan angka pertumbuhan ekonomi. World Inequality Report 2022 menyebutkan, bahwa “Sejak tahun 1999 tingkat kekayaan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan signifikan. Namun, pertumbuhan ini meninggalkan ketimpangan kekayaan yang hampir tidak berubah”.
Dari data agregat, memang Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat sejak 20 tahun terakhir ini, tapi pertumbuhan itu tidak memberikan manfaat kepada mayoritas masyarakat, karena distribusi kekayaan akibat petumbuhan itu tidak terbagi secara merata. Dengan kata lain, hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menikmati pertumbuhan ini.
Baca Juga:
- Presiden Jokowi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Lima Tokoh
- Ekonomi Diproyeksikan Tumbuh 5,2 Persen, Menko Airlangga: Optimistis Indonesia Terhindar Resesi
- Hadapi Resesi Global, Kemnaker Dorong Perusahaan Pilih Efisiensi Daripada PHK
- Koperasi dan Oligarki
Koperasi sebagai badan usaha yang menghimpun manusia sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi dapat menjadi “wadah” untuk menyalurkan delta pertumbuhan kepada masyarakat banyak.
Koperasi dapat ikut serta menikmati “kue” pertumbuhan yang dapat dibagikan kepada anggotanya. Kontribusi pertumbuhan ekonomi di Indonesia didominasi oleh sektor manufaktur, yang berupa kegiatan pertambangan dan pengolahan sumber daya alam.
Sektor ini berada di “hulu” dari serangkaian kegiatan ekonomi, sebelum barang dan jasa yang diperdagangkan sampai ke pasar. Sampai saat ini memang penguasaan konsesi pertambangan dan sektor manufaktur lainnya masih dikuasai oleh segelintir orang yang biasanya mempunyai “hubungan khusus” dengan para penguasa.
Pembagian konsesi ini seharusnya dilakukan melalui proses yang transparan, sehingga semua pihak termasuk koperasi dapat “bertanding” dalam mengolah dan memperoleh keuntungan dari sektor hulu tersebut. Dengan demikian koperasi juga diberikan peluang untuk menikmati “kue” kekayaan negara.
Dengan terbukanya peluang koperasi untuk dapat terlibat di sektor hulu, terutama di sektor manufaktur sebagai kontributor terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka pembagian pertumbuhan ekonomi Ini akan bisa dinikmati oleh masyarakat yang bergabung dalam wadah koperasi.
Kesenjagan ekonomi akibat tidak terdistribusinya “kue” pertumbuhan dengan baik, akan dapat ditekan melalui keikutsertaan koperasi. Makin besar keterlibatan koperasi yang beroperasi di sektor hulu, maka makin rata pula pembagian “kue” pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di sini dituntut kearifan pemerintah dalam memberikan peluang kepada koperasi untuk ikut serta dalam mengolah kekayaan alam Indonesia.