Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta —Sewaktu koperasi dicetuskan kali pertama di Eropa pada akhir abad ke sembilan belas, jelas tujuannya adalah untuk membebaskan kaum tertindas dari kemiskinan dan ketergantungan. Penggagas koperasi waktu itu seperti Robert Owen, Reiffeisen dan Schülze Delitzsch adalah di antara nama-nama besar koperasi di dunia. Mereka merupakan pioner yang berjiwa sosial yang bercita-cita untuk menciptakan masyarakat swadaya yang bebas dari ketergantungan terhadap belas kasih pihak ketiga. Seratus tahun kemudian, ide koperasi serta jenis koperasi yang mereka cetuskan sudah bertebaran di seantero dunia untuk membebaskan kaum tertindas dari ketidakadilan dan kesengsaraan ekonomi. Saat ini, di Eropa, koperasi merupakan pemain ekonomi yang sangat diperhitungkan dan menjadi tulang punggung perekonomian di banyak negara.
Di Indonesia, Muhammad Hatta melihat koperasi bisa menjadi sokoguru perekonomian Indonesia. Bahkan Undang-undang Dasar 1945 memberikan fondasi hukum terhadap sistem ekonomi Indonesia ini. Sayangnya, koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia tidak pernah tinggal landas, sebagaimana yang diharapkan oleh pencetus bangsa ini. Tekanan ekonomi kapitalis sangat kuat memengaruhi perilaku ekonomi Indonesia. Ekonomi kapitalis telah melahirkam dan menyuburkan para cukong besar, sehingga terjadi konsentrasi kekayaan negara pada sekelompok kecil masyarakat. Secara makro, pertumbuhan ekonomi sejak awal tahun tujuh puluhan hingga saat ini menunjukan angka positif, tetapi pemerataan pendapatan menjadi issue utama. Perbedaan pendapatan antara si kaya dan si miskin dari tahun ke tahun semakin lebar. Satu dekade belakangan ini merupakan puncak dari kesenjangan ini. Pembicaraan hangat di tengah masyarakat adalah “keadilan sosial” yang menjadi persoalan utama bangsa saat ini.
Sistem ekonomi kapitalis telah merantai banyak rakyat Indonesia dalam kemiskinan. Negara yang kaya akan sumber alamnya hanya sedikit menyisakan keberuntungan bagi mayoritas rakyatnya.
Kesenjangan pendapatan di antara masyarakat menjadi biasa, sehingga keadilan sosial di negeri ini menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan sampai sekarang.
Koperasi dengan prinsip-prinsipnya bisa menjadi kendaraan untuk mengantarkan masyarakat Indonesia mencapai keadilan sosial di negeri ini. Koperasi yang merupakan kumpulan orang-orang merupakan kekuatan, baik kekuatan ekonomi maupun kekuatan sosial. Pemilik dan pengguna barang dan jasa koperasi merupakan orang yang sama, yaitu anggotanya. Sebagai anggota, masyarakat juga membangun kemandiriannya.
Karena prinsip keterbukaannya, koperasi bisa menghimpun masyarakat sebagai anggota dalam jumlah yang tidak terbatas. Dengan demikian, melalui koperasi masyarakat luas memiliki peluang untuk memiliki akses kepada sumberdaya maupun kekayaan alam negara. Jika koperasi diberikan peluang untuk menggarap kekayaan negara tersebut. Sebagai wadah berkumpulnya masyarakat, kekuatan ekonomi maupun kapital bisa dibangun, sehingga dengan kebersamaan ini masalah kesejahteraan juga bisa diatasi bersama.
Dengan berkiprahnya koperasi sebagai kendaraan ekonomi dan sosial, distribusi pendapatan yang adil bisa diciptakan melalui koperasi. Penguasaan faktor produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak bisa dilakukan melalui koperasi. Keuntungan dari hasil pengolahan kekayaan negara bisa langsung dinikmati oleh masyarakat yang menjadi anggota koperasi. Dengan sendirinya distribusi hasil kekayaan negara bisa langsung disalurkan kepada masyarakat melalui koperasi. Koperasi dalam hal ini merupakan solusi masyarakat untuk keluar dari kemiskinan. Dengan segala kekuatannya, koperasi menjadi jalan menuju keadilan sosial di negeri ini.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Ketergantungan masyarakat kepada pihak ketiga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dapat berujung pada “eksploitasi”. Makna ketergantungan di sini adalah, masyarakat tidak bisa “bebas” menentukan pilihannya untuk memenuhi kebutuhannya. Keterbatasan kebebasan akan mudah menciptakan eksploitasi. Kebutuhan akhirnya tidak bisa selalu dipenuhi sesuai dengan keinginan semula. Pihak yang dieksploitasi berada pada posisi yang lemah, sedangkan pihak ketiga tersebut berada pada posisi yang menentukan. Dengan demikian kepentingan pihak ketiga akan selalu menjadi prioritas dalam hubungan yang eksploitatif.
Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat oleh pihak ketiga bisa dilakukan melalui sektor swasta atau pemerintah. Pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui pemerintah seyogyanya berpihak kepada kepentingan orang banyak, sehingga kemungkinan besar tidak mengarah kepada eksploitasi. Bagaimana jika pemenuhan kebutuhan itu dilakukan oleh pihak swasta? Ini yang ingin kita tinjau lebih jauh. Bagaimana dampaknya terhadap keadilan sosial?
Pemenuhan kebutuhan oleh pihak swasta lazimnya melalui transaksi jual beli dengan tujuan untuk mendapatkan “profit” atau keuntungan bagi pengusaha tersebut. Komponen “profit” dalam struktur harga akan menyebabkan harga jual berada di atas biaya produksi barang dan jasa yang diperjualbelikan. Produsen barang dan jasa akan selalu berusaha untuk memaksimalkan komponen “profit” ini.
Masyarakat sebagai konsumen tidak mempunyai kendali untuk menetukan harga barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhannya. Akhirnya harga akan ditentukan sepihak yang belum tentu sesuai dengan daya beli masyarakat. Sebagai akibatnya tidak semua masyarakat akan terpenuhi kebutuhannya, sehingga terjadi seleksi atau “diskriminasi” terhadap masyarakat yang harus dilayani.
Ada kalanya keuntungan perusahaan terbatas besarannya sebagai akibat dari persaingan ketat antar produsen. Sebagai jalan keluar, produsen bersekongkol untuk menetapkan harga, yang mana hal ini juga berada di luar kendali konsumen. Dengan demikian akan terjadi kembali pembatasan terhadap masyarakat yang bisa dilayani kebutuhannya. Di sini keadilan sosial bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemenuhan kebutuhannya akan terkorbankan.
Selain “harga” yang bisa menjadi faktor pembatas dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, “kualitas” barang dan jasa juga berada di luar kendali konsumen. Tinggi rendahnya kualitas barang dan jasa bisa tidak merefleksikan harga barang dan jasa yang dibayar oleh konsumen. Kualitas barang dan jasa bisa dikorbankan guna menekan biaya produksi, sehingga komponen “profit” bisa diperbesar. Rendahnya kualitas barang dan jasa akan berdampak pula kepada “kualitas” pemenuhan kebutuhan konsumen. Kebutuhan masyarakat belum tentu bisa sepenuhnya terpenuhi, karena kualitas barang dan jasa untuk itu tidak memadai. Di sini masyarakat juga tidak mendapatkan keadilan, karena kebutuhannya tidak terlayani sesuai dengan kualitas yang sepatutnya dia dapatkan.
Posisi tawar masyarakat sebagai konsumen menjadi lemah. Harga barang dan jasa berperan untuk “membatasi” jumlah masyarakat yang bisa dilayani. Tingkat kualitas barang dan jasa juga berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kebutuhan.
Supaya masyarakat dapat dilayani kebutuhannya, melalui harga dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhannya, maka masyarakat perlu secara “swadaya” memenuhi kebutuhannya tersebut. Swadaya berarti, penentuan harga serta kualitas barang dan jasa sepenuhnya dalam kendali konsumen.
Untuk bisa memperoleh kendali penuh, konsumen atau masyarakat harus bertindak sebagai “produsen” sekaligus juga sebagai “konsumen”. Posisi sebagai produsen sekaligus konsumen ini hanya bisa tercipta melalui KOPERASI. Dalam hal ini koperasi dikenal dengan “identitas ganda”nya itu, yaitu produsen dan konsumen berada dalam satu entitas koperasi.
Di sini konsumen akan secara “swadaya” dapat memenuhi kebutuhannya, tanpa bergantung kepada pihak ketiga. Keswadayaan ini mencerminkan keadilan sosial, karena harga dan kualitas barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya bisa disesuaikan dengan kemampuan masyarakat, sehingga semua bisa mempunyai akses kepada barang dan jasa secara proporsional.
Bagaimana bisa diwujudkan keadilan sosial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui koperasi? Minimal harus ada dua syarat yang harus dipenuhi: masyarakat MAU menggunakan koperasi guna memenuhi kebutuhan hidupnya, dan koperasi MAMPU melakukannya.
Supaya masyarakat MAU menggunakan koperasi, maka masyarakat harus TAHU apa manfaat koperasi dalam kehidupan mereka. Untuk tahu, diperlukan edukasi. Edukasi kepada masyarakat dilakukan melalui jalur formal maupun jalur informal. Untuk jalur formal, perlu dimulai dari usia sekolah dini, sedangkan untuk jalur informal dilakukan secara “terus-menerus” oleh gerakan koperasi maupun oleh unsur yang berperan di dalam masyarakat itu sendiri.
Untuk membangun KEMAMPUAN koperasi dalam memainkan fungsinya, maka pengelolaan koperasi perlu dibangun secara “profesional”. Profesionalisme dalam mengelola koperasi tidak beda dengan pengelolaan jenis usaha lainnya. Artinya, diperlukan sumber daya yang dibutuhkan koperasi guna memproduksi barang dan jasa secara profesional.
Dengan digunakannya koperasi sebagai kendaraan, maka “diskriminasi” terhadap masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya bisa dihindari, sehingga pemenuhan kebutuhan masyarakat bisa dilakukan sesuai porsinya. Dengan demikian akan tercipta keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
Opini Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com —Sistem politik Indonesia saat ini berbasis oligarki. Ini yang sering dilontarkan oleh berbagai pihak di Indonesia. Apa itu oligarki? Mengutip penjelasan harian KOMPAS, “Oligarki adalah struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara atau organisasi.” (Kompas.com, 24 September 2021).
Selanjutnya, “Semua bentuk pemerintahan, seperti demokrasi, teokrasi, dan monarki dapat dikendalikan oleh oligarki.” Dalam hal ini termasuk Indonesia, walaupun bentuk pemerintahannya demokrasi, tapi negara kita dikendalikan oleh para kelompok oligarki.
Ini merupakan sesuatu yang ironis. Negara demokrasi yang pemilihan pimpinannya berdasarkan suara terbanyak, bisa didikte oleh kelompok elit yang minoritas. Bukankah dalam demokrasi “majority rules?” Bukankah kalau demikian, yang harus mengendalikan jalannya negara juga atas kehendak kelompok mayoritas?
Kelompok elit yang disebut kelompok oligarki ini adalah para pemodal yang mendanai proses politik di Indonesia. Mereka merupakan kelompok pengusaha besar yang menguasi berbagai sektor perekomomian di negara ini. Bahkan, kekuatan pemodal atau yang lazim dikenal dengan istilah “cukong politik” ini, juga merambah kekuasaan mereka ke dalam arena legislatif di negeri ini. Apa yang membuat kita yakin bahwa oligarki menguasai kebijakan Indonesia? Kita lihat beberapa fenomena.
Beberapa kebijakan yang dibuat pemerintah saat ini dikatakan kurang berpihak kepada rakyat, bahkan sering dituduhkan banyak berpihak kepada pengusaha. Contoh kebijakan yang dituding menguntungkan pengusaha di antaranya adalah kebijakan penetapan harga test PCR, kebijakan ekspor batubara dan kebijakan HET minyak goreng. Digulirkannya Perppu undang-undang cipta kerja juga mengundang protes para pekerja, karena aturan main dalam undang-undang tersebut disinyalir banyak merugikan para pekerja. Bahkan Perppu ini juga bakal melegitimasi privatisasi perikanan (Muhammad Karim, Kompas, 16 Januari 2023). Masuknya investasi China yang “menggendong” buruh China juga mengundang “gaduh” masyarakat, padahal tingkat pengangguran di Indonesia masih tinggi.
Sudah seyogyanya kebijakan pemerintah tersebut akan menguntungkan pengusaha, karena dukungan oligarki tentu harus menghasilkan keuntungan buat oligarki pula. Umumnya para oligarki adalah pengusaha kelas kakap yang mampu mengeluarkan uang triliunan rupiah guna mendukung pelaku politik untuk mencapai kekuasaan.
Melalui pengaruh oligarki ini, tentu akan memengaruhi pemerintah pula untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada oligarki. Beberapa contoh kebijakan yang “tidak” menguntungkan rakyat ini adalah dicabutnya subsidi BBM.
Keputusan pemerintah untuk mencabut subsidi bahan bakar cukup merepotkan masyarakat, yang mengakibatkan naiknya harga-harga kebutuhan pokok di pasar. Badan Pusat Statistik bahkan menyatakan adanya kenaikan angka kemiskinan yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM (Republika, 17 Januari 2023). Laporan Kementerian Keuangan RI menyebutkan bahwa dari tahun 2014 sampai tahun 2019 saja subsidi publik turun sebesar 49%. Hal ini menunjukkan makin sulitnya menciptakan keadilan sosial, karena komponen subsidi merupakan komponen penting dalam menekan kesenjangan sosial di masyarakat. Di negara-negara yang keadilan sosialnya relatif baik, menunjukkan bahwa komponen subsidi adalah penting untuk mendukung kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan dan keamanan, guna menekan ketimpangan sosial.
Sistem pemerintahan yang demokratis seharusnya bisa menciptakan keadilan sosial, karena penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat, sehingga kebijakan pemerintah juga akan berpihak kepada mayoritas kepentingan rakyat.
Kepentingan mayoritas rakyat adalah terciptanya keadilan sosial untuk setiap orang. Seharusnya, oligarki tidak mempunyai tempat di negara demokrasi, karena akan mencederai kepentingan mayoritas rakyat. Dengan berkuasanya sistem politik oligarki di Indonesia, sulit bagi pemerintah untuk berpihak kepada mayoritas rakyatnya. Dengan demikian, akan sulit pula diciptakan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD ’45. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya bisa terlaksana melalui sistem politik demokrasi murni.
Selama pemerintahan dikendalikan oleh kelompok oligarki, selama itu pula demokrasi akan terhambat perkembangannya.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—“Scarcity” atau “kelangkaan” adalah puncak dari perebutan umat manusia terdahap sumber daya dunia guna memenuhi hasrat hidupnya. Kelangkaan terjadi bila hasrat duniawi melebihi sumber daya yang tersedia untuk memenuhinya, paling tidak ini yang dikatakan oleh para ekonom itu.
Dua kubu “extreme” saling bertanding menawarkan solusi untuk mengatasi kelangkaan tadi, sehingga hasrat kebutuhan hidup, baik primer maupun sekunder, bisa terpenuhi dengan baik. “Komunisme” dan “kapitalisme”, merupakan dua kubu yang cukup lama saling berseteru, yang akhirnya dimenangkan oleh kapitalisme dengan sistem ekonomi pasar sebagai cara untuk memenuhi birahi materialisme masyarakat dunia. Bisakah ekonomi pasar menciptakan keadilan sosial?
Mekanisme ekonomi pasar merupakan proses untuk mencapai “keseimbangan” antara penawaran dan permintaan atas barang dan jasa yang kita perlukan. Pada titik “keseimbangan” itu harga barang dan jasa ditentukan.
Dalam mekanisme pasar, persaingan juga merupakan sesuatu yang lumrah. Persaingan menciptakan effisiensi dalam penggunaan sumber daya tadi. Dalam ekonomi pasar, ada istilah-istilah baku yang digunakan.
“Produsen” adalah pihak yang menyediakan barang dan jasa, “konsumen” adalah pihak yang mengonsumsi barang dan jasa. “Persaingan” antara produsen merupakan hal yang biasa dalam praktik ekonomi pasar. Akibat persaingan ini, yang kuat akan menang, yang lemah ada kalanya tersisihkan.
Dalam persaingan ekonomi pasar, yang kuat yang akan bertahan, sehingga menjadi kuat dan bertahan untuk tetap kuat adalah tujuan bagi setiap pelaku pasar. Ada kalanya pelaku pasar bersekongkol dengan kekuasaan untuk bertahan dalam persaingan. Tidak jarang eksploitasi merupakan jalan untuk bertahan.
Korban eksploitasi bisa pengusaha lain (yang lemah), pekerja atau konsumen. Bentuk eksploitasi bisa bermacam-macam. Pengusaha yang lemah akan didikte oleh pengusaha bermodal kuat, atau tersingkir dari persaingan.
Eksploitasi terhadap konsumen juga terjadi apabila konsumen membeli barang dengan harga di luar kewajaran. Konsumen tidak memiliki pilihan selain tunduk kepada ketentuan harga yg ditetapkan oleh produsen. Eksploitasi terhadap pekerja juga sering terjadi, yaitu apabila mereka diberi upah secara tidak wajar. Umumnya terjadi pada buruh di luar lingkaran manajemen suatu perusahaan.
Dalam sistem ekonomi pasar, yang lemah jarang menikmati keadilan sosial. Dalam posisi ini mereka kehilangan kesempatan yang proprosional untuk menghasilkan “income” yang layak. Perbedaan kesenjangan pendapatan yang mecolok, lemahnya distribusi pendapatan yang merata dan merajalelanya kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi di negara yang menerapkan sistem
ekonomi pasar.
Tetapi apapun akses negatif sistem ekonomi pasar, sistem ini tetap merupakan yang terbaik untuk menghasilkan efisiensi penggunaan sumber daya alam. Yang diperlukan hanyalah seperangkat kebijakan dan tindakan yang akan mengurangi akses negatif sistem ekonomi pasar, sehingga keadilan sosial bisa tercapai.
Untuk mengatasi akses negatif sistem ekonomi pasar, seperangkat sistem sosial dan etika perlu diperkenalkan kepada dunia bisnis. Di negara Jerman misalnya, pemerintahnya memperkenalkan sistem sosial dan etika dalam sistem ekonomi pasarnya, sehingga kesenjangan pendapatan dan perbedaan antara kaya dan miskin bisa ditekan.
Porsi masyarakat kelas menengah menjadi besar. Intervensi pemerintah untuk menolong orang miskin dan yang tidak mampu menjadi kebijakan yang pasti dalam pemerintahannya. Distribusi pendapatan yang merata sangat jelas terlihat dimasysrakatnya.
Kebebasan berserikat dijamin oleh undang-undang, sehingga kelompok masyarakat yang lemah bisa diperkuat posisi tawarnya. Bahkan penentuan upah buruh adalah berdasarkan negosiasi antara serikat pekerja dan pemberi kerja. Lembaga konsumen Jerman merupakan lembaga yang sangat kuat yang dijamin keberadaannya oleh undang-undang. Melalui lembaga konsumen, produsen tidak berani memproduksi produk yang tidak berkualitas yang bisa merusak kesehatan maupun lingkungan.
Secara alami, memang sistem ekonomi pasar akan menghasilkan kelompok yang kuat dan selebihnya akan menyisakan masyrakat yang lemah dari sisi modal dan posisi tawar. Untuk Indonesia, penguasaan oligarki terhadap kehidupan ekonomi dan sosial, bahkan juga politik, merupakan bukti nyata produk sistem ekonomi pasar murni.
Kebijakan pemerintah yang bermuatan etika dan moral perlu diperkenalkan dalam sistem perekonomian Indonesia, sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa diwujudkan, sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, membangun kekuatan serta posisi tawar kelompok yang lemah perlu digalakkan. Posisi tawar konsumen bisa diwujudkan melalui lembaga konsumen yang kuat. Koperasi merupakan pilihan bagi masyarakat dan UMKM untuk membangun posisi tawar di pasar. Subsidi pemerintah merupakan instrumen yang penting untuk mengangkat masyarakat yang “tersisihkan” sehingga bisa menikmati keadilan sosial. Serikat buruh juga merupakan alat untuk membangun posisi tawar para pekerja.
Jika kita melihat kembali kepada pengalaman di Jerman, prinsip rezim yang berkuasa di sana adalah menelorkan kebijakan maupun peraturan untuk menciptakan kesejahteraan mayoritas rakyatnya. Ini mungkin prinsip yang bisa kita tiru dan terapkan untuk menciptakan keadilan sosial, terutama keadilan sosial dalam sistem ekonomi pasar.
Opini Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Jika kita berbicara tentang keadilan sosial, apa artinya? Lebih mudah untuk melihat “tidak” hadirnya keadilan sosial dalam suatu masyarakat dengan melihat gajalanya. Misalnya, adanya kesenjangan pendapatan, konsentrasi kekayaan pada kelompok kecil masyarakat, kesenjangan status sosial atau kemiskinan yang masih merajalela.
Untuk Indonesia, ukuran ketimpangan pendapatan diukur melalui Rasio Gini, yang saat ini adalah sebesar 0,384 (BPS, Maret 2022). Ukuran rasio gini menggunakan angka nol dan satu. Jika rasio gini berada di angka nol, maka pendapatan didistribusikan secara sempurna. Jika nilainya satu, maka konsentrasi pendapatan di negara itu hanya pada satu orang. Angka rasio gini Indonesia menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat.
Kembali kepada definisi “keadilan sosial”, menurut saya, keadilan sosial itu akan tercipta jika terpenuhinya minimal dua persyaratan, yaitu adanya “kesempatan yang sama” bagi seluruh masyarakat untuk membangun kesejahteraan hidupnya dan adanya jaminan untuk “mendapatkan hasil” yang sesuai dengan “usaha” yang diupayakan oleh mereka untuk meraih kesejahteraan itu.
Sedangkan untuk membangun kesejahteraan hidup tergantung juga kepada dua hal, yaitu kesempatan untuk “bekerja” atau “berusaha”. Artinya, jika kesempatan yang sama terbuka bagi semua orang untuk bekerja dan berusaha, dan mendapatkan imbalan yang sesuai dengan upayanya, maka jaminan untuk terciptanya keadilan sosial juga akan terpenuhi, tentunya harus didukung oleh semua kebijakan makro dan mikro yang relevan.
Apa yang dibutuhkan untuk mendapatkan kesempatan yang sama bagi semua orang? Kesempatan yang sama bisa diperoleh jika “aturan main” untuk mendapatkan kesempatan itu diberlakukan sama untuk semua orang. Antara lain, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan atau untuk membuka usaha tidak dibatasi oleh jenis kelamin, umur, ras, suku atau agama. Kesempatan berusaha juga tidak boleh dibatasi oleh jenis usaha (kecuali jenis yang dilarang oleh undang-undang atau agama), pemilihan tempat berusaha atau pemberian hak monopoli kepada pengusaha tertentu. “Aturan main” yang berlaku umum untuk semua orang ini adalah aturan yang harus dijamin oleh pemerintah, sehingga semua orang mempunyai peluang yang sama untuk berusaha atau untuk mendapatkan pekerjaan.
Unsur lain untuk menciptakan keadilan sosial adalah “jaminan” bahwa setiap orang akan menikmati “hasil” usahanya sesuai dengan upaya yang dikeluarkannya untuk mencapai hasil itu. Jaminan ini juga perlu diatur melalui aturan yang pelaksanaannya dijamin oleh pemerintah. Melalui jaminan peraturan tersebut, baik melalui undang-undang maupun peraturan yang lebih rendah, akan memicu motivasi pegawai maupun pengusaha untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Bagaimana peran koperasi dalam membentuk keadilan sosial?
Jika kita mempelajari tujuan didirikannya koperasi dan meninjau sejarah berdirinya koperasi diseluruh dunia, maka tujuan berdirinya koperasi adalah untuk mengangkat “keterpurukan” masyarakat dari kesenjangan ekonomi maupun sosial. Begitu pula halnya di Indonesia. Tujuan seseorang untuk bergabung dalam koperasi adalah untuk mengangkat posisi ekonominya, sehingga bisa memperbaiki status sosialnya. Jika kita mengacu kepada definisi International Cooperative Alliance (ICA) yang menyebutkan bahwa, “cooperatives are people-centered enterprises… to relise their common economic, social and cultural needs“. ICA, dalam hal ini, lebih jauh menekankan tujuan koperasi selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, juga kebutuhan sosial dan budaya anggotanya.
Menurut undang-undang Koperasi yang saat ini berlaku yaitu UU Koperasi no 25 tahun 1992 pasal 3 menyebutkan, “koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota…”. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa koperasi sebagai bangun organisasi memang diciptakan sebagai “kendaraan” untuk menciptakan “kesejahteraan”.
Jika koperasi berkembang dengan baik di Indonesia, maka kesejahteraan masyarakat yang bergabung sebagai anggotanya akan berkembang pula. Peningkatan kesejahteraan ini akan menekan lebih jauh “kesenjangan” ekonomi yang terjadi di masyarakat, sehingga bisa menciptakan keadilan sosial di Indonesia.
Koperasi juga menciptakan kesempatan yang sama untuk setiap anggotanya. Salah satu prinsip koperasi ICA yaitu, “voluntary and open membership”, menjamin kesamaan dan kesetaraan di antara anggotanya. Lebih jauh pasal 5a UU 25/92 menyebutkan bahwa “keaggotaan bersifat sukarela dan terbuka”.
Penjelasan pasal ini diuraikan lebih lanjut melalui penjelasannya bahwa, “keanggotaan tidak dilakukan pembatasan atau diskriminasi dalam bentuk apapun”. Prinsip “voluntary and open membership” ini membuka “kesempatan yang sama” bagi setiap orang. Dengan demikian, melalui koperasi, anggota bisa memiliki kesempatan yang sama untuk mewujudkan kesejahteraan ekonominya.
Prinsip koperasi, baik menurut ICA maupun menurut undang-undang yang berlaku, sudah menunjukkan bahwa syarat untuk mencapai tujuan kesejahteraan sosial sudah dipenuhi oleh koperasi.
Persyaratan yang kedua untuk mencapai kesejahteraan sosial adalah “imbalan” atas “upaya”. Dalam prakter koperasi ada yang dikenal dengan konsep “Sisa Hasil Usaha” atau yang lazim disebut sebagai SHU.
SHU ini adalah “imbalan” yang diterima oleh anggota sebagai akibat dari “interaksinya” dengan koperasi. Imbalan ini diterima oleh amggota sesuai dengan intensitas anggota dalam menggunakan jasa yang disediakan oleh koperasi. Setiap anggota akan menerima SHU yang berbeda dari satu sama lainnya, tergantung kepada “keaktifan” masing-masing anggota untuk memanfaatkan jasa koperasinya.
Di dalam koperasi, pembagian pembagian SHU ini juga dijamin oleh UU 25/1992. Bab IX, pasal 45 pada undang-undang ini menyebutkan, “Sisa Hasil Usaha …, dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh, masing-masing anggota dengan Koperasi,…”.
Seperti yang sudah kita lihat di atas, koperasi sebagai suatu organisasi memang sudah dilengkapi dengan “perangkat” untuk mewujudkan keadilan sosial. Aturan main yang menjamin terwujudnya kedua persyaratan tersebut juga sudah jelas dijamin oleh undang-undang yang belaku. Mereplikasi keberadaan koperasi di seluruh wilayah Indonesia akan mereplikasi pula persyaratan untuk mencapai keadilan sosial. Berkembang tumbuhnya koperasi di Indonesia akan membuka “jalan” untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.