Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta—Salah seorang calon Presiden Republik Indonesia, Anies Rasyid Baswedan mengusulkan supaya pemilihan umum (Pemilu) kali ini harus menjadi pemilu yang mengutamakan gagasan sebagai kriteria unggul, bukan pemilu yang mengandalkan uang untuk menang.
Ini tentu satu imbauan yang merupakan angin segar dalam perpolitikan Indonesia. Memang, jika kita melihat kebelakang, sejak era reformasi, politik uang menjadi dominan dalam penentuan kemenangan calon pemimpin Indonesia hampir di semua level pemerintahan di Tanah Air kita. Dengan mengedepankan uang sebagai faktor penentu kemenangan, kualitas serta kebermanfaatan seorang pemimpin bagi rakyatnya menjadi tidak penting.
Jika gagasan bisa menjadi faktor utama dalam memenangkan pemilu, maka Indonesia sudah mulai masuk kedalam era “moderen” di dalam dunia perpolitikannya. Hanya saja, untuk menjadikan gagasan sebagai kriteria utama, diperlukan juga pemilih yang sadar akan pentingnya gagasan dalam menilai calon pilihan mereka. Mereka perlu paham betul bahwa gagasan yang dibawa calon akan memengaruhi kehidupan mereka, minimal selama lima tahun kedepan.
Jika gagasan sebagai faktor keunggulan dapat diterima secara luas oleh masyarakat, maka politik uang tidak akan menjadi penting lagi dalam suatu proses pemilihan umum. Gagasan tentu akan berpengaruh pula kepada penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Gagasan juga akan menjadikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) maupun Jangka Panjang (RPJP) menjadi rencana yang menitikberatkan pada dampak yang berpihak pada rakyat. Penyusunan APBN maupun APBD akan berpedoman kepada substansi program yang bersumber dari gagasan calon pemimpin yang bertanding dalam Pemilu.
Anggaran negara akan menjadi efektif penggunaannya, Begitu pula penyusunan Rencana Startegis (Renstra) oleh masing-masing lembaga negara maupun lembaga daerah, penyusunannya akan berdasarkan substansi yang menjadi cerminan gagasan pemimpin dimasa Pemilu.
Penyusunan program pemerintah bukan lagi untuk tujuan memghabiskan anggaran, tetapi anggaran digunakan untuk merealisasikan program yang akan memberikan manfaat kepada masyarakat. Kebocoran anggaran juga akan bisa ditekan, karena penyusunan anggaran adalah untuk membiayai gagasan. Monitoring terhadap penggunaan anggran dan realisasi gagasan bisa dilakukan langsung oleh rakyat, karena alasan mereka memilih calon tertentu adalah karena gagasan yang berpihak yang menguntungkan rakyat.
Karena gagasan yang dijual oleh calon pemimpin adalah untuk menarik suara mayoritas pemilih, maka gagasan itu harus merupakan “janji politik” calon pemimpin. Salah satu janji politik yang penting bagi rakyat adalah upaya untuk membangun kesejahteraan.
Kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh tumbuh suburnya ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Membangun ekonomi yang berdampak kepada kesejahteraan mengharuskan pemimpin terpilih untuk mengembangkan elemen pendukung lainnya, seperti pembangunan infrastrukur, regulasi yang kondusif, program insentif untuk menarik investasi, ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten, akses kepada permodalan, insentif tax dan elemen lainnya yang diperlukan untuk membangun ekonomi untuk rakyat.
Jika kemenangan kompetisi pemilihan pemimpin didasarkan pada uang, maka gagasan yang dikembangkan oleh pemimpin yang terpilih adalah untuk mensejahterakan masyarakat pemberi uang, dan belum tentu akan bermanfaat bagi mayoritas rakyat. Konsentrasi kesejahteraan akan terfokus pada sekelompok kecil masyarakat yang berkolusi dengan calon pemimpin selama proses pemilihan umum.
Jadi memang perlu dibudayakan pemenangan calon pemimpin yang didasarkan kepada pertandingan gagasan, bukan berdasarkan kepada berapa banyak uang yang bisa digelontorkan oleh peserta Pemilu kepada pemilih. Semoga sistem politik moderen ini bisa berkembang dalam dunia perpolitikan Indonesia di masa yang akan datang. Gagasan untuk membangun ekonomi untuk rakyat merupakan fondasi untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, sebagaimana mandat Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta—Tidak saja sudah dijamin oleh konstitusi negara, keberadaan koperasi sudah tersurat dalam Pasal 33 UUD 45. Pasal ini menyebutkan, perekonomian disusun sebagai “usaha bersama” berdasar atas azas “kekeluargaan”. Sebelum dilakukan amandemen terhadap pasal ini, penjelasannya menyebutkan bahwa bentuk badan usaha tersebut adalah “koperasi”.
Kita semua tahu, hanya koperasi yang merupakan “usaha bersama” yang bersifat “kekeluargaan”. Walaupun kata-kata “koperasi” dihapus dalam penjelasan pasal 33 UUD 45, kita semua paham bahwa sifat usaha bersama dan azas kekeluargaan adalah karakteristik koperasi.
Bagaimana kenyataannya?
Koperasi menjadi pemain “pinggiran” dalam perekonomian Indonesia. Yang menjadi pemain utama adalah “kapitalisme” dan ini jelas melanggar konstitusi. Oleh sebab itu, menjadi tanggung-jawab kita bersama untuk mengembalikan karakter perekonomian Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD 45.
Mendorong koperasi sebagai salah satu kekuatan ekonomi Indonesia tidak berarti “meniadakan” pelaku ekonomi lainnya, yang sampai saat ini telah banyak mendorong perekonomian Indonesia kepada kondisi sekarang ini.
Hanya saja “kue” kekayaan negara lebih banyak didominasi oleh kelompok kapitalis. Kebijakan pemerintah selama ini lebih banyak menciptakan peluang bagi kelompok bermodal untuk menggarap kekayaan negara.
Sebagai contoh, hak konsesi di sektor pertambangan, kehutanan dan perkebunan banyak diberikan kepada kelompok bermodal ini. Sektor ini merupakan sektor yang merupakan sumber kekayaan alam Indonesia. Selain itu. konglomerat sebagai salah satu bentuk format kapitalisme, merambah kegiatan usahanya hampir di semua sektor strategis. Tidak heran jika konsentrasi kekayaan berada pada kelompok ini.
Koperasi yang merupakan sebuah entity bisnis merupakan badan usaha yang istimewa. Prinsip “open membership” dari koperasi memungkinkan koperasi untuk menghimpun anggota yang tidak terbatas jumlahnya. Melalui prinsip ini, terbuka kemungkinan bagi koperasi untuk membangun kekuatan sosial, yang bahkan bisa merambah kepada kekuatan politik.
Dengan kekuatan ini koperasi memiliki posisi tawar yang kuat. Posisi tawar koperasi memungkinkan baginya untuk memengaruhi kebijakan pemerintah yang memihak kepada kepentingan koperasi dan anggotanya. Kemungkinan untuk menghimpun anggota dengan jumlah yang tidak terbatas juga akan memberikan kekuatan bagi koperasi dalam menghimpun modal yang besar pula. Kontribusi anggota akan menciptakan kekuatan modal, yang bisa membangun kekuatan ekonomi.
Untuk menciptakan “usaha bersama” dalam sistem ekonomi Indonesia, kerjasama antara pelaku ekonomi, antara koperasi dan konglomerasi bisa digalaklan. Pembagian tugas antara kedua pelaku usaha ini bisa menciptakan “kebersamaan” yang saling menguntungkan. Kelebihan dan kekurangan dari masing-masing jenis pelaku usaha bisa dikompensasikan melalui kerjasama ini. Misalnya, koperasi bisa menghimpun keahlian dari berbagai bidang yang dibutuhkan oleh konglomerat, sementara konglomerat dengan keunggulan kapitalnya bisa menghasilkan kombinasi yang dahsyat. Banyak lagi kelebihan koperasi dan konglomerasi yang bisa dipadukan guna membangun kekuatan ekonomi yang saling menguntungkan.
Kerjasama antara kekuatan koperasi yang merupakan perkumpulan orang dan kekuatan modal yang dimiliki oleh konglomerat bisa menghasilkan kerjasama yang menguntungkan Indonesia secara keseluruhan. Kekuatan gerakan koperasi yang bisa merupakan kekuatan politik yang dapat menciptakan posisi tawar untuk menentukan kebijakan ekonomi yang saling menguntungkan, baik untuk rakyat maupun untuk pemilik modal. Kebijakan yang bisa menciptakan pemerataan pendapatan rakyat, kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maupun kebijakan untuk meningkatkan devisa negara merupakan beberapa kebijakan yang bisa dibentuk melalui kerjasama koperasi dan konglomerat.
Peran pemerintah untuk mendorong kerjasama ekonomi antara koperasi dan konglomerat sangatlah dibutuhkan. Pemerintah melalui instrumen peraturan dan perundang-undangan bisa membentuk “kerangka” yang kondusif bagi koperasi dan konglomerat secara bersama-sama membangun ekonomi Indonesia yang menguntungkan rakyat.
Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta —Bisakah koperasi sebagai alat untuk melawan korupsi di negara ini? Korupsi sudah merajalela. Pemberitaan korupsi mendominasi berita sehari-hari yang kita baca dan dengar di media massa maupun media sosial. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah-olah tidak digubris oleh para koruptor. Korupsi bukan saja dilakukan oleh oknum aparat negara, tetapi juga oleh masyarakat swasta, seperti yang terjadi di dunia koperasi baru-baru ini.
Korupsi terjadi karena ada “kesempatan” untuk mengambil dana pihak ketiga, yang bukan merupakan haknya. Selain kesempatan, korupsi juga terjadi karena lemahnya “pengawasan” terhadap aliran dana. Kesempatan dan lemahnya pengawasan bisa ditanggulangi jika aliran dana bisa dipantau secara transparan. Dengan “transparansi”, kesempatan penyelewengan bisa ditekan, karena ketidakjujuran bisa diketahui dengan mudah. Melalui transparansi, pengawasan juga akan lebih mudah dilakukan. Kalau begitu, bagaimana koperasi bisa mengatasi korupsi?
Anggota koperasi adalah “pemilik” koperasi. Sebagai pemilik, anggota berhak untuk tahu apa yang terjadi di koperasinya, baik dari segi proses maupun hasil. Karena dengan transparansi, anggota akan memiliki informasi yang benar, yang akan digunakan dalam proses pengambilan keputusan strategis, paling tidak pada pengambilan keputusan di setiap Rapat Anggota Tahunan (RAT) koperasi. Itu sebabnya, transparansi adalah praktek yang harus ada pada koperasi. Prinsip koperasi yang penting dijalankan oleh koperasi sehingga anggota tahu akan haknya akan transparansi adalah prinsip “pendidikan anggota”. Melalui pendidikan, anggota akan tahu haknya, yang mana salah satunya adalah akses kepada informasi.
Disamping prinsip “pendidikan anggota”, prinsip koperasi lainnya yang berperan untuk melawan korupsi adalah prinsip “keanggotaan yang terbuka” atau “open membership”. Dengan prinsip ini, koperasi berpotensi untuk menjaring anggota dengan jumlah yang tidak terbatas. Melalui prinsip ini, koperasi berpotensi untuk mempunyai jumlah anggota yang besar. Gabungan antara transparansi dan jumlah anggota yang besar akan menekan kemungkinan terjadinya korupsi, karena akses informasi oleh orang banyak akan menutup kemungkinan kecurangan, yang umumnya terjadi jika informasi bisa “disimpan” untuk tidak disebarluaskan.
Kemudian, bagaimana pula bisa terjadi penggelapan atau pencurian uang di dunia koperasi yang banyak diberitakan belakangan ini? Jawabannya cukup mudah. Koperasi yang terlibat dalam kecurangan itu tidak menjalankan prinsip-prinsip koperasi, terutama prinsip “pendidikan anggota”. Dengan absennya pendidikan anggota, maka anggota tidak mengetahui haknya, terutama hak untuk memperoleh informasi, yang akan menciptakan transparansi di koperasi. Disamping itu, kemungkinan besar anggota juga tidak diberikan pengetahuan bahwa anggota adalah “pemilik” koperasi, sehingga anggota juga akan turut bertanggung-jawab atas semua hal yang terjadi di koperasinya. Jika anggota paham bahwa ia turut bertanggung-jawab, tentu anggota akan lebih “agresif” untuk memantau apa yang terjadi di koperasinya. Pantauan anggota akan menurunkan selera para “oknum” untuk berbuat curang. Dengan diterapkannya prinsip-prinsip koperasi, maka koperasi akan terhindar dari korban praktek korupsi atau praktek-praktek sejenisnya.
Bagaimana pula koperasi bisa melawan korupsi di kalangan pemerintah? Korupsi di kalangan pemerintah umumnya adalah penyelewengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana APBN digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang bermanfaat untuk masyarakat. Pelaksanaan proyek-proyek ini biasanya diserahkan kepada pihak swasta yang pemilihannya dilakukan melalui proses tender. Biasanya “kebocoran” terjadi pada perpindahan dari tahap rencana kepada tahap implementasi program atau proyek yang dibiayai APBN.
Untuk bisa menekan “kebocoran” dana APBN tadi, maka pelaksanaan program atau proyek sebaiknya lebih banyak dibuka peluangnya kepada koperasi yang menjalankan prinsip-prinsip koperasi dengan benar. Transparansi alur dana APBN beserta hasil yang dicapai bisa menekan kesempatan penyelewengan dana dalam bentuk korupsi atau sejenisnya. Dengan melibatkan koperasi, hasil APBN bisa pula secara langsung dinikmati oleh masyarakat anggota koperasi, yang jumlahnya bisa tidak terbatas. Pelibatan koperasi dalam program atau proyek APBN merupakan satu bentuk “pencegahan” terjadinya korupsi.
Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta —Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 merupakan payung konstitusi dalam membentuk sistem perekonomian Indonesia. Bentuk usaha, peran negara dan prinsip-prinsip dalam menjalankan ekonomi tertera jelas dalam pasal ini.
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan” (Ayat 1, pasal 33 UUD 45). Peran negara diarahkan untuk mengatur aktivitas perekonomian sehingga dapat memberikan manfaat kepada kehidupan orang banyak. Untuk menterjemahkan amanat undang-undang dasar ini, Koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Korporasi mendapat mandat sebagai pelaku utama dalam perekonomian Indonesia. Bagaimana ketiga jenis pelaku usaha ini bisa melaksanakan amanat pasal 33 UUD 45?
Tugas dari ketiga jenis pelaku usaha ini adalah untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat bisa sejahtera jika kebutuhan hidupnya terpenuhi, baik kebutuhan primer maupun sekunder. Syarat kesejahteraan adalah adanya “keadilan”.
Artinya, rakyat mempunyai “peluang yang sama” untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain dari itu, sebagaimana amanat pasal 33 UUD ’45, kesejahteraan dicapai malului “usaha bersama” dan dengan cara “kekeluargaan”.
Dengan demikian, ketiga pelaku usaha ini bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat dengan cara yang adil, melalui usaha bersama secara kekeluargaan, sehingga tercipta kesejahteraan untuk semua.
Kebutuhan hidup dipenuhi melalui konsumsi barang dan jasa, yang diperoleh melalui transaksi jual beli di pasar. Ada kalanya barang dan jasa yang dibutuhkan tidak tersedia di pasar, maka pemerintah bertugas untuk menyediakannya. Jika barang dan jasa tersedia di pasar, tetapi masyarakat tidak mampu untuk membayarnya, maka tugas pemerintah untuk memyediakannya.
Contoh barang dan jasa yang diperlukan tapi tidak tersedia di pasar, misalnya jasa pertahanan dan keamanan yang disediakan oleh angakatan bersenjata. Kehadiran jasa keamanan dan pertahanan diperlukan juga untuk menjamin terciptanya kesejahteraan.
Ketiga pelaku ekonomi, Koperasi, BUMN dan Korporasi, adalah yang “memproduksi” barang dan jasa sebagai “media” pemenuhan kebutuhan masyarakat. Untuk memproduksi barang dan jasa tersebut, diperlukan sumberdaya. Sumberdaya bisa digolongkan kedalam dua kategori, yang “padat karya” dan “padat modal”. Ada barang dan jasa yang diproduksi dengan memanfaatkan tenaga dan keahlian manusia, dan ada pula yang mensyaratkan penggunaan teknologi.
Peran pelaku usaha bisa disesuaikan dengan karakter masing-masing pelaku tersebut. Misalnya Koperasi, yang merupakan kumpulan orang, bisa memproduksi barang dan jasa yang padat karya. Tetapi koperasi melalui kekuatan bersama juga bisa membentuk kekuatan modal, yang selanjutnya bisa melakukan produksi yang padat modal.
BUMN sebagai pemilik negara memproduksi barang dan jasa yang bermanfaat bagi publik yang ditujukan untuk kepentingan publik. Sedangkan Korporasi merupakan usaha padat modal, memproduksi barang dan jasa yang padat modal. Produksi barang dan jasa yang padat modal biasanya memerlukan teknologi tinggi didalam proses produksinya.
Bagaimana ketiga pelaku usaha ini bisa melakukan “usaha bersama”? Kerjasama antara ketiga jenis pelaku usaha ini sangat mungkin dilakukan. Kerjasama antara BUMN dan Koperasi bisa dilakukan bila produk dan jasa yang diperuntukkan untuk kepentingan publik disalurkan melalui Koperasi, karena Koperasi merupakan organisasi yang menghimpun kumpulan manusia. Begitu juga halnya dengan Korporasi, produk dan jasa yang diproduksi oleh Korporasi bisa dikerjasamakan dengan Koperasi.
Komponen produk yang diproduksi dengan padat karya bisa diserahkan kepada koperasi, sedangkan Korporasi memproduksi produk yang sarat dengan teknologi. BUMN maupun Korporasi bisa bekerjasama dengan Koperasi untuk menjangkau masyarakat luas, baik untuk kepentingan publik maupun untuk kepentingan komersial.
Kerja sama ketiga jenis pelaku usaha ini akan menjangkau manfaat barang dan jasa kepada masyarakat luas, terutama untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan melibatkan Koperasi, akan mudah untuk menyalurkan barang dan jasa kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Koperasi sebagai lembaga yang menganut prinsip “kesamarataan”, merupakan alat yang ampuh untuk menciptakan keadilan.
Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta—Sejarah berdirinya koperasi di Eropa pada abad ke-19 merupakan satu bentuk perlawanan kaum buruh dan petani yang tertindas oleh sistem kapitalis pada masa itu. Akibat proses industrialisasi, kapital menjadi kekuatan dalam kehidupan ekonomi. Berkembangnya kekuatan kapitalis dalam perekonomian, menyisakan kemiskinan, terutama di daerah pedesaan. Di perkotaan, kaum buruh yang menjadi korban industrialisasi, merupakan kelompok yang terpinggirkan. Polarisasi antara pemilik modal dan pekerja, merupakan realitas saat itu.
Koperasi merupakan alat bagi kaum buruh dan petani di Eropa untuk mengangkat kesejahteraan mereka. Hasilnya, koperasi di beberapa negara Eropa saat ini merupakan pelaku usaha yang diperhitungkan dalam sistem kapitalisme. Koperasi di berbagai bidang dan industri yang bergerak di bidang ritel, pertanian, keuangan, manufaktur, merupakan pemain yang menentukan dalam perekonomian nasional.
Kontribusi koperasi terhadap perekonomian menjadi signifikan. Di Jerman misalnya, 60% pangsa pasar kredit di negara berpenduduk sekitar 85 juta jiwa itu dikuasai oleh koperasi. Di Norwegia, koperasi susu berkontribusi 99% dari total produksi susu.
Di Denmark, hampir semua pertokoan dan bank milik koperasi. Di Swedia, koperasi konsumennya mampu mendirikan pabrik sendiri. Di Italia, koperasi juga bergerak di bidang industri, selain di bidang pertanian, perbankan dan ritel. Koperasi yang sukses bukanlah sesuatu hal yang langka ditemukan di negara-negara Eropa saat ini.
Ada kesamaan situasi Eropa pada abad ke-19 dengan situasi Indonesia saat ini. Penguasaan Oligarki di bidang ekonomi dan politik di Indonesia saat ini bisa disamakan saat awal berkembangnya kapitalisme di Eropa. Ada dua kelompok saat itu di Eropa, kaum minoritas yang menguasai kapital dan kelompok masyarakat miskin dari golongan buruh dan petani. Begitu juga halnya di Indonesia.
Ada segelintir masyarakat oligarki yang menguasai mayoritas kekayaan negara dan selebihnya masyarakat pekerja, petani dan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Di Eropa ada ketidakpuasan terhadap kaum kapitalis pada masa itu.
Di Indonesia, ketidakpuasan disuarakan kepada kaum oligarki, yaitu segelintir orang yang mega kaya. Di Eropa, ada ketimpangan ekonomi dan sosial pada masa itu.
Di negeri ini, ketimpangan ekonomi juga terlihat jelas, yang ditunjukkan oleh angka ratio Gini sebesar 0,77 (Suissie Credit, 2022). Ketidakpuasan terhadap kelompok oligarki bukan saja ditunjukkan oleh petani dan kaum buruh, tetapi juga oleh masyarakat kelas menengah di Indonesia, baik dari golongan pekerja maupun kelompok pengusaha. Mereka mengharapkan keadilan dalam pembagian kekayaan negara.
Di Eropa, tuntutan perubahan nasib diwujudkan melalui prinsip “menentukan nasib sendiri, bertanggungjawab atas diri sendiri, mengatur diri sendiri”. Dalam dunia koperasi, pendekatan ini dikenal dengan “pendekatan arus bawah” (bottom-up approach).
Kaum buruh dan perani di Eropa saat itu menggunakan koperasi sebagai kendaraan mereka untuk bangkit dari keterpurukan sosial dan ekonomi. Koperasi waktu itu memang tumbuh dari masyarakat. Koperasi di Eropa ditujukan untuk merubah nasib rakyat. Tujuan koperasi memang benar-benar untuk kesejahteraan anggotanya. Bantuan pemerintah untuk membangun gerakan koperasi boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Gerakan koperasi di Eropa sepenuhnya gerakan swadaya masyarakat.
Berbeda dengan perkembangan koperasi di Indonesia. Pendirian dan pertumbuhan koperasi banyak melibatkan campur tangan pemerintah. Hal ini sangat nyata terlihat pada masa pemerintahan orde baru. Koperasi, terutama Koperasi Unit Desa (KUD), digunakan untuk mensukseskan program-program pemerintah. Semangat swadaya anggota saat itu sangat lemah. Koperasi lebih banyak mengurus kepentingan pemerintah, sehingga kesadaran akan manfaat koperasi sebagai kendaraan masyarakat untuk mengubah kondisi sosial dan ekonomi juga rendah.
Sekaranglah saatnya bagi masyarakat Indonesia yang berada di luar lingkaran kaum oligarki untuk bangkit menentukan nasibnya sendiri. Masyarakat perlu meninggalkan mentalitas “ketergantungan”. Meniru pengalaman di Eropa, masyarakat harus berani untuk bangkit. Kondisi yang tidak puas terhadap sistem oligarki bisa diatasi dengan menggunakan koperasi sebagai kendaraannya untuk mengangkat kesejahteraan.
Pemerintah harus memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menggunakan koperasi dalam mengambil peluang-peluang ekonomi di negara ini. Koperasi juga perlu diberikan ruang untuk masuk ke semua sektor produksi di negara ini.
Koperasi harus dibudayakan sebagai “gerakan” masyarakat untuk menentukan nasib sendiri. Dengan demikian, kecemburuan sosial terhadap kelompok oligarki akan bisa dihindari, sehingga tercipta keadilan yang sebenarnya di Tanah Air Indonesia tercinta. Belajar dari pengalaman di Eropa, bukannya tidak mungkin Koperasi di Indonesia duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan kelompok Oligarki yang saat ini menguasai negeri ini.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Ketergantungan masyarakat kepada pihak ketiga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dapat berujung pada “eksploitasi”. Makna ketergantungan di sini adalah, masyarakat tidak bisa “bebas” menentukan pilihannya untuk memenuhi kebutuhannya. Keterbatasan kebebasan akan mudah menciptakan eksploitasi. Kebutuhan akhirnya tidak bisa selalu dipenuhi sesuai dengan keinginan semula. Pihak yang dieksploitasi berada pada posisi yang lemah, sedangkan pihak ketiga tersebut berada pada posisi yang menentukan. Dengan demikian kepentingan pihak ketiga akan selalu menjadi prioritas dalam hubungan yang eksploitatif.
Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat oleh pihak ketiga bisa dilakukan melalui sektor swasta atau pemerintah. Pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui pemerintah seyogyanya berpihak kepada kepentingan orang banyak, sehingga kemungkinan besar tidak mengarah kepada eksploitasi. Bagaimana jika pemenuhan kebutuhan itu dilakukan oleh pihak swasta? Ini yang ingin kita tinjau lebih jauh. Bagaimana dampaknya terhadap keadilan sosial?
Pemenuhan kebutuhan oleh pihak swasta lazimnya melalui transaksi jual beli dengan tujuan untuk mendapatkan “profit” atau keuntungan bagi pengusaha tersebut. Komponen “profit” dalam struktur harga akan menyebabkan harga jual berada di atas biaya produksi barang dan jasa yang diperjualbelikan. Produsen barang dan jasa akan selalu berusaha untuk memaksimalkan komponen “profit” ini.
Masyarakat sebagai konsumen tidak mempunyai kendali untuk menetukan harga barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhannya. Akhirnya harga akan ditentukan sepihak yang belum tentu sesuai dengan daya beli masyarakat. Sebagai akibatnya tidak semua masyarakat akan terpenuhi kebutuhannya, sehingga terjadi seleksi atau “diskriminasi” terhadap masyarakat yang harus dilayani.
Ada kalanya keuntungan perusahaan terbatas besarannya sebagai akibat dari persaingan ketat antar produsen. Sebagai jalan keluar, produsen bersekongkol untuk menetapkan harga, yang mana hal ini juga berada di luar kendali konsumen. Dengan demikian akan terjadi kembali pembatasan terhadap masyarakat yang bisa dilayani kebutuhannya. Di sini keadilan sosial bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemenuhan kebutuhannya akan terkorbankan.
Selain “harga” yang bisa menjadi faktor pembatas dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, “kualitas” barang dan jasa juga berada di luar kendali konsumen. Tinggi rendahnya kualitas barang dan jasa bisa tidak merefleksikan harga barang dan jasa yang dibayar oleh konsumen. Kualitas barang dan jasa bisa dikorbankan guna menekan biaya produksi, sehingga komponen “profit” bisa diperbesar. Rendahnya kualitas barang dan jasa akan berdampak pula kepada “kualitas” pemenuhan kebutuhan konsumen. Kebutuhan masyarakat belum tentu bisa sepenuhnya terpenuhi, karena kualitas barang dan jasa untuk itu tidak memadai. Di sini masyarakat juga tidak mendapatkan keadilan, karena kebutuhannya tidak terlayani sesuai dengan kualitas yang sepatutnya dia dapatkan.
Posisi tawar masyarakat sebagai konsumen menjadi lemah. Harga barang dan jasa berperan untuk “membatasi” jumlah masyarakat yang bisa dilayani. Tingkat kualitas barang dan jasa juga berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kebutuhan.
Supaya masyarakat dapat dilayani kebutuhannya, melalui harga dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhannya, maka masyarakat perlu secara “swadaya” memenuhi kebutuhannya tersebut. Swadaya berarti, penentuan harga serta kualitas barang dan jasa sepenuhnya dalam kendali konsumen.
Untuk bisa memperoleh kendali penuh, konsumen atau masyarakat harus bertindak sebagai “produsen” sekaligus juga sebagai “konsumen”. Posisi sebagai produsen sekaligus konsumen ini hanya bisa tercipta melalui KOPERASI. Dalam hal ini koperasi dikenal dengan “identitas ganda”nya itu, yaitu produsen dan konsumen berada dalam satu entitas koperasi.
Di sini konsumen akan secara “swadaya” dapat memenuhi kebutuhannya, tanpa bergantung kepada pihak ketiga. Keswadayaan ini mencerminkan keadilan sosial, karena harga dan kualitas barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya bisa disesuaikan dengan kemampuan masyarakat, sehingga semua bisa mempunyai akses kepada barang dan jasa secara proporsional.
Bagaimana bisa diwujudkan keadilan sosial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui koperasi? Minimal harus ada dua syarat yang harus dipenuhi: masyarakat MAU menggunakan koperasi guna memenuhi kebutuhan hidupnya, dan koperasi MAMPU melakukannya.
Supaya masyarakat MAU menggunakan koperasi, maka masyarakat harus TAHU apa manfaat koperasi dalam kehidupan mereka. Untuk tahu, diperlukan edukasi. Edukasi kepada masyarakat dilakukan melalui jalur formal maupun jalur informal. Untuk jalur formal, perlu dimulai dari usia sekolah dini, sedangkan untuk jalur informal dilakukan secara “terus-menerus” oleh gerakan koperasi maupun oleh unsur yang berperan di dalam masyarakat itu sendiri.
Untuk membangun KEMAMPUAN koperasi dalam memainkan fungsinya, maka pengelolaan koperasi perlu dibangun secara “profesional”. Profesionalisme dalam mengelola koperasi tidak beda dengan pengelolaan jenis usaha lainnya. Artinya, diperlukan sumber daya yang dibutuhkan koperasi guna memproduksi barang dan jasa secara profesional.
Dengan digunakannya koperasi sebagai kendaraan, maka “diskriminasi” terhadap masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya bisa dihindari, sehingga pemenuhan kebutuhan masyarakat bisa dilakukan sesuai porsinya. Dengan demikian akan tercipta keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com —Pengelolaan kekayaan sumber daya alam oleh negara sebaiknya melibatkan masyarakat banyak atau rakyat. Sebab, pengelolaan tersebut menguntungkan negara dan rakyat. Pengelolaan oleh negara jelas dilakukan melalui pelibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bagaimana pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan melalui keterlibatan masyarakat banyak? Bagaimana caranya?
Pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan orang banyak adalah memberikan hak konsesi pengelolaan kepada orang banyak, bukan hanya kepada beberapa individu seperti yang terjadi saat ini.
Pemberian hak kepada individu, terutama kepada orang-orang yang dekat dengan penguasa, cenderung menghasilkan “kebocoran”. Hanya sebagian orang atau oligarki, lingkaran dekat dengan penguasa yang dapat menikmati keuntungan. Pengelolaan yang melibatkan orang banyak seyogyanya akan menguntungkan banyak orang pula.
Baca tulisan Dr. Rino sebelumnya:
Pemberian hak konsesi kepada orang banyak sangat tepat jika melibatkan KOPERASI. Koperasi merupakan “alat” yang bisa menghimpun banyak orang. Pemberian konsesi kepada individu bisa mensyaratkan jika mereka bergabung dalam koperasi.
Koperasi merupakan “agregasi” anggota perorangan yang jumlahnya bisa tidak terbatas. Makin besar keanggotaan koperasi, maka makin besar pula jumlah orang yang diuntungkan oleh pengelolaan sumber daya alam melalui koperasi itu.
Koperasi juga menjamin transparansi, karena individu yang memiliki konsesi yang merupakan anggota koperasi sekaligus pemilik koperasi, akan melakukan kontrol terhadap operasi pengelolaan oleh koperasi.
Pengelolaan oleh koperasi akan menciptakan efisiensi, karena individu bisa secara bersama-sama “menyerahkan” upaya orang per orang kepada koperasi. Selanjutnya, koperasi bisa menghimpun modal pengelolaan dari individu menjadi modal bersama. Dengan demikian agregasi modal bisa diciptakan.
Pemerintah juga akan lebih mudah melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan hak konsesi yang diberikan, sehingga penyelewengan dan kebocoran devisa negara bisa lebih baik dipantau. Melalui koperasi, investasi peralatan untuk pengelohan sumber daya bisa ditekan, karena peralatan digunakan bersama oleh pemilik konsesi. Melalui koperasi, juga lebih mudah pula dihimpun keahlian yang dibutuhkan untuk mengelola sumber daya.
Melalui koperasi, pemberian hak konsesi pengelolaan sumber daya alam bisa disebar kepada masyarakat. Dengan berkembangnya keanggotaan koperasi, maka akan lebih banyak pula keuntungan hasil sumber daya alam yang dinikmati oleh banyak orang. Kebocoran devisa negara akan kebih mudah dicegah. Kekayaan alam Indonesia akan lebih banyak diakses oleh masyrakat luas, sehingga kesejahteraan yang lebih merata bisa diciptakan.
Opini Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Jika kita berbicara tentang keadilan sosial, apa artinya? Lebih mudah untuk melihat “tidak” hadirnya keadilan sosial dalam suatu masyarakat dengan melihat gajalanya. Misalnya, adanya kesenjangan pendapatan, konsentrasi kekayaan pada kelompok kecil masyarakat, kesenjangan status sosial atau kemiskinan yang masih merajalela.
Untuk Indonesia, ukuran ketimpangan pendapatan diukur melalui Rasio Gini, yang saat ini adalah sebesar 0,384 (BPS, Maret 2022). Ukuran rasio gini menggunakan angka nol dan satu. Jika rasio gini berada di angka nol, maka pendapatan didistribusikan secara sempurna. Jika nilainya satu, maka konsentrasi pendapatan di negara itu hanya pada satu orang. Angka rasio gini Indonesia menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat.
Kembali kepada definisi “keadilan sosial”, menurut saya, keadilan sosial itu akan tercipta jika terpenuhinya minimal dua persyaratan, yaitu adanya “kesempatan yang sama” bagi seluruh masyarakat untuk membangun kesejahteraan hidupnya dan adanya jaminan untuk “mendapatkan hasil” yang sesuai dengan “usaha” yang diupayakan oleh mereka untuk meraih kesejahteraan itu.
Sedangkan untuk membangun kesejahteraan hidup tergantung juga kepada dua hal, yaitu kesempatan untuk “bekerja” atau “berusaha”. Artinya, jika kesempatan yang sama terbuka bagi semua orang untuk bekerja dan berusaha, dan mendapatkan imbalan yang sesuai dengan upayanya, maka jaminan untuk terciptanya keadilan sosial juga akan terpenuhi, tentunya harus didukung oleh semua kebijakan makro dan mikro yang relevan.
Apa yang dibutuhkan untuk mendapatkan kesempatan yang sama bagi semua orang? Kesempatan yang sama bisa diperoleh jika “aturan main” untuk mendapatkan kesempatan itu diberlakukan sama untuk semua orang. Antara lain, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan atau untuk membuka usaha tidak dibatasi oleh jenis kelamin, umur, ras, suku atau agama. Kesempatan berusaha juga tidak boleh dibatasi oleh jenis usaha (kecuali jenis yang dilarang oleh undang-undang atau agama), pemilihan tempat berusaha atau pemberian hak monopoli kepada pengusaha tertentu. “Aturan main” yang berlaku umum untuk semua orang ini adalah aturan yang harus dijamin oleh pemerintah, sehingga semua orang mempunyai peluang yang sama untuk berusaha atau untuk mendapatkan pekerjaan.
Unsur lain untuk menciptakan keadilan sosial adalah “jaminan” bahwa setiap orang akan menikmati “hasil” usahanya sesuai dengan upaya yang dikeluarkannya untuk mencapai hasil itu. Jaminan ini juga perlu diatur melalui aturan yang pelaksanaannya dijamin oleh pemerintah. Melalui jaminan peraturan tersebut, baik melalui undang-undang maupun peraturan yang lebih rendah, akan memicu motivasi pegawai maupun pengusaha untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Bagaimana peran koperasi dalam membentuk keadilan sosial?
Jika kita mempelajari tujuan didirikannya koperasi dan meninjau sejarah berdirinya koperasi diseluruh dunia, maka tujuan berdirinya koperasi adalah untuk mengangkat “keterpurukan” masyarakat dari kesenjangan ekonomi maupun sosial. Begitu pula halnya di Indonesia. Tujuan seseorang untuk bergabung dalam koperasi adalah untuk mengangkat posisi ekonominya, sehingga bisa memperbaiki status sosialnya. Jika kita mengacu kepada definisi International Cooperative Alliance (ICA) yang menyebutkan bahwa, “cooperatives are people-centered enterprises… to relise their common economic, social and cultural needs“. ICA, dalam hal ini, lebih jauh menekankan tujuan koperasi selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, juga kebutuhan sosial dan budaya anggotanya.
Menurut undang-undang Koperasi yang saat ini berlaku yaitu UU Koperasi no 25 tahun 1992 pasal 3 menyebutkan, “koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota…”. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa koperasi sebagai bangun organisasi memang diciptakan sebagai “kendaraan” untuk menciptakan “kesejahteraan”.
Jika koperasi berkembang dengan baik di Indonesia, maka kesejahteraan masyarakat yang bergabung sebagai anggotanya akan berkembang pula. Peningkatan kesejahteraan ini akan menekan lebih jauh “kesenjangan” ekonomi yang terjadi di masyarakat, sehingga bisa menciptakan keadilan sosial di Indonesia.
Koperasi juga menciptakan kesempatan yang sama untuk setiap anggotanya. Salah satu prinsip koperasi ICA yaitu, “voluntary and open membership”, menjamin kesamaan dan kesetaraan di antara anggotanya. Lebih jauh pasal 5a UU 25/92 menyebutkan bahwa “keaggotaan bersifat sukarela dan terbuka”.
Penjelasan pasal ini diuraikan lebih lanjut melalui penjelasannya bahwa, “keanggotaan tidak dilakukan pembatasan atau diskriminasi dalam bentuk apapun”. Prinsip “voluntary and open membership” ini membuka “kesempatan yang sama” bagi setiap orang. Dengan demikian, melalui koperasi, anggota bisa memiliki kesempatan yang sama untuk mewujudkan kesejahteraan ekonominya.
Prinsip koperasi, baik menurut ICA maupun menurut undang-undang yang berlaku, sudah menunjukkan bahwa syarat untuk mencapai tujuan kesejahteraan sosial sudah dipenuhi oleh koperasi.
Persyaratan yang kedua untuk mencapai kesejahteraan sosial adalah “imbalan” atas “upaya”. Dalam prakter koperasi ada yang dikenal dengan konsep “Sisa Hasil Usaha” atau yang lazim disebut sebagai SHU.
SHU ini adalah “imbalan” yang diterima oleh anggota sebagai akibat dari “interaksinya” dengan koperasi. Imbalan ini diterima oleh amggota sesuai dengan intensitas anggota dalam menggunakan jasa yang disediakan oleh koperasi. Setiap anggota akan menerima SHU yang berbeda dari satu sama lainnya, tergantung kepada “keaktifan” masing-masing anggota untuk memanfaatkan jasa koperasinya.
Di dalam koperasi, pembagian pembagian SHU ini juga dijamin oleh UU 25/1992. Bab IX, pasal 45 pada undang-undang ini menyebutkan, “Sisa Hasil Usaha …, dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh, masing-masing anggota dengan Koperasi,…”.
Seperti yang sudah kita lihat di atas, koperasi sebagai suatu organisasi memang sudah dilengkapi dengan “perangkat” untuk mewujudkan keadilan sosial. Aturan main yang menjamin terwujudnya kedua persyaratan tersebut juga sudah jelas dijamin oleh undang-undang yang belaku. Mereplikasi keberadaan koperasi di seluruh wilayah Indonesia akan mereplikasi pula persyaratan untuk mencapai keadilan sosial. Berkembang tumbuhnya koperasi di Indonesia akan membuka “jalan” untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Opini
Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Pemahaman yang berkembang di masyarakat saat ini adalah bahwa Indonesia berada dalam politik kenegaraan berbasis oligarki. Jika memang demikian adanya, maka wajar jika perjuangan rakyat Indonesia adalah untuk mengembalikan Indonesia sebagai “rumah” rakyat, bukan menjadikan Indonesia sebagai “rumah” para cukong pendukung penguasa.
Rakyat tentu berharap tampilnya pemimpin yang bisa membawa Indonesia kembali ke pangkuan rakyatnya. Apakah anti oligarki berarti anti investasi? Tidak sama sekali! Selama investasi itu membawa keadilan, kesejahteraan dan kesamarataan bagi rakyat Indonesia. Selama investasi itu tidak semata-mata demi kepentingan negara asing, atau negara manapun di dunia, atau demi kepentingan penguasa dan kroni-kroninya.
Baca Juga:
Indonesia Food Share Bantu Korban Gempa Cianjur
Ridwan Kamil: Korban Gempa Butuh Makanan, Kebutuhan Bayi dan Selimut
Presiden Jokowi Kunjungi Tenda Pengungsi Korban Gempa di Cianjur
Perjuangan rakyat melawan oligarki bukan karena semata-mata alergi terhadap kapital. Kapital justru diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi negara. Kita melawan oligarki karena kapital dan investasi yang masuk ke Indonesia digunakan untuk mengeruk kekayaan negara demi kepentingan segelintir orang. Bagaimana caranya supaya kapital tidak hanya menguntungkan segelintir orang saja? Jawabannya adalah, kapital perlu dimiliki oleh mayoritas rakyat, sehingga hasil investasi bisa dinikmati oleh rakyat pula. Pemilikan kapital oleh rakyat akan berdampak kepada kesejahteraan.
Indonesia sudah memiliki “kendaraan” yang bisa menjadikan rakyat Indonesia sebagai pemilik kapital, yaitu KOPERASI. Disamping koperasi sebagai badan usaha yang merupakan kumpulan orang, koperasi juga merupakan kumpulan modal, yang dihimpun melalui anggotanya.
Kumpulan modal yang terhimpun pada badan usaha koperasi, merupakan kekuatan investasi ekonomi Indonesia. Kekuatan investasi ini akan menghasilkan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat yang tergabung dalam koperasi. Kapital yang terbentuk juga merupakan akumulasi kekuatan ekonomi rakyat.
Selain pemilikan kapital, prinsip koperasi yang mencerminkan demokrasi melalui prinsip “one man one vote”, menciptakan kesamarataan dan keadilan bagi anggota koperasi. Pengalaman anggota menjalankan demokrasi di koperasi, akan memberikan edukasi politik kepada rakyat.
Masyarakat akan lebih peka akan hak dan kewajiban politiknya. Sistem oligarki politik tidak akan mudah diterima oleh masyarakat. Kepekaan politik dan kemampuan untuk menghimpun modal oleh anggota koperasi, akan memberikan pengaruh yang signifikan kepada praktek politik yang berlangsung saat ini.
Secara sistematis sistem politik oligarki akan pudar, karena koperasi merupakan wadah kesamarataan, keadilan dan kesejahteraan, sekaligus merupakan kekuatan modal bagi rakyat Indonesia.