Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer Ekonom Institute for Cooperative Studies (ICS)
Beritaneka.com, Jakarta—Kedaulatan rakyat merupakan istilah politik yang artinya “kekuasaan tertinggi di suatu negara berada di tangan rakyat”. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Indonesia adalah negara demokrasi, maka kekuasaan tertinggi dalam politik Indonesia berada di tangan rakyat.
Jika kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, maka kekuasaan itu perlu dipergunakan untuk kepentingan rakyat pula. Segala bentuk kekuasaan yang dipergunakan BUKAN untuk kepentingan mayoritas rakyat, menandakan bahwa praktek politik di negeri tersebut menyimpang dari praktek politik demokrasi.
Demokrasi Indonesia sedang mengalami cobaan. Kedaulatan rakyat cenderung diabaikan oleh penguasa. Penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan segelintir orang sering menjadi agenda rutin. Kasus-kasus yang berkembang saat ini menunjukkan betapa kekuasaan yang dititipkan oleh rakyat disalahgunakan.
Ini merupakan praktek “perampasan” kedaulatan rakyat Indonesia. Akibatnya, suara ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa sering digaungkan. Rakyat menjerit menuntut “keadilan”. Namun jeritan ini sering diabaikan, walaupun suara lantang bergema ke seluruh Indonesia. Seolah-olah kedaulatan rakyat tidak hadir lagi di alam Indonesia.
Wakil rakyat di lembaga resmi negara tidak lagi mampu mewakili rakyat, bahkan cenderung untuk berpihak kepada kezoliman. Wakil rakyat yang bertugas di lembaga legislatif merupakan petugas partai, yang mewakili kepentingan partai. Lembaga legislatif ini yang seharusnya mewakili kedaulatan rakyat. Kemudian, siapa yang mewakili rakyat? Bagaimana kedaulatan rakyat bisa kembali kepangkuan rakyat?
Rakyat perlu mengatur diri sendiri untuk mengambil kembali kedaulatannya. Jika lembaga resmi yang mewakili rakyat tidak bisa berfungsi atas nama rakyat, maka rakyatlah yang perlu melakukannya. Pada tahun 1998, sewaktu gencarnya gerakan protes terhadap rezim orde baru, rakyat menebar parlemen jalanan. Rakyat turun ke jalan untuk menunjukkan kedaulatan mereka. Tapi cara ini cara yang penuh resiko, tidak sistematis dan tidak bisa langgeng untuk mewakili kepentingan rakyat. Parlemen jalanan merupakan cara “preman” untuk menuntut kedaulatan. Rakyat Indonesia perlu membangun budaya “santun” untuk menunjukkan kedaulatannya.
Koperasi merupakan lembaga ekonomi dan sosial yang mewakili kepentingan anggotanya. Kedaulatan di koperasi ada pada anggotanya. Dari sisi kedaulatan ini, koperasi mewakili model terkecil dari suatu negara demokrasi. Prinsip demokrasi “one-man-one-vote” merupakan bentuk kedaulatan anggota dalam institusi koperasi.
Karena koperasi merupakan kumpulan orang, maka kedaulatan orang banyak bisa disalurkan melalui koperasi. Kesadaran masyarakat koperasi akan kedaulatan ditimbulkan melalui praktek di koperasi. Prinsip koperasi yang menyebutkan “keanggotaan yang terbuka”, menunjukkan koperasi berpotensi untuk membangun agregasi. Siapa saja berpeluang untuk menjadi anggota koperasi, tanpa harus melihat latar belakang suku, ras, agama atau status sosial. Jadi koperasi merupakan kendaraan yang dapat menciptakan “kebermanfaatan” ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat luas. Kedaulatan merupakan manfaat sosial bagi masyarakat, maka koperasi pantas untuk menjadi kendaraan dalam membangun kedaulatan rakyat.
Dengan bertumbuhkembangnya koperasi, maka akan bertumbuhkembang pula praktek kedaulatan. Dengan bertumbuhkembangnya koperasi, maka akan bertumbuhkembang pula masyarakat yang merasakan kedaulatan. Dengan bertumbuhkembangnya masyarakat yang merasakan kedaulatan, maka akan berkembang pula jumlah masyarakat Indonesia yang merasakan arti kedaulatan. Maka kedaulatan bagi seluruh rakyat dalam demokrasi Indonesia akan tercipta.
Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta—Tidak saja sudah dijamin oleh konstitusi negara, keberadaan koperasi sudah tersurat dalam Pasal 33 UUD 45. Pasal ini menyebutkan, perekonomian disusun sebagai “usaha bersama” berdasar atas azas “kekeluargaan”. Sebelum dilakukan amandemen terhadap pasal ini, penjelasannya menyebutkan bahwa bentuk badan usaha tersebut adalah “koperasi”.
Kita semua tahu, hanya koperasi yang merupakan “usaha bersama” yang bersifat “kekeluargaan”. Walaupun kata-kata “koperasi” dihapus dalam penjelasan pasal 33 UUD 45, kita semua paham bahwa sifat usaha bersama dan azas kekeluargaan adalah karakteristik koperasi.
Bagaimana kenyataannya?
Koperasi menjadi pemain “pinggiran” dalam perekonomian Indonesia. Yang menjadi pemain utama adalah “kapitalisme” dan ini jelas melanggar konstitusi. Oleh sebab itu, menjadi tanggung-jawab kita bersama untuk mengembalikan karakter perekonomian Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD 45.
Mendorong koperasi sebagai salah satu kekuatan ekonomi Indonesia tidak berarti “meniadakan” pelaku ekonomi lainnya, yang sampai saat ini telah banyak mendorong perekonomian Indonesia kepada kondisi sekarang ini.
Hanya saja “kue” kekayaan negara lebih banyak didominasi oleh kelompok kapitalis. Kebijakan pemerintah selama ini lebih banyak menciptakan peluang bagi kelompok bermodal untuk menggarap kekayaan negara.
Sebagai contoh, hak konsesi di sektor pertambangan, kehutanan dan perkebunan banyak diberikan kepada kelompok bermodal ini. Sektor ini merupakan sektor yang merupakan sumber kekayaan alam Indonesia. Selain itu. konglomerat sebagai salah satu bentuk format kapitalisme, merambah kegiatan usahanya hampir di semua sektor strategis. Tidak heran jika konsentrasi kekayaan berada pada kelompok ini.
Koperasi yang merupakan sebuah entity bisnis merupakan badan usaha yang istimewa. Prinsip “open membership” dari koperasi memungkinkan koperasi untuk menghimpun anggota yang tidak terbatas jumlahnya. Melalui prinsip ini, terbuka kemungkinan bagi koperasi untuk membangun kekuatan sosial, yang bahkan bisa merambah kepada kekuatan politik.
Dengan kekuatan ini koperasi memiliki posisi tawar yang kuat. Posisi tawar koperasi memungkinkan baginya untuk memengaruhi kebijakan pemerintah yang memihak kepada kepentingan koperasi dan anggotanya. Kemungkinan untuk menghimpun anggota dengan jumlah yang tidak terbatas juga akan memberikan kekuatan bagi koperasi dalam menghimpun modal yang besar pula. Kontribusi anggota akan menciptakan kekuatan modal, yang bisa membangun kekuatan ekonomi.
Untuk menciptakan “usaha bersama” dalam sistem ekonomi Indonesia, kerjasama antara pelaku ekonomi, antara koperasi dan konglomerasi bisa digalaklan. Pembagian tugas antara kedua pelaku usaha ini bisa menciptakan “kebersamaan” yang saling menguntungkan. Kelebihan dan kekurangan dari masing-masing jenis pelaku usaha bisa dikompensasikan melalui kerjasama ini. Misalnya, koperasi bisa menghimpun keahlian dari berbagai bidang yang dibutuhkan oleh konglomerat, sementara konglomerat dengan keunggulan kapitalnya bisa menghasilkan kombinasi yang dahsyat. Banyak lagi kelebihan koperasi dan konglomerasi yang bisa dipadukan guna membangun kekuatan ekonomi yang saling menguntungkan.
Kerjasama antara kekuatan koperasi yang merupakan perkumpulan orang dan kekuatan modal yang dimiliki oleh konglomerat bisa menghasilkan kerjasama yang menguntungkan Indonesia secara keseluruhan. Kekuatan gerakan koperasi yang bisa merupakan kekuatan politik yang dapat menciptakan posisi tawar untuk menentukan kebijakan ekonomi yang saling menguntungkan, baik untuk rakyat maupun untuk pemilik modal. Kebijakan yang bisa menciptakan pemerataan pendapatan rakyat, kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maupun kebijakan untuk meningkatkan devisa negara merupakan beberapa kebijakan yang bisa dibentuk melalui kerjasama koperasi dan konglomerat.
Peran pemerintah untuk mendorong kerjasama ekonomi antara koperasi dan konglomerat sangatlah dibutuhkan. Pemerintah melalui instrumen peraturan dan perundang-undangan bisa membentuk “kerangka” yang kondusif bagi koperasi dan konglomerat secara bersama-sama membangun ekonomi Indonesia yang menguntungkan rakyat.
Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta —Sewaktu koperasi dicetuskan kali pertama di Eropa pada akhir abad ke sembilan belas, jelas tujuannya adalah untuk membebaskan kaum tertindas dari kemiskinan dan ketergantungan. Penggagas koperasi waktu itu seperti Robert Owen, Reiffeisen dan Schülze Delitzsch adalah di antara nama-nama besar koperasi di dunia. Mereka merupakan pioner yang berjiwa sosial yang bercita-cita untuk menciptakan masyarakat swadaya yang bebas dari ketergantungan terhadap belas kasih pihak ketiga. Seratus tahun kemudian, ide koperasi serta jenis koperasi yang mereka cetuskan sudah bertebaran di seantero dunia untuk membebaskan kaum tertindas dari ketidakadilan dan kesengsaraan ekonomi. Saat ini, di Eropa, koperasi merupakan pemain ekonomi yang sangat diperhitungkan dan menjadi tulang punggung perekonomian di banyak negara.
Di Indonesia, Muhammad Hatta melihat koperasi bisa menjadi sokoguru perekonomian Indonesia. Bahkan Undang-undang Dasar 1945 memberikan fondasi hukum terhadap sistem ekonomi Indonesia ini. Sayangnya, koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia tidak pernah tinggal landas, sebagaimana yang diharapkan oleh pencetus bangsa ini. Tekanan ekonomi kapitalis sangat kuat memengaruhi perilaku ekonomi Indonesia. Ekonomi kapitalis telah melahirkam dan menyuburkan para cukong besar, sehingga terjadi konsentrasi kekayaan negara pada sekelompok kecil masyarakat. Secara makro, pertumbuhan ekonomi sejak awal tahun tujuh puluhan hingga saat ini menunjukan angka positif, tetapi pemerataan pendapatan menjadi issue utama. Perbedaan pendapatan antara si kaya dan si miskin dari tahun ke tahun semakin lebar. Satu dekade belakangan ini merupakan puncak dari kesenjangan ini. Pembicaraan hangat di tengah masyarakat adalah “keadilan sosial” yang menjadi persoalan utama bangsa saat ini.
Sistem ekonomi kapitalis telah merantai banyak rakyat Indonesia dalam kemiskinan. Negara yang kaya akan sumber alamnya hanya sedikit menyisakan keberuntungan bagi mayoritas rakyatnya.
Kesenjangan pendapatan di antara masyarakat menjadi biasa, sehingga keadilan sosial di negeri ini menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan sampai sekarang.
Koperasi dengan prinsip-prinsipnya bisa menjadi kendaraan untuk mengantarkan masyarakat Indonesia mencapai keadilan sosial di negeri ini. Koperasi yang merupakan kumpulan orang-orang merupakan kekuatan, baik kekuatan ekonomi maupun kekuatan sosial. Pemilik dan pengguna barang dan jasa koperasi merupakan orang yang sama, yaitu anggotanya. Sebagai anggota, masyarakat juga membangun kemandiriannya.
Karena prinsip keterbukaannya, koperasi bisa menghimpun masyarakat sebagai anggota dalam jumlah yang tidak terbatas. Dengan demikian, melalui koperasi masyarakat luas memiliki peluang untuk memiliki akses kepada sumberdaya maupun kekayaan alam negara. Jika koperasi diberikan peluang untuk menggarap kekayaan negara tersebut. Sebagai wadah berkumpulnya masyarakat, kekuatan ekonomi maupun kapital bisa dibangun, sehingga dengan kebersamaan ini masalah kesejahteraan juga bisa diatasi bersama.
Dengan berkiprahnya koperasi sebagai kendaraan ekonomi dan sosial, distribusi pendapatan yang adil bisa diciptakan melalui koperasi. Penguasaan faktor produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak bisa dilakukan melalui koperasi. Keuntungan dari hasil pengolahan kekayaan negara bisa langsung dinikmati oleh masyarakat yang menjadi anggota koperasi. Dengan sendirinya distribusi hasil kekayaan negara bisa langsung disalurkan kepada masyarakat melalui koperasi. Koperasi dalam hal ini merupakan solusi masyarakat untuk keluar dari kemiskinan. Dengan segala kekuatannya, koperasi menjadi jalan menuju keadilan sosial di negeri ini.
Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com, Jakarta—Sejarah berdirinya koperasi di Eropa pada abad ke-19 merupakan satu bentuk perlawanan kaum buruh dan petani yang tertindas oleh sistem kapitalis pada masa itu. Akibat proses industrialisasi, kapital menjadi kekuatan dalam kehidupan ekonomi. Berkembangnya kekuatan kapitalis dalam perekonomian, menyisakan kemiskinan, terutama di daerah pedesaan. Di perkotaan, kaum buruh yang menjadi korban industrialisasi, merupakan kelompok yang terpinggirkan. Polarisasi antara pemilik modal dan pekerja, merupakan realitas saat itu.
Koperasi merupakan alat bagi kaum buruh dan petani di Eropa untuk mengangkat kesejahteraan mereka. Hasilnya, koperasi di beberapa negara Eropa saat ini merupakan pelaku usaha yang diperhitungkan dalam sistem kapitalisme. Koperasi di berbagai bidang dan industri yang bergerak di bidang ritel, pertanian, keuangan, manufaktur, merupakan pemain yang menentukan dalam perekonomian nasional.
Kontribusi koperasi terhadap perekonomian menjadi signifikan. Di Jerman misalnya, 60% pangsa pasar kredit di negara berpenduduk sekitar 85 juta jiwa itu dikuasai oleh koperasi. Di Norwegia, koperasi susu berkontribusi 99% dari total produksi susu.
Di Denmark, hampir semua pertokoan dan bank milik koperasi. Di Swedia, koperasi konsumennya mampu mendirikan pabrik sendiri. Di Italia, koperasi juga bergerak di bidang industri, selain di bidang pertanian, perbankan dan ritel. Koperasi yang sukses bukanlah sesuatu hal yang langka ditemukan di negara-negara Eropa saat ini.
Ada kesamaan situasi Eropa pada abad ke-19 dengan situasi Indonesia saat ini. Penguasaan Oligarki di bidang ekonomi dan politik di Indonesia saat ini bisa disamakan saat awal berkembangnya kapitalisme di Eropa. Ada dua kelompok saat itu di Eropa, kaum minoritas yang menguasai kapital dan kelompok masyarakat miskin dari golongan buruh dan petani. Begitu juga halnya di Indonesia.
Ada segelintir masyarakat oligarki yang menguasai mayoritas kekayaan negara dan selebihnya masyarakat pekerja, petani dan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Di Eropa ada ketidakpuasan terhadap kaum kapitalis pada masa itu.
Di Indonesia, ketidakpuasan disuarakan kepada kaum oligarki, yaitu segelintir orang yang mega kaya. Di Eropa, ada ketimpangan ekonomi dan sosial pada masa itu.
Di negeri ini, ketimpangan ekonomi juga terlihat jelas, yang ditunjukkan oleh angka ratio Gini sebesar 0,77 (Suissie Credit, 2022). Ketidakpuasan terhadap kelompok oligarki bukan saja ditunjukkan oleh petani dan kaum buruh, tetapi juga oleh masyarakat kelas menengah di Indonesia, baik dari golongan pekerja maupun kelompok pengusaha. Mereka mengharapkan keadilan dalam pembagian kekayaan negara.
Di Eropa, tuntutan perubahan nasib diwujudkan melalui prinsip “menentukan nasib sendiri, bertanggungjawab atas diri sendiri, mengatur diri sendiri”. Dalam dunia koperasi, pendekatan ini dikenal dengan “pendekatan arus bawah” (bottom-up approach).
Kaum buruh dan perani di Eropa saat itu menggunakan koperasi sebagai kendaraan mereka untuk bangkit dari keterpurukan sosial dan ekonomi. Koperasi waktu itu memang tumbuh dari masyarakat. Koperasi di Eropa ditujukan untuk merubah nasib rakyat. Tujuan koperasi memang benar-benar untuk kesejahteraan anggotanya. Bantuan pemerintah untuk membangun gerakan koperasi boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Gerakan koperasi di Eropa sepenuhnya gerakan swadaya masyarakat.
Berbeda dengan perkembangan koperasi di Indonesia. Pendirian dan pertumbuhan koperasi banyak melibatkan campur tangan pemerintah. Hal ini sangat nyata terlihat pada masa pemerintahan orde baru. Koperasi, terutama Koperasi Unit Desa (KUD), digunakan untuk mensukseskan program-program pemerintah. Semangat swadaya anggota saat itu sangat lemah. Koperasi lebih banyak mengurus kepentingan pemerintah, sehingga kesadaran akan manfaat koperasi sebagai kendaraan masyarakat untuk mengubah kondisi sosial dan ekonomi juga rendah.
Sekaranglah saatnya bagi masyarakat Indonesia yang berada di luar lingkaran kaum oligarki untuk bangkit menentukan nasibnya sendiri. Masyarakat perlu meninggalkan mentalitas “ketergantungan”. Meniru pengalaman di Eropa, masyarakat harus berani untuk bangkit. Kondisi yang tidak puas terhadap sistem oligarki bisa diatasi dengan menggunakan koperasi sebagai kendaraannya untuk mengangkat kesejahteraan.
Pemerintah harus memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menggunakan koperasi dalam mengambil peluang-peluang ekonomi di negara ini. Koperasi juga perlu diberikan ruang untuk masuk ke semua sektor produksi di negara ini.
Koperasi harus dibudayakan sebagai “gerakan” masyarakat untuk menentukan nasib sendiri. Dengan demikian, kecemburuan sosial terhadap kelompok oligarki akan bisa dihindari, sehingga tercipta keadilan yang sebenarnya di Tanah Air Indonesia tercinta. Belajar dari pengalaman di Eropa, bukannya tidak mungkin Koperasi di Indonesia duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan kelompok Oligarki yang saat ini menguasai negeri ini.
Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah cabang produksi yang diperlukan oleh “semua” rakyat Indonesia. Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak di antaranya adalah air, energi, sumber daya alam dan pangan.
Menurut amanat pasal 33 ayat 2 UUD 1945, “Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dalam implementasinya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditugaskan untuk mengelola cabang produksi yang menguasasi hajat hidup orang banyak tersebut.
Melalui BUMN, negara menjalankan amanat UUD 1945. Contoh BUMN yang ditugaskan untuk menjalankan amanat ini di antaranya adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN), Pertamina, Aneka Tambang dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Namun, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 mengenai BUMN, status BUMN berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Salah satu perubahan yang signifikan yang ditetapkan dalam undang-undang ini adalah perubahan terhadap tujuan yang dimandatkan kepada BUMN.
Perubahan status ini memberikan peluang kepada pihak swasta untuk menanamkan modalnya di BUMN. Dengan demikian BUMN sekarang menjadi entitas usaha yang tugasnya mencari keuntungan atau Profit. Keuntungan BUMN digunakan sebagai sumber untuk menambah pemasukan negara. Perubahan ini tentu akan berdampak pula kepada misi BUMN yang semula, yaitu untuk memenuhi “hajat hidup orang banyak”. Sekarang BUMN diamanatkan untuk mencari keuntungan. Apakah mandat untuk mencari keuntungan bisa sejalan dengan misi untuk memenuhi “hajat hidup orang banyak”?
Pemahaman kita mengenai “hajat hidup orang banyak” yang disebutkan dalam pasal 33 UUD 1945 itu adalah hajat hidup “seluruh” rakyat Indonesia. Artinya, jelas misi negara adalah untuk “melayani” seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk mencari “keuntungan” “dari” seluruh rakyat Indonesia. Jika BUMN yang ditugaskan untuk memenuhi hajat hidup “seluruh” rakyat Indonesia ditugaskan untuk mencari “keuntungan”, apa dampaknya terhadap fungsi pelayanan BUMN?
Untuk melayani hajat hidup orang banyak, BUMN menerapkan tarif yang dibayar oleh masyarakat guna mendapatkan pelayanan tersebut. Karena misinya adalah “melayani”, maka tarif yang dibayar oleh masyarakat adalah tarif yang memang “terjangkau” oleh masyarakat. Alasannya, supaya BUMN dapat melayani sebanyak mungkin masyarakat. Seperti yang kita ketahui, pemerintah memberikan subsidi untuk menekan tarif. Dengan tarif rendah masyarakat akan mudah dilayani, termasuk masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Jika BUMN dibebankan untuk mengejar profit, maka tarif yang harus dibayar masyarakat untuk mendapatkan pelayanan akan lebih tinggi, karena ada komponen profit yang ditambahkan ke dalam struktur tarif tersebut. Salah satu mandat penting BUMN sekarang adalah menjadi sumber pendapatan negara, maka tidak masuk akal bila pemerintah mensubsidi tarif, karena subsidi itu akan mengikis kembali pendapatan negara.
Sebagai akibatnya, tarif yang merupakan imbalan pelayanan BUMN akan menjadi lebih tinggi, sehingga hanya kelompok masyarakat yang mampu yang bisa menikmati pelayanan BUMN. Hal ini menunjukkan bahwa BUMN yang tadinya merupakan “alat” pemerintah untuk mengemban tugas yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD 1945 sudah tidak pada tempatnya lagi. Dalam hal ini barang dan jasa yang diproduksi oleh BUMN akan dibatasi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak.
Bagaimana sebaiknya supaya cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak ini bisa bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia? Jawabannya ada pada KOPERASI. Mengapa Koperasi? Karena hanya badan usaha koperasi satu-satunya badan usaha, di mana pemilik dan pengguna barang dan jasa koperasi merupakan orang yang sama, yaitu anggotanya.
Konsep ini dikenal dengan istilah “identitas ganda” koperasi. Artinya, koperasi yang menguasai cabang produksi yang bermanfaat untuk orang banyak, maka “orang banyak” yang menjadi anggota koperasi itu adalah juga pemilik cabang produksi tersebut. Jika pemilik koperasi sekaligus pengguna barang dan jasa yang dihasilkan oleh koperasi (layaknya BUMN tadi), maka tidak mungkin komponen “profit” akan ditambahkan kedalam struktur “tarif” barang dan jasa koperasi. Karena tidak mungkin pemilik usaha akan membebankan keuntungan kepada dirinya sendiri. Sehingga koperasi akan beroperasi “at cost” dalam mengelola cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut. Dengan demikian, tarif yang akan ditetapkan untuk anggota akan menjadi lebih rendah.
Selain itu, koperasi juga mempunyai prinsip “open membership” yang artinya keanggotaan koperasi bisa bertambah terus jumlahnya. Dengan penambahan jumlah, maka akan terbentuk “economic of scale”, yang akan meningkatkan efisiensi koperasi. Dengan alasan efisiensi ini, koperasi akan terus mengembangkan jumlah anggotanya. Peningkatan efisiensi akan menguntungkan anggota, karena barang dan jasa yang diproduksi koperasi akan bisa dibayar oleh anggota dengan tarif (atau harga) yang lebih rendah.
Koperasi juga menjalankan prinsip transparansi. Dengan adanya transparansi, penyelewengan bisa ditekan sejauh mungkin. Rapat Anggota Tahunan (RAT) merupakan kekuasaan tertinggi pada koperasi. Tidak mungkin operasi maupun transaksi dalam koperasi tidak dilakukan dan dibuka secara transparan. Karena transparansi koperasi merupakan instrumen bagi RAT untuk mengambil keputusan yang berpihak kepada kepentingan anggota.
Dengan menyatunya anggota sebagai “pemilik” cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak sekaligus sebagai “pengguna” barang dan jasa sebagai hasil olahan cabang produksi tersebut, maka akan bisa dipastikan bagi masyarakat untuk mempunyai akses kepada hasil produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut.
Kekuatan RAT sebagai kekuasaan tertinggi dalam koperasi akan mengarahkan kualitas dan kuantitas produksi yang mewakili kepentingan orang banyak tersebut. Skala ekonomi yang dapat diciptakan oleh koperasi akan menurunkan tarif atau harga yang harus dibayar untuk mendapatkan hasil produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Itu sebabnya koperasi merupakan bangun usaha yang sesuai untuk mendapatkan mandat dalam mengelola cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Beritaneka.com, Jakarta—Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan, terdapat Rp500 triliun uang dari 12 koperasi yang diduga berkaitan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana mengatakan, hampir Rp240 triliun dana tersebut berasal dari transaksi yang dilakukan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya.
“12 koperasi itu total lebih dari Rp500 triliun, terkait dengan dugaan penyimpangan,” kata Ivan usai RDP Bersama Komisi III DPR RI, Selasa (14/2/2023). “Kita melakukan kajian terkait 12 koperasi, nah 12 koperasi itu nilai transaksinya yang kita lihat adalah lebih dari Rp500 triliun, jadi artinya kita melihat bahwa potensi dana yang dihimpun oleh koperasi yang melakukan tindak pidana pencucian uang itu,” katanya.
Sementara soal KSP Indosurya, Ivan mengatakan uang-uang tersebut dihimpun dari ratusan ribu nasabah. Bahkan temuan PPATK saja ada 40 ribu nasabah hanya dari satu bank, sedangkan analisa PPATK masih ada belasan bank lainnya. “Kalau ditanya apakah ada aliran ke luar negeri, ya PPATK mengikuti ke luar negeri,” katanya.
Baca Juga:
Lebih lanjut dalam RDP, Ivan menjelaskan bahwa KSP Indosurya memang mempunyai skema ponzi atau modus investasi palsu membayarkan keuntungan kepada nasabah dari uang mereka sendiri. “Memang alirannya sederhana, skemanya secara keseluruhan ini skema ponzi. Secara keseluruhan ini saya sudah sampaikan juga kepada Menkop Pak Teten, koperasi indosurya ini memang skemanya ponzi, dia hanya menunggu masuknya modal baru,” kata Ivan.
Dana nasabah sendiri, ungkap Ivan, banyak yang digunakan atau ditransaksikan ke perusahaan yang terafiliasi dengan koperasi simpan pinjam. Bahkan ada yang digunakan untuk hal-hal yang konsumtif oleh para petinggi KSP. “Banyak dana nasabah itu dipakai, ditransaksikan ke perusahaan terafiliasi, contoh dibelikan jet, dibayarkan yacht, untuk kecantikan, operasi plastik, macam-macam. Artinya tidak murni dilakukan bisnis selayaknya koperasi,” katanya.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Ketergantungan masyarakat kepada pihak ketiga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dapat berujung pada “eksploitasi”. Makna ketergantungan di sini adalah, masyarakat tidak bisa “bebas” menentukan pilihannya untuk memenuhi kebutuhannya. Keterbatasan kebebasan akan mudah menciptakan eksploitasi. Kebutuhan akhirnya tidak bisa selalu dipenuhi sesuai dengan keinginan semula. Pihak yang dieksploitasi berada pada posisi yang lemah, sedangkan pihak ketiga tersebut berada pada posisi yang menentukan. Dengan demikian kepentingan pihak ketiga akan selalu menjadi prioritas dalam hubungan yang eksploitatif.
Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat oleh pihak ketiga bisa dilakukan melalui sektor swasta atau pemerintah. Pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui pemerintah seyogyanya berpihak kepada kepentingan orang banyak, sehingga kemungkinan besar tidak mengarah kepada eksploitasi. Bagaimana jika pemenuhan kebutuhan itu dilakukan oleh pihak swasta? Ini yang ingin kita tinjau lebih jauh. Bagaimana dampaknya terhadap keadilan sosial?
Pemenuhan kebutuhan oleh pihak swasta lazimnya melalui transaksi jual beli dengan tujuan untuk mendapatkan “profit” atau keuntungan bagi pengusaha tersebut. Komponen “profit” dalam struktur harga akan menyebabkan harga jual berada di atas biaya produksi barang dan jasa yang diperjualbelikan. Produsen barang dan jasa akan selalu berusaha untuk memaksimalkan komponen “profit” ini.
Masyarakat sebagai konsumen tidak mempunyai kendali untuk menetukan harga barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhannya. Akhirnya harga akan ditentukan sepihak yang belum tentu sesuai dengan daya beli masyarakat. Sebagai akibatnya tidak semua masyarakat akan terpenuhi kebutuhannya, sehingga terjadi seleksi atau “diskriminasi” terhadap masyarakat yang harus dilayani.
Ada kalanya keuntungan perusahaan terbatas besarannya sebagai akibat dari persaingan ketat antar produsen. Sebagai jalan keluar, produsen bersekongkol untuk menetapkan harga, yang mana hal ini juga berada di luar kendali konsumen. Dengan demikian akan terjadi kembali pembatasan terhadap masyarakat yang bisa dilayani kebutuhannya. Di sini keadilan sosial bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemenuhan kebutuhannya akan terkorbankan.
Selain “harga” yang bisa menjadi faktor pembatas dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, “kualitas” barang dan jasa juga berada di luar kendali konsumen. Tinggi rendahnya kualitas barang dan jasa bisa tidak merefleksikan harga barang dan jasa yang dibayar oleh konsumen. Kualitas barang dan jasa bisa dikorbankan guna menekan biaya produksi, sehingga komponen “profit” bisa diperbesar. Rendahnya kualitas barang dan jasa akan berdampak pula kepada “kualitas” pemenuhan kebutuhan konsumen. Kebutuhan masyarakat belum tentu bisa sepenuhnya terpenuhi, karena kualitas barang dan jasa untuk itu tidak memadai. Di sini masyarakat juga tidak mendapatkan keadilan, karena kebutuhannya tidak terlayani sesuai dengan kualitas yang sepatutnya dia dapatkan.
Posisi tawar masyarakat sebagai konsumen menjadi lemah. Harga barang dan jasa berperan untuk “membatasi” jumlah masyarakat yang bisa dilayani. Tingkat kualitas barang dan jasa juga berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kebutuhan.
Supaya masyarakat dapat dilayani kebutuhannya, melalui harga dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhannya, maka masyarakat perlu secara “swadaya” memenuhi kebutuhannya tersebut. Swadaya berarti, penentuan harga serta kualitas barang dan jasa sepenuhnya dalam kendali konsumen.
Untuk bisa memperoleh kendali penuh, konsumen atau masyarakat harus bertindak sebagai “produsen” sekaligus juga sebagai “konsumen”. Posisi sebagai produsen sekaligus konsumen ini hanya bisa tercipta melalui KOPERASI. Dalam hal ini koperasi dikenal dengan “identitas ganda”nya itu, yaitu produsen dan konsumen berada dalam satu entitas koperasi.
Di sini konsumen akan secara “swadaya” dapat memenuhi kebutuhannya, tanpa bergantung kepada pihak ketiga. Keswadayaan ini mencerminkan keadilan sosial, karena harga dan kualitas barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya bisa disesuaikan dengan kemampuan masyarakat, sehingga semua bisa mempunyai akses kepada barang dan jasa secara proporsional.
Bagaimana bisa diwujudkan keadilan sosial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui koperasi? Minimal harus ada dua syarat yang harus dipenuhi: masyarakat MAU menggunakan koperasi guna memenuhi kebutuhan hidupnya, dan koperasi MAMPU melakukannya.
Supaya masyarakat MAU menggunakan koperasi, maka masyarakat harus TAHU apa manfaat koperasi dalam kehidupan mereka. Untuk tahu, diperlukan edukasi. Edukasi kepada masyarakat dilakukan melalui jalur formal maupun jalur informal. Untuk jalur formal, perlu dimulai dari usia sekolah dini, sedangkan untuk jalur informal dilakukan secara “terus-menerus” oleh gerakan koperasi maupun oleh unsur yang berperan di dalam masyarakat itu sendiri.
Untuk membangun KEMAMPUAN koperasi dalam memainkan fungsinya, maka pengelolaan koperasi perlu dibangun secara “profesional”. Profesionalisme dalam mengelola koperasi tidak beda dengan pengelolaan jenis usaha lainnya. Artinya, diperlukan sumber daya yang dibutuhkan koperasi guna memproduksi barang dan jasa secara profesional.
Dengan digunakannya koperasi sebagai kendaraan, maka “diskriminasi” terhadap masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya bisa dihindari, sehingga pemenuhan kebutuhan masyarakat bisa dilakukan sesuai porsinya. Dengan demikian akan tercipta keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com —Pengelolaan kekayaan sumber daya alam oleh negara sebaiknya melibatkan masyarakat banyak atau rakyat. Sebab, pengelolaan tersebut menguntungkan negara dan rakyat. Pengelolaan oleh negara jelas dilakukan melalui pelibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bagaimana pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan melalui keterlibatan masyarakat banyak? Bagaimana caranya?
Pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan orang banyak adalah memberikan hak konsesi pengelolaan kepada orang banyak, bukan hanya kepada beberapa individu seperti yang terjadi saat ini.
Pemberian hak kepada individu, terutama kepada orang-orang yang dekat dengan penguasa, cenderung menghasilkan “kebocoran”. Hanya sebagian orang atau oligarki, lingkaran dekat dengan penguasa yang dapat menikmati keuntungan. Pengelolaan yang melibatkan orang banyak seyogyanya akan menguntungkan banyak orang pula.
Baca tulisan Dr. Rino sebelumnya:
Pemberian hak konsesi kepada orang banyak sangat tepat jika melibatkan KOPERASI. Koperasi merupakan “alat” yang bisa menghimpun banyak orang. Pemberian konsesi kepada individu bisa mensyaratkan jika mereka bergabung dalam koperasi.
Koperasi merupakan “agregasi” anggota perorangan yang jumlahnya bisa tidak terbatas. Makin besar keanggotaan koperasi, maka makin besar pula jumlah orang yang diuntungkan oleh pengelolaan sumber daya alam melalui koperasi itu.
Koperasi juga menjamin transparansi, karena individu yang memiliki konsesi yang merupakan anggota koperasi sekaligus pemilik koperasi, akan melakukan kontrol terhadap operasi pengelolaan oleh koperasi.
Pengelolaan oleh koperasi akan menciptakan efisiensi, karena individu bisa secara bersama-sama “menyerahkan” upaya orang per orang kepada koperasi. Selanjutnya, koperasi bisa menghimpun modal pengelolaan dari individu menjadi modal bersama. Dengan demikian agregasi modal bisa diciptakan.
Pemerintah juga akan lebih mudah melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan hak konsesi yang diberikan, sehingga penyelewengan dan kebocoran devisa negara bisa lebih baik dipantau. Melalui koperasi, investasi peralatan untuk pengelohan sumber daya bisa ditekan, karena peralatan digunakan bersama oleh pemilik konsesi. Melalui koperasi, juga lebih mudah pula dihimpun keahlian yang dibutuhkan untuk mengelola sumber daya.
Melalui koperasi, pemberian hak konsesi pengelolaan sumber daya alam bisa disebar kepada masyarakat. Dengan berkembangnya keanggotaan koperasi, maka akan lebih banyak pula keuntungan hasil sumber daya alam yang dinikmati oleh banyak orang. Kebocoran devisa negara akan kebih mudah dicegah. Kekayaan alam Indonesia akan lebih banyak diakses oleh masyrakat luas, sehingga kesejahteraan yang lebih merata bisa diciptakan.
Oleh: Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—“Scarcity” atau “kelangkaan” adalah puncak dari perebutan umat manusia terdahap sumber daya dunia guna memenuhi hasrat hidupnya. Kelangkaan terjadi bila hasrat duniawi melebihi sumber daya yang tersedia untuk memenuhinya, paling tidak ini yang dikatakan oleh para ekonom itu.
Dua kubu “extreme” saling bertanding menawarkan solusi untuk mengatasi kelangkaan tadi, sehingga hasrat kebutuhan hidup, baik primer maupun sekunder, bisa terpenuhi dengan baik. “Komunisme” dan “kapitalisme”, merupakan dua kubu yang cukup lama saling berseteru, yang akhirnya dimenangkan oleh kapitalisme dengan sistem ekonomi pasar sebagai cara untuk memenuhi birahi materialisme masyarakat dunia. Bisakah ekonomi pasar menciptakan keadilan sosial?
Mekanisme ekonomi pasar merupakan proses untuk mencapai “keseimbangan” antara penawaran dan permintaan atas barang dan jasa yang kita perlukan. Pada titik “keseimbangan” itu harga barang dan jasa ditentukan.
Dalam mekanisme pasar, persaingan juga merupakan sesuatu yang lumrah. Persaingan menciptakan effisiensi dalam penggunaan sumber daya tadi. Dalam ekonomi pasar, ada istilah-istilah baku yang digunakan.
“Produsen” adalah pihak yang menyediakan barang dan jasa, “konsumen” adalah pihak yang mengonsumsi barang dan jasa. “Persaingan” antara produsen merupakan hal yang biasa dalam praktik ekonomi pasar. Akibat persaingan ini, yang kuat akan menang, yang lemah ada kalanya tersisihkan.
Dalam persaingan ekonomi pasar, yang kuat yang akan bertahan, sehingga menjadi kuat dan bertahan untuk tetap kuat adalah tujuan bagi setiap pelaku pasar. Ada kalanya pelaku pasar bersekongkol dengan kekuasaan untuk bertahan dalam persaingan. Tidak jarang eksploitasi merupakan jalan untuk bertahan.
Korban eksploitasi bisa pengusaha lain (yang lemah), pekerja atau konsumen. Bentuk eksploitasi bisa bermacam-macam. Pengusaha yang lemah akan didikte oleh pengusaha bermodal kuat, atau tersingkir dari persaingan.
Eksploitasi terhadap konsumen juga terjadi apabila konsumen membeli barang dengan harga di luar kewajaran. Konsumen tidak memiliki pilihan selain tunduk kepada ketentuan harga yg ditetapkan oleh produsen. Eksploitasi terhadap pekerja juga sering terjadi, yaitu apabila mereka diberi upah secara tidak wajar. Umumnya terjadi pada buruh di luar lingkaran manajemen suatu perusahaan.
Dalam sistem ekonomi pasar, yang lemah jarang menikmati keadilan sosial. Dalam posisi ini mereka kehilangan kesempatan yang proprosional untuk menghasilkan “income” yang layak. Perbedaan kesenjangan pendapatan yang mecolok, lemahnya distribusi pendapatan yang merata dan merajalelanya kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi di negara yang menerapkan sistem
ekonomi pasar.
Tetapi apapun akses negatif sistem ekonomi pasar, sistem ini tetap merupakan yang terbaik untuk menghasilkan efisiensi penggunaan sumber daya alam. Yang diperlukan hanyalah seperangkat kebijakan dan tindakan yang akan mengurangi akses negatif sistem ekonomi pasar, sehingga keadilan sosial bisa tercapai.
Untuk mengatasi akses negatif sistem ekonomi pasar, seperangkat sistem sosial dan etika perlu diperkenalkan kepada dunia bisnis. Di negara Jerman misalnya, pemerintahnya memperkenalkan sistem sosial dan etika dalam sistem ekonomi pasarnya, sehingga kesenjangan pendapatan dan perbedaan antara kaya dan miskin bisa ditekan.
Porsi masyarakat kelas menengah menjadi besar. Intervensi pemerintah untuk menolong orang miskin dan yang tidak mampu menjadi kebijakan yang pasti dalam pemerintahannya. Distribusi pendapatan yang merata sangat jelas terlihat dimasysrakatnya.
Kebebasan berserikat dijamin oleh undang-undang, sehingga kelompok masyarakat yang lemah bisa diperkuat posisi tawarnya. Bahkan penentuan upah buruh adalah berdasarkan negosiasi antara serikat pekerja dan pemberi kerja. Lembaga konsumen Jerman merupakan lembaga yang sangat kuat yang dijamin keberadaannya oleh undang-undang. Melalui lembaga konsumen, produsen tidak berani memproduksi produk yang tidak berkualitas yang bisa merusak kesehatan maupun lingkungan.
Secara alami, memang sistem ekonomi pasar akan menghasilkan kelompok yang kuat dan selebihnya akan menyisakan masyrakat yang lemah dari sisi modal dan posisi tawar. Untuk Indonesia, penguasaan oligarki terhadap kehidupan ekonomi dan sosial, bahkan juga politik, merupakan bukti nyata produk sistem ekonomi pasar murni.
Kebijakan pemerintah yang bermuatan etika dan moral perlu diperkenalkan dalam sistem perekonomian Indonesia, sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa diwujudkan, sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, membangun kekuatan serta posisi tawar kelompok yang lemah perlu digalakkan. Posisi tawar konsumen bisa diwujudkan melalui lembaga konsumen yang kuat. Koperasi merupakan pilihan bagi masyarakat dan UMKM untuk membangun posisi tawar di pasar. Subsidi pemerintah merupakan instrumen yang penting untuk mengangkat masyarakat yang “tersisihkan” sehingga bisa menikmati keadilan sosial. Serikat buruh juga merupakan alat untuk membangun posisi tawar para pekerja.
Jika kita melihat kembali kepada pengalaman di Jerman, prinsip rezim yang berkuasa di sana adalah menelorkan kebijakan maupun peraturan untuk menciptakan kesejahteraan mayoritas rakyatnya. Ini mungkin prinsip yang bisa kita tiru dan terapkan untuk menciptakan keadilan sosial, terutama keadilan sosial dalam sistem ekonomi pasar.