Oleh Dr. Rino A. Sa’danoer
Beritaneka.com—Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah cabang produksi yang diperlukan oleh “semua” rakyat Indonesia. Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak di antaranya adalah air, energi, sumber daya alam dan pangan.
Menurut amanat pasal 33 ayat 2 UUD 1945, “Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dalam implementasinya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditugaskan untuk mengelola cabang produksi yang menguasasi hajat hidup orang banyak tersebut.
Melalui BUMN, negara menjalankan amanat UUD 1945. Contoh BUMN yang ditugaskan untuk menjalankan amanat ini di antaranya adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN), Pertamina, Aneka Tambang dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Namun, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 mengenai BUMN, status BUMN berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Salah satu perubahan yang signifikan yang ditetapkan dalam undang-undang ini adalah perubahan terhadap tujuan yang dimandatkan kepada BUMN.
Perubahan status ini memberikan peluang kepada pihak swasta untuk menanamkan modalnya di BUMN. Dengan demikian BUMN sekarang menjadi entitas usaha yang tugasnya mencari keuntungan atau Profit. Keuntungan BUMN digunakan sebagai sumber untuk menambah pemasukan negara. Perubahan ini tentu akan berdampak pula kepada misi BUMN yang semula, yaitu untuk memenuhi “hajat hidup orang banyak”. Sekarang BUMN diamanatkan untuk mencari keuntungan. Apakah mandat untuk mencari keuntungan bisa sejalan dengan misi untuk memenuhi “hajat hidup orang banyak”?
Pemahaman kita mengenai “hajat hidup orang banyak” yang disebutkan dalam pasal 33 UUD 1945 itu adalah hajat hidup “seluruh” rakyat Indonesia. Artinya, jelas misi negara adalah untuk “melayani” seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk mencari “keuntungan” “dari” seluruh rakyat Indonesia. Jika BUMN yang ditugaskan untuk memenuhi hajat hidup “seluruh” rakyat Indonesia ditugaskan untuk mencari “keuntungan”, apa dampaknya terhadap fungsi pelayanan BUMN?
Untuk melayani hajat hidup orang banyak, BUMN menerapkan tarif yang dibayar oleh masyarakat guna mendapatkan pelayanan tersebut. Karena misinya adalah “melayani”, maka tarif yang dibayar oleh masyarakat adalah tarif yang memang “terjangkau” oleh masyarakat. Alasannya, supaya BUMN dapat melayani sebanyak mungkin masyarakat. Seperti yang kita ketahui, pemerintah memberikan subsidi untuk menekan tarif. Dengan tarif rendah masyarakat akan mudah dilayani, termasuk masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Jika BUMN dibebankan untuk mengejar profit, maka tarif yang harus dibayar masyarakat untuk mendapatkan pelayanan akan lebih tinggi, karena ada komponen profit yang ditambahkan ke dalam struktur tarif tersebut. Salah satu mandat penting BUMN sekarang adalah menjadi sumber pendapatan negara, maka tidak masuk akal bila pemerintah mensubsidi tarif, karena subsidi itu akan mengikis kembali pendapatan negara.
Sebagai akibatnya, tarif yang merupakan imbalan pelayanan BUMN akan menjadi lebih tinggi, sehingga hanya kelompok masyarakat yang mampu yang bisa menikmati pelayanan BUMN. Hal ini menunjukkan bahwa BUMN yang tadinya merupakan “alat” pemerintah untuk mengemban tugas yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD 1945 sudah tidak pada tempatnya lagi. Dalam hal ini barang dan jasa yang diproduksi oleh BUMN akan dibatasi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak.
Bagaimana sebaiknya supaya cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak ini bisa bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia? Jawabannya ada pada KOPERASI. Mengapa Koperasi? Karena hanya badan usaha koperasi satu-satunya badan usaha, di mana pemilik dan pengguna barang dan jasa koperasi merupakan orang yang sama, yaitu anggotanya.
Konsep ini dikenal dengan istilah “identitas ganda” koperasi. Artinya, koperasi yang menguasai cabang produksi yang bermanfaat untuk orang banyak, maka “orang banyak” yang menjadi anggota koperasi itu adalah juga pemilik cabang produksi tersebut. Jika pemilik koperasi sekaligus pengguna barang dan jasa yang dihasilkan oleh koperasi (layaknya BUMN tadi), maka tidak mungkin komponen “profit” akan ditambahkan kedalam struktur “tarif” barang dan jasa koperasi. Karena tidak mungkin pemilik usaha akan membebankan keuntungan kepada dirinya sendiri. Sehingga koperasi akan beroperasi “at cost” dalam mengelola cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut. Dengan demikian, tarif yang akan ditetapkan untuk anggota akan menjadi lebih rendah.
Selain itu, koperasi juga mempunyai prinsip “open membership” yang artinya keanggotaan koperasi bisa bertambah terus jumlahnya. Dengan penambahan jumlah, maka akan terbentuk “economic of scale”, yang akan meningkatkan efisiensi koperasi. Dengan alasan efisiensi ini, koperasi akan terus mengembangkan jumlah anggotanya. Peningkatan efisiensi akan menguntungkan anggota, karena barang dan jasa yang diproduksi koperasi akan bisa dibayar oleh anggota dengan tarif (atau harga) yang lebih rendah.
Koperasi juga menjalankan prinsip transparansi. Dengan adanya transparansi, penyelewengan bisa ditekan sejauh mungkin. Rapat Anggota Tahunan (RAT) merupakan kekuasaan tertinggi pada koperasi. Tidak mungkin operasi maupun transaksi dalam koperasi tidak dilakukan dan dibuka secara transparan. Karena transparansi koperasi merupakan instrumen bagi RAT untuk mengambil keputusan yang berpihak kepada kepentingan anggota.
Dengan menyatunya anggota sebagai “pemilik” cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak sekaligus sebagai “pengguna” barang dan jasa sebagai hasil olahan cabang produksi tersebut, maka akan bisa dipastikan bagi masyarakat untuk mempunyai akses kepada hasil produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut.
Kekuatan RAT sebagai kekuasaan tertinggi dalam koperasi akan mengarahkan kualitas dan kuantitas produksi yang mewakili kepentingan orang banyak tersebut. Skala ekonomi yang dapat diciptakan oleh koperasi akan menurunkan tarif atau harga yang harus dibayar untuk mendapatkan hasil produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Itu sebabnya koperasi merupakan bangun usaha yang sesuai untuk mendapatkan mandat dalam mengelola cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.