Beritaneka.com—Kementerian Agama mengemban amanat konstitusi dalam mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan bangsa. Akan tetapi, politisi PKS di DPR mengaku heran karena sejauh ini tidak mendapati fakta bahwa sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama memperoleh anggaran yang berkeadilan dari negara.
“Saya minta Menteri Agama, khususnya dirjen pendidikan Islam, supaya melakukan lobi yang kuat terhadap Kementerian Keuangan supaya memperoleh anggaran yang adil dan memihak. Sebab saya prihatin melihat pendidikan agama dari tingkat PAUD hingga Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) yang nyaris tidak mendapat sentuhan pemerintah,” ungkap anggota Komisi VIII DPR RI F-PKS Bukhori Yusuf, saat Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama di Gedung DPR Senayan, Rabu (2/6/2021).
Baca juga: Pegawai KPK Disingkirkan, Presiden PKS: Kesadaran Nurani Publik Tersakiti
Ketua DPP PKS ini menuturkan, dari total jumlah madrasah di Indonesia, 93 persennya didominasi oleh madrasah berstatus swasta sementara sisanya berstatus negeri. Artinya, mayoritas masyarakat memiliki hak atas pendidikan yang harus dipenuhi di sana. Sehingga pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, wajib memunculkan perhatian pada wilayah itu dengan menghadirkan keadilan anggaran bagi siapapun yang berhak mengenyam pendidikan, bahkan di madrasah swasta sekalipun.
“Saatnya Menteri Agama menunjukan keberpihakan yang riil bagi masyarakat dengan menuntut keadilan anggaran dalam pendidikan. Orientasinya adalah mewujudkan anggaran pendidikan, yang sebesar 20% dari APBN tersebut, dimana alokasinya bisa benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Dengan demikian, pagu anggaran Kemenag untuk memperoleh ruang yang lebih besar menjadi sangat mungkin untuk kami setujui” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Badan Legislasi ini juga menyoroti fungsi keagamaan Kementerian Agama. Bukhori meminta Kantor Urusan Agama (KUA) tidak hanya direvitalisasi secara infrastruktur, tetapi juga secara suprastruktur melalui penguatan sumberdaya manusia.
Baca juga: Presiden PKS: Pemerintah Indonesia harus Bawa Kejahatan Kemanusiaan Zionis-Israel ke Dewan HAM PBB
KUA, demikian Bukhori, harus menjadi ikon tempat berjumpanya dialog dari pelbagai kelompok masyarakat yang beragam. KUA harus diberdayakan dalam definisi yang lebih luas, salah satunya yakni sebagai medium untuk selesaikan masalah sosial dengan cara yang rukun dan bermartabat.
“Jangan sampai kita selesaikan problem kesalahpahaman di masyarakat justru dengan cara berbahaya. Misalnya, melalui tes kebangsaan. Model ini berbahaya karena bisa membelah masyarakat,” tukasnya.
Bukhori menambahkan, Kementerian Agama juga perlu menyasar Kantor Wilayah Kementerian Agama di daerah untuk direvitalisasi demi memelihara marwah lembaga sekaligus memberikan pesan yang kuat bahwa Indonesia bukan negara sekuler.
Beritaneka.com—Partai Keadilan sejahterah (PKS) memberikan catatan atas 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan 51 diantaranya dipecat sebagai pejuang anti korupsi.
PKS menyesalkan, atas nama wawasan kebangsaan, para pejuang anti korupsi ramai-ramai disingkirkan. Hal ini secara kasat mata ditampakkan di hadapan seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga: Presiden PKS: Pemerintah Indonesia harus Bawa Kejahatan Kemanusiaan Zionis-Israel ke Dewan HAM PBB
Fakta 51 pegawai KPK disingkirkan dengan TWK yang bermasalah secara subtansi membuat rasa keadilan terhadap rakyat semakin terkoyak. Sebab hampir semua pegawai KPK yang dipecat adalah mereka yang tengah mengusut kasus korupsi besar yang jelas merugikan rakyat sebagai pemberi mandat.
“Kesadaran nurani publik tersakiti karena ketika agenda pemberantasan korupsi dilemahkan, di saat yang sama dana bantuan sosial yang seharusnya diperuntukkan untuk rakyat yang terdampak pandemi justru dikorupsi habis-habisan oleh para pejabat negara yang korup,” ungkap Presiden PKS Ahmad Syaikhu.
Tindakan dipecatnya 51 penyidik KPK ini membuat publik akhirnya bertanya. Mereka yang terlibat aktif mengusut kasus korupsi yang jelas merugikan bangsa dianggap tidak nasionalis dan cinta NKRI.
Baca juga: Pilpres 2024 Memiliki Tiga Rasa, PKS Siapkan Tiga Strategi
“Publik pun menjadi bertanya-tanya: apakah integritas dan sikap anti-korupsi bukan sikap yang Pancasilais dan cinta NKRI?” tanya Syaikhu.
Mantan Wakil Walikota Bekasi berpesan, jangan sampai hanya karena segelintir oknum yang ingin melemahkan pemberantasan korupsi, institusi KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi lemah. Jika itu terjadi maka rakyatlah yang dirugikan.(ZS)
Beritaneka.com—Fraksi PKS DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan mengingatkan terkait rencana Pemerintah menaikkan tarif PPN akan memperlebar jurang kesenjangan ekonomi. Padahal UUD 1945 mengamanatkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum, tetapi nyatanya ketimpangan masih nyata terjadi. Sebagian kecil orang menguasai lebih dari 50 persen aset nasional. Hal ini diperparah dengan semakin tingginya ketimpangan fiskal. Subsidi dan bantuan sosial terus dipangkas, insentif perpajakan untuk orang kaya diperbesar.
“Saat Pemerintah mewacanakan akan meningkatkan tarif PPN menjadi 15 persen, yang jelas hal tersebut akan mengurangi daya beli masyarakat luas, PPNBM malah dipotong. PPNBM notabane nya adalah pajak untuk orang berpendapatan tinggi. Dari sana kita dapat menyaksikan secara gamblang terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan dalam kebijakan fiskal”, ujar Wakil Ketua Fraksi PKS, Ecky Awal Mucharam.
Baca juga: Presiden PKS: Pemerintah Indonesia harus Bawa Kejahatan Kemanusiaan Zionis-Israel ke Dewan HAM PBB
Menurut Awal, berdasarkan dokumen KEM-PPKF 2022, ditulis secara jelas bahwa strategi Pemerintah adalah perluasan basis perpajakan (ekstensifikasi). Sehingga perlu ada kejelasan dan konsistensi kebijakan dari Pemerintah. Kenaikkan tarif PPN akan kontraporduktif dengan rencana pemulihan ekonomi nasional. Sumber PPN terbesar berasal PPN dalam negeri, berupa konsumsi masyarakat, dan PPN impor, yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri.
“Artinya, kenaikkan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi industri,” imbuhnya.
Harus diakui menurutnya bahwa pendapatan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masih jauh di bawah potensi yang ada. Rasio PPN terhadap PDB hanya mencapai 3,6%, sangat rendah dari standar negara-negara secara umum yang mencapai 6% hingga 9%. Sehingga, potensi penerimaan PPN dipekirakan masih mencapai 32% dari potensi yang ada. Tetapi, dibandingkan meningkatkan tarif yang akan berdampak kepada masyarakat secara umum, seharusnya Pemerintah fokus memperluas basis perpajakan PPN.
Anggota Komisi XI DPR RI ini juga mendorong Pemerintah untuk menyusun target pendapatan, terutama penerimaan perpajakan yang realistis. Terjadinya shortfall perpajakan pada dasarnya perlu diantisipasi sejak awal, terlebih masih lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat dampak pandemi, deindustrialisasi dini dan ketidakpastian perekonomian global.
Baca juga: Pilpres 2024 Memiliki Tiga Rasa, PKS Siapkan Tiga Strategi
Awal menilai bahwa target pendapatan negara masih terlalu ambisius. Apabila dibandingkan dengan target 2021, maka target penerimaan perpajakan pada KEM-PPKF mengalami pertumbuhan sebesar sampai 5,2 persen. Target pendapatan negara juga, dengan skenario optimis juga akan tumbuh 8,6 persen dibandingkan target 2021.
Pemerintah harus mengatur target pendapatan ini secara lebih realistis. Sebagai perbandingan, pada tahun 2019, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen saja, penerimaan perpajakan hanya tumbuh sebesar 3,3 persen. Lebih lanjut, dengan masih lambatnya progress vaksinasi, baik di Indonesia, dan potensi gelombang Covid ke-3 di sejumlah negara, maka diperkirakan permintaan global masih lemah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja pendapatan.
Awal mengingatkan terkait kinerja program PEN, khususnya untuk insentif perpajakan, di tahun 2020 yang masih jauh dari optimal. Untuk insentif perpajakan, dari pagu Rp 120 triliun, realisasinya hanya mencapai 46,8%. Hal ini menjadi miss opportunity yang besar, terutama tambahan anggaran untuk program PEN dibiayai oleh tambahan utang, yang menjadi beban APBN ke depannya.
“Lebih lanjut, insentif perpajakan banyak dinikmati oleh pelaku usaha skala besar, bukan UMKM. Berdasarkan data, dari total nilai realisasi insentif perpajakan pada program PEN, hanya 1,17% yang dinikmati oleh UMKM”, tegasnya.
Beritaneka.com—Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengumumkan 24 orang dari 75 pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan akan dibina untuk bisa diangkat menjadi aparatur sipil negara. Sedangkan 51 pegawai lainnya bakal dipecat.
Kebijakan KPK itu dikritisi kalangan Komisi II DPR yang membidangi masalah pemerintahah. Legislatif mempertanyakan indikator apa saja yang membuat ke-51 pegawai tersebut sampai mendapat rapor merah dan harus dipecat.
Baca juga: Presiden PKS: Pemerintah Indonesia harus Bawa Kejahatan Kemanusiaan Zionis-Israel ke Dewan HAM PBB
“Apa indikator mereka-mereka ini dapat rapor merah? Jangan setengah-setengah menyampaikan ke publik. Putusan MK sampai arahan presiden sudah jelas, proses peralihan status tidak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK tanpa terkecuali. Semua mesti diberi kesempatan kata presiden,” ujar Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera.
Politikus PKS itu menilai dilihat darimanapun, gambaran besar dari kebijakan ini adalah pelemahan terhadap KPK. Sebab mayoritas 75 pegawai itu adalah penyidik, penyelidik, kasatgas dan pejabat eselon yang selama ini sudah mengharumkan nama KPK.
“Tidak mudah punya institusi yang dicintai rakyat. Ke-75 pegawai KPK itu selama ini punya prestasi,” ungkap Mardani.
Baca juga: Pilpres 2024 Memiliki Tiga Rasa, PKS Siapkan Tiga Strategi
Oleh karena itu, dia mengkritik bahwa tes wawasan kebangsaan (TWK) seharusnya tak menjadi acuan bagi kepastian dipecat tidaknya pegawai lembaga antirasuah tersebut.
“TWK adalah instrumen yang belum proven (terbukti), sementara prestasi dan karya mereka proven. Justru mereka selama ini yang menjalankan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI dengan serius dan gigih dalam bentuk pemberantasan korupsi. Masyarakat masih harus bersatu menjaga pelemahan sistematis terhadap KPK,” pungkasnya. (ZS)
Beritaneka.com—RRI dinilai sudah menjadi corong PKS dan FPI. Penilaian itu konon didasarkan hasil kajian dan media monitoring terhadap pemberitaan RRI.
Disebutkan, RRI lebih banyak memuat berita terkait PKS daripada fraksi lainnya. RRI juga banyak menyiarkan berita yang berisi berbagai komentar dari masyarakat atas pembubaran FPI.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Jauhkan Vaksin dari Kepentingan Politik
Temuan itu seyogyanya tidak serta merta dijadikan dasar untuk menghakimi RRI. Untuk menyimpulkan RRI sebagai corong PKS dan FPI tentulah tidak cukup hanya mengacu pada jumlah berita yang disiarkan.
Frekuensi berita PKS dan FPI yang tinggi, bisa saja karena pada periode tersebut banyak peristiwa dari dua lembaga itu yang memiliki nilai berita tinggi. Karen itu, wajar saja kalau RRI banyak menyiarkan PKS dan FPI.
Sebagai media massa, RRI juga harus memperhatikan kaidah berita. Nilai berita, objektifitas, netralitas, dan berita seimbang (balance news) haruslah tetap menjadi acuan bagi RRI dalam mebuat berita.
Jadi, frekuensi pemberitaan yang tinggi tidak serta merta RRI langsung divonis sudah menjadi corong PKS dan FPI. Perlu dilihat lebih jauh, apakah arah pemberitaannya positif, netral, atau negatif terhadap PKS dan FPI ?
Sebagai media publik, RRI memang harus mengayomi semua elemen masyarakat. RRI harus mampu menjembatani semua elemen masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya.
Aspirasinya bisa saja bernada memuji, mengeritik, atau netral. RRI yang dibiayai APBN haruslah mengakomodirnya.
Karen itu, RRI tidak boleh seperti di zaman Orba, yang jelas-jelas menjadi corong pemerintah. Isi pemberitaannya hanya yang positif untuk memuji pemerintah.
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Blunder Jokowi Berulang
Paradigma itu tentu sudah tidak sesuai di era reformasi. Di era ini, media publik seperti RRI, tidak diharamkan menyampaikan pemberitaan yang bernada kritik. Hal ini yang harusnya disadari pengelola RRI, pengambil kebijakan, dan pengamat.
Hal seperti itu umum dilakukan media publik di berbagai negara. BBC di Inggris, VOA di Amerika, dan ABC di Australia, merupakan media publik yang kerap mengeritik pemerintahnya.
Jadi, janganlah karena RRI memuat banyak memuat PKS dan FPI pada periode tertentu, lantas disimpulkan sudah menjadi corong dua lembaga tersebut. Berpikir seperti ini sangat bias dan menyesatkan.
Biarkan RRI menjadi media publik yang sesungguhnya dengan tetap taat pada kaidah berita. Hanya dengan begitu RRI dapat menjelma menjadi media yang netral dan independen untuk melayani semua elemen masyarakat Indonesia.
M. Jamiluddin Ritonga pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul.
Penulis buku:
- Perang Bush Memburu Osama
- Tipologi Pesan Persuasif
- Riset Kehumasan
Mengajar:
- Isu dan Krisis Manajemen
- Metode Penelitian Komunikasi
- Riset Kehumasan
Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 – 1999
Beritaneka.com—Pemilihan presiden masih tiga tahun lagi. Namun, berbagai survei sudah merilis beberapa figur yang memiliki peluang besar untuk maju. Pemilihan presiden 2024 dinilai berbeda karena berada pada masa pandemi Covid-19.
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, melihat ada tiga momentum yang mengiri pemilihan presiden tahun 2024 yang dilaksanakan secara serentak dengan pemilihan legislatif dan pada tahun yang sama menggelar pemilihan kepala daerah serentak .
Anggota Komisi II DPR itu menyebut, pemilu 2024 merupakan pilpres rasa pandemi. Rasa pandemi, karena, baik efek dan kejadian wabah Covid 19 diperkirakan masih terasa sampai tahun 2024. Pilpres 2024 akan banyak perubahan dibandingkan pilpres sebelumnya. Belajar dari pelaksaanaan Pilkada 2020, berjalan pada masa Covid 19, pihak-pihak yang terlibat mulai dari peserta, penyelenggara dan masyarakat tidak bisa jumpa secara langsung. Hal itu berdampak pada demokrasi yang dihasilkan.
Baca juga: M. Qodari: Ada Tiga Skenario Pilpres 2024
“Padahal, Kalau kondisi biasa, kualitas demokrasi kita lebih baik karena bisa dilaksanakan dengan tatap muka,” ungkap mantan dosen UMB ini pada webinar diskusi publik dengan tema Capres 2024: Saling Intip Partai Politik.
Pilres 2024 dimata Mardani juga memiliki rasa resesi. Kondisi perekonomian yang resesi berefek buruk bagi demokrasi karena bagi rakyat, tidak penting visi dan misi, tapi yang penting gizi, tidak kelaparan. Mardani menegaskan, demokrasi tidak baik jika perut rakyat lapar.
Disisi lain PKS mensyinyalir, ada upaya, seperti lahirnya UU Cipta Kerja, merupakan upaya menumpuk akses menuju pilpres 2024.
“Situasi diperparah dengan data kemiskinan BPS yang sudah mencapai10 persen lebih, tegasnya.
Kemudian, Mardani menyebut Pilpres 2024, merupakan pilpres rasa suksesi. Jokowi akan mengkahiri masa jabatannya. Walaupun ada upaya-upaya mendorongnya maju tiga periode, lewat amandemen UUD 1945, tapi hal itu dibantah Jokowi.
Baca juga: Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UMB Gelar Diskusi Publik, Membaca Peta Pilpres 2024
Mardani menyebut, Pilpres 2024 adalah masa transisi kepemimpinan dan pertarungan, dari kelompok tua ke kaum muda, transisisi old soldiers dengan young soldier. Untuk itu perlu diatur proses transisinya agar tidak terjadi gejolak.
“ Tidak bisa menyiapkan pulau baru dengan peta yang lama,” ungkapnya.
PKS sendiri memiliki tiga strategi menuju pilpres 2024. Strategi penokohan. Partai kader itu membangun ketokohan. Strategi Narasi.PKS menyadari memerlukan modal sosial dan modal intelektual, untuk jauh melompat. Perlu strategi melahirkan presiden yang mampu menjawab semuja persoalan bangsa dan menaikkan pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, PKS menggunakan strategi pemetaan pemilih. Data yang ada, 40 persen pemilih adalah kaum muda. Tidak didukung kelas menengah. Pengalaman PKS di pemilu di DKI, kedekatan dengan pemilih sangat menentukan. Kemudian Big Data sangat diperlukan untuk memenangkan pertarungan pilpres 2024.